Warga AS Unjuk Rasa Desak Senat Sahkan RUU Pengendalian Senjata
Rancangan undang-undang pengendalian senjata tak kunjung disahkan oleh Senat AS. Banyak politisi menentang pembatasan umur dalam kepemilikan senjata yang kemudian memicu aksi protes puluhan ribu orang.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
WASHINGTON, MINGGU — Puluhan ribu orang turun ke jalan mendesak pemerintah Amerika Serikat segera menerapkan undang-undang pengendalian senjata api. Mereka geram dengan para politisi karena masih ada yang berupaya untuk menggagalkan kebijakan tersebut.
Para pengunjuk rasa membanjiri National Mall di Washington DC, Sabtu (11/6/2022) waktu setempat atau Minggu (12/6/2022) waktu di Jakarta. Mereka datang dari sejumlah negara bagian di Amerika Serikat (AS) dan dari segala usia, mulai dari anak kecil, remaja, hingga dewasa, bahkan lansia.
Gerakan itu dinamakan ”March for Our Lives” (MFOL) yang juga ramai di jagat maya. Selain orasi, para pengunjuk rasa juga mengumpulkan setidaknya 45.000 vas putih dengan bunga sebagai simbol duka untuk para korban serangan senjata.
Aksi tersebut muncul setelah rentetan insiden penembakan massal di AS dalam sebulan terakhir. Hal ini kembali membuka trauma masyarakat atas persoalan penembakan massal yang menjadi momok di AS selama ini. Kekerasan senjata api adalah persoalan klasik di AS, termasuk penembakan massal.
Pada 14 Mei 2022, terjadi penembakan massal di sebuah supermarket di New York yang menewaskan 10 orang kulit hitam. Pada 25 Mei 2022, penembakan massal terjadi di Texas. Salvador Ramos (18) menggunakan senapan semi-otomatis jenis AR-15 di Sekolah Dasar Robb, Uvalde, yang membantai 19 siswa dan dua guru.
Seminggu kemudian, penembakan massal terjadi di Rumah Sakit St. Francis, Tulsa, Oklahoma. Tersangkanya adalah Michael Louis (45) asal Muskogee yang menggunakan senapan semi-otomatis jenis AR-15. Sebanyak lima orang tewas dalam kejadian itu, termasuk Louis.
”Kami di sini untuk menuntut keadilan, kami di sini untuk mendukung mereka yang cukup berani untuk menuntut undang-undang senjata yang masuk akal,” ujar salah satu peserta aksi, Garnell Whitfield, yang ibunya berusia 86 tahun tewas dalam penembakan supermarket bermotif rasial di Buffalo, New York, pada 14 Mei.
Sebelumnya, DPR AS telah meloloskan rancangan undang-undang (RUU) pengendalian senjata api saat kongres, Rabu (8/6/2022). Rancangan itu didukung 223 anggota DPR. Sebanyak 204 anggota lain menentang. DPR AS dikuasai Partai Demokrat, pengusung Presiden Joe Biden. Meski demikian, ada dua anggota DPR dari Partai Demokrat yang menentang rancangan UU tersebut.
Dalam RUU itu, DPR AS mengusulkan untuk menaikkan batas umur pengguna senjata, dari 18 tahun menjadi 21 tahun. Kebijakan itu juga mengatur soal larangan membeli magasin atau tempat pengisian peluru berkapasitas 15 butir.
RUU tersebut mengatur persoalan penyimpanan senjata yang aman dan hukuman atas pelanggaran persyaratan penyimpanan senjata. Pelanggar bisa dikenai denda dan penjara hingga lima tahun jika senjata tidak disimpan dengan benar dan kemudian digunakan oleh anak di bawah umur untuk melukai atau membunuh diri sendiri atau orang lain.
RUU itu memiliki peluang tipis bakal dibahas di Senat AS. Pasalnya, Partai Republik memandang batas senjata sebagai pelanggaran terhadap hak Amendemen Kedua Konstitusi AS untuk memanggul senjata. Kuncinya, kini beralih ke para senator di AS. Senat AS setidaknya membutuhkan 60 suara dari 100 senator untuk lolos di majelis tinggi dan mengesahkan undang-undang tersebut.
Beberapa waktu lalu, Presiden AS Joe Biden mengatakan kepada wartawan di Los Angeles bahwa dirinya telah berbicara beberapa kali dengan Senator Chris Murphy yang memimpin pembicaraan Senat AS. Ia menilai para negosiator tetap sedikit optimistis.
Pertentangan soal pengendalian senjata datang dari para politisi. Anggota DPR dari Partai Republik yang menentang undang-undang tersebut, Thomas Massie, mengungkapkan, larangan penggunaan senjata untuk orang di bawah usia 21 tahun atau yang berumur 18 tahun tidak sesuai konstitusi, bahkan tidak bermoral.
”Mengapa tidak bermoral? Sebab, kita menyuruh anak-anak berusia 18, 19, dan 20 tahun untuk mendaftar wajib militer. Kalian bisa mati untuk negara dan berharap negara membela kita, tetapi negara tidak memberikan alat untuk membela diri dan keluarga kalian,” kata Thomas.
Sebuah survei dari Pew Research Center menunjukkan, setidaknya dua pertiga warga AS menyimpan pistol di beberapa tempat di dalam rumah mereka. Setidaknya 55 persen warga AS yang tidak memiliki senjata pernah menembakkan senjata dan ingin memiliki senjata di masa depan ketika memiliki kesempatan.
Sebanyak 44 persen orang dewasa di AS mengatakan bahwa mereka secara pribadi mengenal seseorang yang telah ditembak, secara tidak sengaja ataupun sengaja. Sebanyak 23 persen mengatakan bahwa mereka atau seseorang dalam keluarga mereka telah ditembak, diancam, dan diintimidasi oleh seseorang dengan menggunakan senjata api.
Zena Phillip (16) dan kawannya, Blain Sirak (15), mengaku belum pernah terlibat aksi massa di jalanan. Namun, protes kali ini memotivasi mereka setelah menyaksikan penembakan di Texas. ”Hanya mengetahui bahwa ada kemungkinan yang bisa terjadi di sekolah saya sendiri membuat saya takut. Banyak anak ketakutan hingga mereka putus asa,” kata Phillip. (AFP/REUTERS)