Jejak Tradisi Belajar di Al-Azhar
Metode belajar ”talaqqi” berpadu dengan kelas modern di lingkungan Al-Azhar. Dengan cara ini, Al-Azhar dikenal sebagai pusat pendidikan ilmu keislaman terkemuka di dunia.
Cuaca agak mendung dan tiupan angin terasa dingin pada Selasa (14/12/2021) siang di Kairo. Pertengahan Desember ini, Mesir mulai masuk puncak musim dingin.
Suara azan shalat zuhur dari menara Masjid Al-Azhar berkumandang, serasa memecah cuaca dingin dan mendung. Bersamaan pula dengan kerumunan orang yang bergegas masuk ke dalam masjid untuk menunaikan shalat.
Segera setelah selesai shalat zuhur, terlihat kerumunan mahasiswa dan mahasiswi duduk bersila di salah satu ruangan di dalam kompleks masjid tersebut. Beberapa saat kemudian, datang seorang sheikh atau guru dan duduk di kursi di depan para mahasiswa. Sang Sheikh lalu membacakan kitab yang dibawanya dan para mahasiswa tampak khusyuk menyimaknya.
Baca Juga: Terkesima Melihat Jasad Firaun
Itulah salah satu pemandangan model belajar sorogan ala pesantren yang masih marak sampai saat ini di Masjid Al-Azhar. Di kalangan mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di Al-Azhar, model belajar itu populer disebut talaqqi.
Model belajar talaqqi cukup digemari mahasiswa asal Mesir ataupun asing di lingkungan Al-Azhar. Sudah menjadi tradisi bagi mahasiswa Al-Azhar, selain mengikuti perkulihan modern di Universitas Al-Azhar, mereka juga terlibat dalam belajar model talaqqi secara intensif di Masjid Al-Azhar yang diampu oleh para sheikh dari Al-Azhar.
Maka, sering terjadi mahasiswa di Al-Azhar mengikuti kuliah reguler pada pagi hari, kemudian dilanjutkan ikut belajar talaqqi pada siang atau sore di Masjid Al-Azhar. Hampir setiap hari ada jadwal belajar model talaqqi.
Sudah biasa dalam satu waktu ada beberapa kegiatan belajar talaqqi di Masjid Al-Azhar. Di sana-sini bisa terlihat sekelompok mahasiswa yang sedang talaqqi kepada sheikh Al-Azhar.
Memasuki masjid Al-Azhar, kita tidak hanya segera merasakannya sebagai tempat ibadah, tetapi ada nuansa suasana keilmuan yang kuat. Model belajar talaqqi di lingkungan Masjid Al-Azhar menjadi model belajar saat Al-Azhar lahir pada sekitar 1.000 tahun lalu.
Lestari
Metode ini masih lestari dan bahkan berkembang hingga era modern. Talaqqi di Al-Azhar ternyata tidak pupus oleh datangnya era modern. Disrupsi digital, juga era teknologi 5.0, tidak mengusik kesinambungannya.
Perpaduan model belajar modern di kelas dan talaqqi di masjid menjadi kultur khas di lingkungan Al-Azhar. Talaqqi sekaligus menjadi kekuatan dunia keilmuan di lembaga pendidikan Islam tertua di dunia itu.
”Saya aktif ikut belajar talaqqi di sini sudah cukup lama. Saya sekarang sedang ikut talaqqi Kitab Al Iqna (sebuah kitab fikih mazhab Al-Syafi’i),” ujar Subhan Muhyidin, mahasiswa pascasarjana Jurusan Ilmu Tafsir pada Universitas Al-Azhar yang berasal dari Jakarta.
Baca Juga: Presiden Pun Terpana Melihat Kairo Tower
Ia menyebut, belajar talaqqi memberikan kepuasan tersendiri karena mahasiswa bisa belajar dan bertemu langsung dengan sang guru. ”Menimba ilmu di Al-Azhar akan lebih sempurna kalau seorang mahasiswa belajar di bangku kuliah dan sekaligus ikut talaqqi. Sudah biasa mahasiswa Indonesia yang belajar di Al-Azhar ikut kuliah juga aktif di talaqqi,” ujar Muhyidin.
Menurut Falahuddin Al-Qudsi, mahasiswa asal Jawa Barat yang menempuh jenjang S-1 di Universitas Al-Azhar dan pascasarjana di Institut Liga Arab, model belajar talaqqi semakin dikelola secara profesional pada era Grand Sheikh Al-Azhar Ahmed el-Tayeb saat ini. ”Sekarang semua pelajar dan mahasiswa yang akan ikut talaqqi harus daftar terlebih dahulu melalui Google Form. Jadi, kita tidak bisa lagi langsung ikut seperti dulu,” ungkap Al-Qudsi.
