"Apa lagi yang akan dibeli sekarang ini jika bukan dollar AS?” kata Sally Auld, kepala investasi JB Were di Sidney, Reuters, 22 September.
Oleh
SIMON P SARAGIH S
·5 menit baca
Penguatan kurs dollar AS terhadap mata uang dunia memunculkan masalah baru bagi banyak negara. Harga-harga komoditas internasional dan energi dalam denominasi dollar AS menjadi lebih mahal karena apresiasi atau penguatan dollar. Beban utang denominasi dollar AS juga meningkat. Bagi AS sendiri apresiasi dollar AS selain menguntungkan juga memberikan sisi negatif.
Kurs dollar AS sendiri mencapai angka-angka rekor terhadap sejumlah mata uang dunia. Kurs poundsterling anjlok terhadap dollar AS dalam 37 tahun terakhir menjadi 1,07 dollar AS per satu dollar AS pada 27 September. “Bukan tidak mungkin kurs poundsterling dan dollar AS menjadi setara,” kata Dean Turner, ekonom dari UBS Private Banking yang paham perekonomian Inggris.
Sorotan besar diarahkan pada pelemahan poundsterling. Menkeu Inggris, Kwasi Kwarteng, 23 September, mengumumkan peningkatan stimulus di tengah langkah Bank Sentral Inggris yang sebaliknya mengetatkan kebijakan moneter. Di tengah potensi krisis ekonomi Inggris, Kwarteng menaikkan defisit anggaran. Pasar sangat ragu apakah pemerintah Inggris mampu membiayai defisit. “Pemerintah dan bank sentral menjadi sumber gejolak ketimbang peredam gejolak,” kata ekonom Mohamed El-Erian merujuk Inggris.
Kurs euro juga anjlok dalam 20 tahun terakhir menjadi 0,9689 dollar AS per satu euro. Kurs yen Jepang menjadi 143,34 yen per dollar AS atau terburuk dalam 24 terakhir. Kurs dollar AS juga menguat terhadap won (Korsel) menjadi 1.439 won per dollar AS, level tertinggi sejak 2009.
Kurs lira Turki dan peso Argentina anjlok 40 persen sepanjang 2022. Kurs sejumlah mata uang Asia juga anjlok terhadap dollar AS. Tentu ada kekecualian seperti peso Meksiko dan real Brazil yang malah menguat, demikian juga frank Swiss. Akan tetapi pada umumnya kurs dollar AS menguat terhadap mata uang dunia.
Faktor penguat dollar AS
Penguatan dollar AS terjadi karena kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral AS (Fed) yang tergolong agresif dalam 40 tahun terakhir, menurut Meghan Swiber dari Bank of America Global Research. Diperkirakan, Fed masih akan melanjutkan kenaikan suku bunga untuk meredam inflasi hingga turun ke level 2 persen. Pada Agustus inflasi di AS mencapai 8,3 persen.
Penguatan dollar AS juga didorong kekhawatiran bahwa seluruh dunia akan memasuki resesi lebih dalam, termasuk AS itu sendiri. Kenaikan suku bunga untuk meredam inflasi, juga dilakukan hampir 70 persen bank sentral di seluruh dunia. Di sisi lain kenaikan suku bunga itu akan menjerembabkan perekonomian global. Meski demikian dollar AS menguat karena perkiraan bahwa perekonomiannya tergolong paling bersih dari semua baju kotor the cleanest dirty shirt, menurut Eric Leve, pejabat bidang investasi dari perusahaan pengelolaan kekayaan, Bailard (Fortune, 27 September).
Perkiraan akan kekacauan ekonomi global juga membuat investasi portofolio menjadi kacau. Para ekonom dan pihak bank serta pengelola kekayaan global menyarankan para investor memegang uang kas. Dollar AS menjadi pilihan utama. "Apa lagi yang akan dibeli sekarang ini jika bukan dollar AS?” kata Sally Auld, kepala investasi JB Were di Sidney, Reuters, 22 September.
Peralihan investasi ke dalam uang tunai dollar AS dari saham-saham telah menyebabkan indeks-indeks saham di luar AS berjatuhan.
Beban baru
Kenaikan dollar AS telah mencuatkan beban baru bagi banyak negara berkembang. Ekonom Mohamed El-Erian mengingatkan kenaikan suku bunga AS dan apresiasi dollar AS menaikkan signifikan beban bunga utang negara-negara Amerika Latin pada dekade 1980-an. Hal itu membuat kawasan Latin kehilangan pertumbuhan selama satu dekade karena lilitan utang.
Potensi serupa bisa terjadi sekarang ini. Hal lain adalah apresiasi dollar AS membuat harga-harga impor meningkat. Sekarang ini harga energi misalnya telah turun ke level di bawah 80 dollar AS per barrel, akan tetapi apresiasi dollar AS tetap menaikkan biaya impor di banyak negara. Impor barang-barang lainnya juga akan mengalami kenaikan biaya sekaligus menambah tekanan inflasi.
Masalah lain adalah terjadinya pelarian modal dari banyak negara menuju AS. Hal itu membuat cadangan devisa sejumlah negara berkurang atau ada yang mengalami pengurangan besar devisa, termasuk untuk intervensi mata uang lokal karena apresiasi dollar AS.
Risiko untuk AS
Amerika Serikat juga tidak aman dari risiko apresiasi dollar AS. Di salah satu sisi, AS diuntungkan dengan apresiasi dollar. Renny Ellis, CEO manajer suku bunga tetap di GCI Australia, mengatakan kenaikan dollar AS membuat Fed tidak perlu terus menaikkan suku bunga. Itu karena penguatan dollar AS akan menurunkan aktivitas ekonomi dan mengurangi tekanan inflasi yang lebih cepat dari dugaan pasar.
Akan tetapi AS juga ketiban masalah secara langsung, kata ahli saham dari Morgan Stanley, Michael Wilson kepada Bloomberg, 27 September. Wilson mengatakan perusahaan AS meraih penjualan 30 persen di luar AS, dan lebih 50 persen penjualan perusahaan teknologi AS menjual di luar AS. Sektor paling terpukul dari apresiasi dollar AS adalah perusahaan AS yang bergerak di bidang barang modal, perangkat lunak, media dan hiburan, material, energi dan perangkat keras. Apresiasi dollar AS menurunkan penerimaan dalam bentuk non-dollar AS.
Di sisi lain apresiasi dollar AS juga memberikan daya saing bagi produk-produk negara di luar AS dan sebaliknya menurunkan daya saing produk AS.
Tak selamanya menguat
Risiko lain adalah pembalikan mendadak kurs dollar AS. Hal itu juga menjadi risiko tersendiri. Meghan Swiber dari Bank of America Global Research, mengatakan secara umum tidak mungkin dollar AS terus menguat hingga kuartal empat. “Saya perkirakan pembalikan arah kurs dollar AS akan mulai terjadi pada Oktober,” kata Swiber. Aset-aset yang dipegang dalam dollar AS juga mendadak merugi.
Meski demikian El-Erian mengingatkan penguatan dollar AS juga bisa memberi efek pada negara-negara di luar AS. Semakin lama apresiasi dollar AS berlangsung, semakin besar potensi masalah. “Semakin kuat dollar AS, semakin lama stagnasi dan inflasi global, masalah utang di negara berkembang makin berat. Apresiasi dollar AS juga bisa mendorong restriksi perdagangan global dan dengan demikian makin naik pula potensi gejolak politik dan konflik geopolitik,” demikian El-Erian. (REUTERS/AP/AFP)