Sri Lanka Terjepit China dan India
China menganggap Sri Lanka sebagai penghubung penting strategi Prakarsa Sabuk dan Jalan. Kehadiran India untuk mengimbangi China belum cukup kuat. Sri Lanka malah dililit utang.
Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa telah meminta Pemerintah China untuk merestrukturisasi utang atau memberikan keringanan pembayaran cicilan pinjaman kepada Sri Lanka. Permintaan Rajapaksa tersebut merupakan bagian dari upaya Sri Lanka mengatasi krisis keuangan yang terus memburuk di negara itu.
Rajapaksa mengajukan permintaan itu dalam pertemuan dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi, Minggu (9/1/2022), di Kolombo, ibu kota Sri Lanka. Sri Lanka adalah negara terakhir dari rangkaian perjalanan luar negeri pertama Wang pada 2022 ke lima negara pesisir di Samudra Hindia setelah Eritrea, Kenya, Komoro, dan Maladewa.
”Presiden menyatakan akan sangat meringankan negara (Sri Lanka) jika perhatian (China) dapat diarahkan pada restrukturisasi pembayaran utang sebagai solusi atas krisis ekonomi yang muncul dalam menghadapi pandemi Covid-19,” kata kantor Presiden Rajapaksa, seperti dilaporkan Reuters.
Sri Lanka telah mendapat pinjaman lunak miliaran dollar AS yang digelontorkan China. Kini, negara pulau di Samudra Hindia itu tengah dilanda krisis uang tunai, cadangan devisa sekarat, utang menggunung, dan keterpurukan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Sri Lanka terancam gagal bayar.
Baca Juga: China Perkuat Kuku di Samudra Hindia
Negara tersebut sesungguhnya sedang berada dalam pusaran gelombang tarikan kekuatan India dan China. Dari sisi geografis, Sri Lanka adalah tetangga terdekat India. Sebagai negara nonblok, Sri Lanka berusaha menjaga keseimbangan dalam hubungan dengan kedua kekuatan itu, tetapi sangat tidak mudah mengelolanya.
India menggenjot pembangunan terminal peti kemas terbesar di Kolombo, Colombo West International Container Terminal (CWICT), di Sri Lanka barat dengan dana sekitar 700 juta dollar AS sejak September 2021. Namun, China telah lebih dulu menguasai industri pelabuhan di Sri Lanka, dimulai dengan mengambil alih Pelabuhan Hambantota pada 9 Desember 2017 karena Kolombo gagal mengembalikan utang 1,3 miliar dollar pinjaman dari Bank Exim China.
Sri Lanka kini membutuhkan uang tunai. Keuangan negara itu menukik tajam sejak pandemi setelah terpaksa menghentikan sejumlah maskapai penerbangannya menyusul ambruknya industri pariwisata akibat terdampak pandemi Covid-19. Sektor pariwisata merupakan sumber utama devisa Sri Lanka. Pemimpin dan para pejabat Sri Lanka telah berusaha menyeimbangkan hubungan di antara dua kekuatan besar, China dan India, untuk mendapatkan dana.
Media South China Morning Post/SCMP, Jumat (7/1), menyebutkan, situasi tersebut telah diperburuk oleh menumpuknya utang Sri Lanka kepada China, yang harus dibayar tahun ini. Seperti dikutip Fitch Ratings, lembaga pemeringkatan utang asal Amerika Serikat, utang Sri Lanka kepada China itu mencapai 6,9 miliar dollar AS. Jumlah ini sudah berkurang dari utang tahun 2018 yang sempat mencapai 8 miliar dollar AS. Citigroup menyebut, ada risiko ”masa depan yang berpotensi gagal bayar”.
Akibat krisis keuangan saat ini, harga-harga barang di Sri Lanka melonjak. Kasus Covid-19 di negara itu juga mencapai rekor tertinggi.
Baca Juga: Dari Sri Lanka, Pompeo Sebut Partai Komunis China sebagai Predator
Gotabaya Rajapaksa dan saudaranya, Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa, telah beralih ke China untuk mendapatkan pinjaman guna membangun kembali infrastruktur di Sri Lanka. Negara ini enggan mencari bantuan dari Dana Moneter Internasional (IMF) karena tuntutan langkah-langkah penghematan yang biasa didesakkan lembaga donor itu.
Utang kepada China
Permintaan restrukturisasi utang kepada China muncul setelah Kolombo menerima dana pinjaman sekitar 5 miliar dollar AS dari Beijing dalam satu dekade terakhir. Dana itu, seperti dilansir media India, The Hindu (30/12/2021), di luar dukungan terbaru China untuk penanggulangan Covid-19 berupa pinjaman darurat 1 miliar dollar AS.