Ia mengatakan, Sheikh Ahmed el-Tayeb menggalakkan talaqqi dengan misi agar model belajar ini bisa bergandengan dengan model belajar klasikal modern di sekolah dan Universitas Al-Azhar. ”Sekarang talaqqi juga berjenjang, dari tingkat ibtida’i (pertama), tsanawi (menengah) dan aliyah (tinggi),” lanjut Al-Qudsi.
Sejarah pendidikan di Al-Azhar pun bermula dari model belajar talaqqi di lingkungan Masjid Al-Azhar. Maka, talaqqi menjadi embrio lahirnya pendidikan modern model klasikal yang kini terkenal dengan nama Universitas Al-Azhar.
Baca Juga: Jejak Helenistik di Alexandria
Sejarah mencatat, model belajar modern dalam bentuk klasikal di lingkungan Al-Azhar baru dimulai pasca-Perang Dunia I (1914-1918). Bisa dikatakan, talaqqi menjadi model belajar arus utama sejak didirikannya masjid tersebut pada era Dinasti Fatimiyah tahun 972 hingga era sebelum Perang Dunia I.
Sampai hari ini pun, talaqqi masih tumbuh subur. Dengan demikian, Al-Azhar telah menerapkan model belajar talaqqi selama 1.049 tahun. Dari talaqqi itu, tidak hanya lahir ribuan ulama terkemuka di Mesir dan mancanegara lainnya, tetapi juga menjadikan Al-Azhar benteng pertahanan lestarinya ilmu-ilmu keislaman.
Para penguasa di Mesir dari masa ke masa pun tampak arif melihat kekuatan tradisi talaqqi di Al-Azhar. Mereka tidak mengusik model belajar tersebut sampai saat ini. Para penguasa Mesir selalu menjadikan lembaga Al-Azhar sebagai pusat pendidikan ilmu keislaman.
Pusat ajaran
Masjid Al-Azhar didirikan atas perintah khalifah ke-4 dari Dinasti Fatimiyah, Mu’izz li-Din Allah (952-975). Semula masjid ini menjadi pusat ajaran mazhab Syiah Ismailiyah yang menjadi mazhab Dinasti Fatimiyah (909-1171).
Baca Juga: Bertandang ke Makam Raja Djoser
Dinasti Ayyubiyah, yang menguasai Mesir mulai tahun 1171 dan sekaligus mengakhiri era kekuasaan Dinasti Fatimiyah di negara itu, langsung mengubah Masjid Al-Azhar dari pusat pendidikan mazhab Syiah menjadi basis pendidikan mazhab Sunni.
Namun, pada era Dinasti Ayyubiyah (1171-1260), banyak didirikan pusat pendidikan di Kairo yang menyaingi Al-Azhar. Masjid Al-Hakim di Kairo menjadi pusat pendidikan Islam paling populer pada era Dinasti Ayyubiyah, mengalahkan popularitas Masjid Al-Azhar.
Pada era Dinasti Mameluk (1250-1517), Masjid Al-Azhar kembali menjadi pusat pendidikan Islam yang paling populer mengalahkan Masjid Al-Hakim. Proyek reformasi pertama atas Al-Azhar dilakukan Mohamed Ali Pasha (1805-1848), yang mengirim banyak pemuda Mesir ke Perancis untuk belajar ilmu-ilmu modern.
Sepulang dari Perancis, para pemuda Mesir itu, di antaranya Rifaa el-Tahtawi, mengajar di Al-Azhar dan memperkenalkan ilmu-ilmu modern sekuler. Namun, baru pada 1961, Al-Azhar secara resmi mendirikan fakultas umum non-agama, seperti fakultas farmasi, kedokteran, perdagangan, pertanian, dan teknik.
Baca Juga: Alexandria, Mutiara di Tepi Mediterania
Kini, di lingkungan Al-Azhar digemakan pentingnya bergandengan tangan antara khazanah tradisional dan modern yang diterjemahkan dalam bentuk talaqqi dan klasikal. Berkat pertautan ini, Al-Azhar menarik minat pelajar dari berbagai negara di dunia hingga sekarang.
Kemegahan bangunan Masjid Al-Azhar dengan menaranya yang menjulang juga menarik kunjungan wisatawan, baik dalam negeri maupun mancanegara. Mereka bisa menelusuri seluk-beluk bangunan berusia lebih dari 1.000 tahun ini yang tetap terjaga dengan baik. Keindahan yang bersanding dengan keilmuan ini terus bergema tak lekang oleh zaman.