Krisis Air Global, Pengelolaan Air Tanah Jadi Solusi
Krisis air dunia di ambang pintu. PBB mengusulkan solusi yang selama ini banyak dinilai bermasalah, yaitu pemanfaatan air tanah.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
Pemakaian air tanah merupakan praktik yang banyak ditemukan di negara-negara berkembang. Selama ini, pemakaian air tanah dinilai membawa lebih banyak masalah terhadap kelestarian lingkungan. Penyedotan yang berlebihan mengakibatkan penurunan air tanah ataupun kekeringan. Akan tetapi, laporan terbaru Perserikatan Bangsa-Bangsa justru mengusulkan pemanfaatan air tanah secara berkelanjutan untuk menangani krisis air global.
Laporan itu dikeluarkan PBB melalui Divisi Perkembangan Air Global dan diterbitkan di situs Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Disebutkan bahwa kebutuhan air bersih penduduk Bumi meningkat 1 persen setiap tahun.
”Kita bergantung pada air permukaan dan air tadah hujan yang rawan terkena pencemaran. Air tanah merupakan 99 persen cadangan Bumi yang sejatinya bisa dimanfaatkan untuk memberikan air bersih kepada umat manusia selama dikelola dengan benar,” kata Richard Connor, redaktur laporan yang diterbitkan pada Minggu (20/3/2022).
Berdasarkan laporan itu, hanya 1 persen air permukaan Bumi yang merupakan air tawar. Wujudnya air sungai, danau, dan lapisan es. Air yang benar-benar murni hanya lapisan es. Sisa dari air permukaan ialah air laut. Air permukaan ataupun air yang ditadah dari hujan memiliki risiko pencemaran lebih tinggi dari asap industri, pestisida, dan bahan-bahan kimia lain yang dibuang ke selokan dan berakhir di sungai serta laut.
Sebaliknya, air tanah relatif lebih murni. Beberapa jenis air tanah memiliki kemampuan memperbarui diri sehingga menjadi sumber air abadi. Ada pula air fosil yang terletak jauh di dalam tanah. Air ini tidak bisa diperbarui, tetapi jumlahnya besar sekali.
Benua Eropa, Amerika, Australia, dan wilayah Timur Tengah terdata memiliki cadangan air tanah besar. Wilayah lain di Bumi belum memiliki data yang komprehensif. Data ini bisa dikumpulkan dari hasil survei berbagai perusahaan pertambangan karena selain mencari minyak dan mineral, mereka juga selalu mencatat lokasi keberadaan air.
Dari sisi penggunaan, air tanah sudah jamak dipakai oleh masyarakat, terutama di negara-negara berkembang ataupun miskin. PBB mencatat, ada 50 persen masyarakat perkotaan, 22 persen rumah tangga, 69 persen pertanian dan peternakan, serta 9 persen industri global bergantung pada air tanah.
”Permasalahan utama ialah tidak ada tata kelola penggunaan air tanah. Terjadi penyedotan besar-besaran sehingga sumber air tanah tidak bisa memperbarui cadangan air secepat pengambilannya. Ada pula pencemaran dari limbah rumah tangga, misalnya kebocoran tangki septik,” ujar Connor.
Ia menjelaskan, penyedotan air tanah harus memakai cara yang benar dan disesuaikan dengan kecepatan siklus air tanah. Melalui metode yang tepat, manusia tidak perlu bersaing dengan alam terkait pemenuhan kebutuhan air. Berbagai ekosistem alamiah, seperti hutan dan rawa, tetap bisa lestari karena kebutuhan air mereka tidak direbut.
Bumi mengalami krisis air bersih karena perubahan iklim mengakibatkan cuaca ekstrem yang tidak bisa ditebak. Bagi masyarakat yang mengandalkan air hujan, metode tersebut semakin menyulitkan karena sebelum datang musim hujan, wilayahnya dilanda kemarau panjang terlebih dahulu. Demikian pula dengan pencemaran sungai dan danau akibat limbah industri, rumah tangga, ataupun pakan tambak.
PBB mendata pada 2018, sebanyak 3,6 miliar penduduk dunia mengalami kekurangan air selama satu bulan di dalam satu tahun. Perkiraannya, jumlah ini bertambah menjadi 5 miliar penduduk tahun 2050. Pada 2030, apabila tidak segera diintervensi, kemungkinan 700 juta jiwa terpaksa mengungsi akibat kelangkaan air. Krisis air akan menambah beban kemiskinan dan rawan mengakibatkan konflik antarmanusia.
Salah satu negara yang mulai merancang rencana pengelolaan air tanah adalah India, yaitu di Negara Bagian Haryana. Dilansir dari surat kabar lokal The Tribunes, di kota Kurukshetra terjadi penurunan cadangan air tanah 10-20 meter sehingga masyarakat harus menggali sumur semakin dalam. Setiap tahun, wilayah ini mengalami kekurangan air rata-rata 500 juta meter kubik dari kebutuhan.
”Kami harus membuat titik-titik isi ulang di sekitar sungai dan danau guna mempercepat regenerasi air tanah,” tutur Insinyur Kepala Departemen Irigasi Haryana Gurvinder Singh. Selain itu, juga ada rencana jangka tiga tahun mengenai pengoptimalan pemakaian air tanah dan air permukaan, penambahan pemakaian metode mikroirigasi untuk pertanian, dan diversifikasi tanaman ke jenis-jenis yang tidak memerlukan banyak air. (Reuters)