Ketika China mengumumkan bantuan dana hibah 90 juta dollar AS ke Sri Lanka, Oktober 2020, muncul kekhawatiran bahwa megaproyek China merupakan ”perangkap utang”. Beijing membantahnya dengan menyatakan, China tidak bermaksud membuat jebakan utang. Dana hibah itu dikucurkan untuk mendukung perawatan medis, pendidikan, dan suplai air bersih di perdesaan yang miskin dan minim akses di Sri Lanka.
Gotabaya Rajapaksa dalam perbincangan dengan Yang Jiechi, anggota Politbiro Partai Komunis China sekaligus mantan Menteri Luar Negeri China, Oktober 2020, meminta Beijing untuk membantah persepsi bahwa megaproyek China sebagai ”jebakan utang”. Namun, dalam pertemuan dengan Wang, Minggu (9/1/2022), Rajapaksa justru mengonfirmasi beban utang itu dan meminta China merestrukturisasinya.
China selama ini menganggap Sri Lanka sebagai penghubung penting dalam strategi pembangunan infrastruktur globalnya, Prakarsa Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI). Itu sebabnya China terus menggelontorkan pinjaman miliaran dollar AS untuk proyek-proyek infrastruktur di Sri Lanka dalam satu dekade terakhir. Akuisisi Pelabuhan Hambantota adalah bagian dari proyek jangka panjang BRI.
Megaproyek BRI, selain pembangunan pelabuhan, juga berupa pembangunan bandar udara, kota-pelabuhan, fasilitas kesehatan, jalan tol, pembangkit listrik tenaga batubara, dan jaringan air bersih perdesaan. Walau para pengkritik dan pengamat menilai proyek China tidak layak dan Sri Lanka akan kesulitan mengembalikan pinjaman, China terus mengelontorkan dananya, tetapi—menurut Beijing—bukan jebakan.
Lihat Foto: Sri Lanka dan China Kerja Sama Promosi Wisata
Sri Lanka adalah bagian penting dari strategi BRI. China adalah kreditor terbesar keempat Sri Lanka setelah pasar keuangan internasional, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Jepang. Namun, skema pinjaman China dinilai memberatkan. Banyak negara, termasuk AS, telah melabeli proyek BRI sebagai ”jebakan utang” bagi negara-negara kecil.
Pada 2022, pemerintahan Rajapaksa harus membayar utang 4,5 miliar dollar AS. Itu dimulai dengan obligasi internasional (ISB) senilai 500 juta dollar AS yang jatuh tempo pada 18 Januari 2022. Cicilan utang kepada China tahun ini mungkin lebih kecil dari komitmen ISB sebesar 1,54 miliar dollar, yakni antara 400 juta dollar AS dan 500 juta dollar AS.
Bank sentral Sri Lanka telah meyakinkan bahwa pembayaran utang akan dipenuhi dan dana untuk ISB pada Januari ini telah dialokasikan. Sementara itu, Rajapaksa juga meminta Beijing memberikan ”persyaratan konsesi” untuk impor barang dari China senilai sekitar 3,5 miliar dollar AS pada 2020.
Kolombo sedang mencari dana untuk meningkatkan cadangan devisa dan membayar utang di tengah tagihan impor yang membengkak tersebut. Pertukaran yuan China sebesar 1,5 miliar dollar AS cukup membantu Sri Lanka meningkatkan cadangannya menjadi 3,1 miliar dollar AS pada akhir Desember 2021. Namun, hal itu tak membuat Sri Lanka keluar dari krisis utang yang melilitnya.
Langkah India
Kunjungan Wang ke Sri Lanka terjadi saat Beijing berupaya mengimbangi pengaruh kehadiran India dan AS di kawasan Indo-Pasifik. Kunjungan itu juga berlangsung setelah Sri Lanka meneken kesepakatan soal tangki minyak dengan India, sekutu utama AS di kawasan dalam blok dialog keamanan strategis Quad.
Media SCMP melaporkan, beberapa hari sebelum Wang tiba di Sri Lanka, Kolombo menandatangani kesepakatan dengan unit lokal Indian Oil Corp (IOC), yakni Lanka IOC, untuk menyewa 75 tangki minyak. Hal itu merupakan bagian dari upaya Kolombo mencari inovasi untuk menghasilkan tambahan devisa.
Baca Juga: Adu Pengaruh di Sri Lanka
Sri Lanka mengamankan jalur kredit bahan bakar senilai 500 juta dollar AS dari India. PM India Narendra Modi, saat berada di Kolombo pada 2019, mengatakan, proyek penyewaan itu dapat membantu Sri Lanka menjadi pusat perminyakan regional. Sri Lanka terletak di jalur ekspor minyak Teluk dan konsumen Asia.
Pada 30 September 2021, Adani Group, operator pelabuhan swasta terbesar India, menandatangani kesepakatan senilai 700 juta dollar AS untuk membangun terminal peti kemas baru, CWICT, di Sri Lanka barat. Terminal ini dikelola bersama dengan model build-operate-transfer (bangun-guna-serah/BGS) selama 35 tahun.
CWICT akan dikembangkan agar kapal ultrabesar dapat berlabuh. Investasi India itu muncul satu dekade setelah CM Ports, operator pelabuhan China, dan konglomerat Sri Lanka, Aitken Spence, menandatangani perjanjian konsesi 35 tahun pada 2011 untuk operasi terminal Colombo International Container Terminal (CICT), juga di bawah model BGS.
Lowy Institute, lembaga kajian yang berbasis di Sydney, Australia, menyebutkan bahwa masuknya CM Ports menjadi titik balik yang mengubah nasib Pelabuhan Kolombo. CM Ports adalah salah satu dari 10 operator terminal papan atas dunia. Pengalaman dan efisiensi globalnya meningkatkan daya saing Pelabuhan Kolombo.
CM Port pula yang mengambil alih Pelabuhan Hambantota dengan konsesi selama 99 tahun terhitung sejak 2017, seperti dilaporkan media AS, The New York Times, 12 Desember 2017. Di tengah tumbuhnya pengaruh China dalam industri pelabuhan di Sri Lanka, investasi India untuk membangun terminal peti kemas CWICT di Sri Lanka barat dipandang sebagai pengubah permainan.
New Delhi telah mewaspadai investasi besar-besaran Beijing di pelabuhan Sri Lanka. India percaya, CWICT memiliki desain strategis. Keterlibatan China dalam membangun dan kemudian mengoperasikan Pelabuhan Hambantota menjadi perhatian khusus New Delhi meskipun India telah menolak kesempatan untuk membangun pelabuhan tersebut sejak awal.
Baca Juga: Cadangan Devisa Menipis, Sri Lanka Darurat Pangan
Kunjungan Wang ke Sri Lanka memiliki makna khusus karena terjadi setelah ketegangan yang jarang terjadi antara China-Sri Lanka dan India-Sri Lanka. Pada Februari 2021, Sri Lanka membuka proyek energi China di tiga pulau lepas Semenanjung Jaffna, tidak jauh dari pantai Tamil Nadu, India.
Namun, Kolombo menangguhkan proyek tersebut setelah New Delhi mengajukan keprihatinan dan menawarkan hibah alternatif untuk proyek yang sama. Selain itu, kunjungan Duta Besar China untuk Sri Lanka Qi Zhenhong pada akhir Desember 2021 ke Jaffna telah menuai kritik dari para pemimpin dan pejabat Tamil Nadu.
Pada Mei 2021, pengesahan RUU Komisi Ekonomi Kota Pelabuhan Kolombo memicu perlawanan yang cukup besar. RUU itu mengatur proyek Kota Pelabuhan Kolombo yang dibangun dengan dukungan China dengan dana senilai 1,4 miliar dollar AS, Muncul kritik yang menggambarkan proyek tersebut sebagai ”daerah kantong China” di Sri Lanka.
Kontroversi terbaru di Sri Lanka terjadi pada Oktober 2021. Kolombo menolak pengiriman pupuk organik yang diimpor dari China karena dilaporkan ”terkontaminasi”. China menanggapi dengan memasukkan Bank Rakyat milik Sri Lanka dalam daftar hitam. Masalah ini diduga juga menjadi salah satu agenda pembicaraan Wang saat bertemu Rajapaksa di Kolombo, Minggu (9/1/2022) lalu.
Investasi dan kepentingan geopolitik China dan India di negara-negara di Samudra Hindia, terutama di Sri Lanka, telah membuat negara pulau itu dalam posisi sulit. Sri Lanka kini terjepit dalam lilitan utang. Walau sebagian terbesar merupakan utang kepada China, tak tertutup kemungkinan negara itu juga berutang kepada India.
Baca Juga: India dan Sri Lanka Dilanda Bencana, Puluhan Orang Tewas
Jika Sri Lanka tak sanggup lagi membayar, seperti pada kasus Pelabuhan Hambantota yang jatuh ke tangan China, besar kemungkinan aset-aset lain akan jatuh lagi ke tangan Beijing. Terhuyung-huyung di bawah krisis ekonomi akibat pukulan Covid-19 dan meningkatnya utang karena pinjaman besar dari China, Sri Lanka juga terpaksa menjangkau India.
Untuk meningkatkan ekonomi Sri Lanka yang lesu, Menteri Keuangan Basil Rajapaksa— adik PM Mahinda Rajapaksa dan Presiden Gotabaya Rajapaksa—telah mengunjungi India menjelang akhir tahun lalu. Kunjungan Basil tidak hanya dimaksudkan untuk mengamankan pinjaman, tetapi juga mengupayakan kerja sama yang lebih luas dalam berbagai hal, termasuk investasi, perdagangan, dan pariwisata. (REUTERS/AP/AFP)