5 Miliar Orang Bakal Kesulitan Mendapat Air Bersih pada 2050
Krisis air bersih semakin parah. Sekitar 29 tahun lagi, 5 miliar orang akan susah mendapatkan air bersih. Selain karena pemanasan global, pertumbuhan populasi juga mempercepat menipisnya stok air.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
Setiap hari Sita Poddar harus berjalan kaki 15 menit dari rumahnya di Kathmandu Valley, Nepal, ke kota tetangga terdekat demi mendapatkan air bersih. Ia harus antre di halaman kuil paling cepat satu jam demi mengisi satu jeriken berkapasitas 20 liter saja. Itu pun kalau dia kebagian karena air bersih yang keluar dari keran di kuil itu hanya tersedia dua jam setiap lima hari sekali.
”Kadang-kadang pulang tangan kosong karena tidak ada air keluar atau tidak keluar lagi pas giliran saya. Meski musim hujan, tetap susah dapat air,” kata Poddar yang tinggal di kawasan padat penduduk Taumadhi, Distrik Bhaktapur, Kathmandu.
Namun, nasib warga Liwali yang hanya berjarak 2 kilometer dari kampung Poddar lebih beruntung. Mereka bisa menikmati air bersih selama satu tahun penuh berkat tempat penampungan air hujan di atap yang dibangun di bekas kamp pengungsian bencana gempa yang sudah tak terpakai. Selama empat tahun terakhir, warga Liwali mengumpulkan air hujan melalui pipa yang terhubung ke atap yang terbuat dari lembaran seng. Air hujan kemudian disimpan di tangki bawah tanah berkapasitas 1.600 liter. Sebelum didistribusikan ke 100 rumah, air hujan disaring terlebih dahulu. Setiap rumah mendapatkan jatah 40 liter setiap harinya.
Proyek mengumpulkan air hujan seperti di Liwali ini bisa menjadi solusi. Apalagi mengingat simpanan air menipis dengan cepat karena iklim yang memanas. Ditambah lagi, kata Guru Besar Pengelolaan Air di Institut Teknologi Asia di Thailand, Sangam Shrestha, simpanan air tanah di Kathmandu yang kian rendah akibat pemakaian berlebihan, baik oleh warga setempat maupun industri air Kathmandu Upatyaka Khanepani Limited (KUKL).
”Kenaikan suhu akibat perubahan iklim akan semakin merepotkan. Rata-rata suhu maksimum di Kathmandu Valley bisa naik sampai 3,8 derajat celsius pada akhir abad ini,” kata Shrestha.
Masyarakat Liwali mulai mengumpulkan air hujan sejak 2017. Pada waktu itu, menurut Bank Dunia, Nepal menyimpan 7.170 meter kubik air bersih yang diperbarui per orang, turun dari 10 tahun sebelumnya 8.770 meter kubik. Sementara populasi di Kathmandu Valley naik 6,5 persen setiap tahunnya. Jumlah populasinya sekarang sudah 2,5 juta jiwa. Kawasan itu tergolong salah satu wilayah metropolitan dengan tingkat pertumbuhan tercepat di Asia Selatan.
”Karena semua sumber air susah, hanya bisa bergantung pada air hujan,” kata Presiden Komite Distribusi Air Minum Liwali Ganesh, Narayan Khaitu.
Warga Liwali kemudian membangun tempat penampungan air hujan dengan bantuan lembaga amal lokal Guthi yang fokus pada air dan sanitasi. Pada saat musim kering atau kemarau, biasanya Februari hingga April; stok air bersih harus dijatah. Meski dijatah, tetap ada pasokan air sepanjang tahun. Warga tak perlu membayar jatah airnya, tetapi diimbau menyumbang 1 dollar AS per bulan untuk biaya listrik pompa filter.
Ini jauh lebih hemat ketimbang harus membeli air dari swasta. Banyak masyarakat yang kemudian terinspirasi Liwali dan membangun sistem tandon air hujan yang sama.
Ketahanan air
Krisis air bersih semakin parah. Sekitar 29 tahun lagi, 5 miliar orang akan susah mendapatkan air bersih. Pada tahun 2018 saja, sudah ada 3,6 miliar orang yang tidak bisa mendapatkan air bersih setidaknya selama satu bulan per tahunnya. Kondisi ini akan semakin parah mengingat selama 20 tahun terakhir ini simpanan air yang ada di dalam tanah, permukaan tanah, salju, dan es menurun cepat, sekitar 1 sentimeter per tahun. Wilayah Antartika dan Greenland yang paling cepat berkurang simpanan airnya.
Krisis air bersih ini diingatkan kembali oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, Selasa lalu, melalui laporan terbaru yang dibuat oleh Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) PBB. Laporan ”The State of Climate Services 2021: Water” ini dikeluarkan menjelang Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP26) di Glasgow, Skotlandia, 31 Oktober-12 November mendatang.
Kepala WMO Petteri Taalas menjelaskan, simpanan air tak banyak, hanya sekitar 0,5 persen air tawar di Bumi yang bisa digunakan. Peningkatan suhu menyebabkan perubahan curah hujan secara global dan regional sehingga memicu pergeseran pola curah hujan dan musim yang bermanfaat bagi pertanian. Jika ini tak ditangani segera, ketahanan pangan, kesehatan, dan kesejahteraan manusia akan terancam.
Keamanan stok air ini kian terancam selama 20 tahun terakhir. Sejak tahun 2000, bencana banjir meningkat 134 persen dibandingkan dengan 20 tahun sebelumnya. Tingkat kelembaban di atmosfer naik 7 persen akibat pemanasan global dan ini ikut berkontribusi pada bencana banjir. Mayoritas korban jiwa akibat banjir dan kerugian ekonomi terbesar berada di wilayah Asia, seperti di China, India, Indonesia, Jepang, Nepal, dan Pakistan, yang mengalami curah hujan ekstrem hingga menyebabkan banjir.
Untuk itu, WMO merekomendasikan agar sistem peringatan dini untuk banjir dikuatkan karena banyak negara tak siap menghadapi banjir, topan badai, dan kekeringan. Wilayah yang kekeringan dan durasi musim kemaraunya naik 30 persen dan Afrika yang paling parah terdampak. Amerika Utara, Asia, dan Karibia merupakan wilayah yang paling terdampak perekonomiannya akibat kekeringan. Secara global, 25 persen dari total seluruh kota sering kekurangan air bersih.
Taalas mendorong para pemimpin dunia untuk memenuhi komitmennya dan tak hanya mengumbar janji manis. Banyak negara yang berjanji akan menjadi negara netral karbon, tetapi belum ada rencana konkretnya. Salah satunya, China. ”Mereka berkomitmen menjadi netral karbon pada 2060, tetapi belum ada rencana konkretnya,” ujarnya.
Adaptasi iklim
Prioritas utama COP26 adalah meningkatkan mitigasi iklim. Namun, menurut Taalas, perlu lebih banyak menangani adaptasi iklim karena tren negatif pada pola cuaca masih akan berlanjut hingga beberapa dekade mendatang. Apalagi gletser semakin cepat mencair dan permukaan laut naik.
Guru Besar Hidrologi dan Iklim di Massachusetts Institute of Technology Elfatih Eltahir mengingatkan, pertumbuhan populasi juga akan semakin membuat stok air menipis, terutama di wilayah sub-Sahara Afrika.
Dalam laporan WMO disebutkan, 107 negara tidak akan bisa mencapai target pengelolaan akses dan suplai air bersih yang berkelanjutan pada 2030. Untuk bisa mengelola air, perlu koordinasi dan pembiayaan yang lebih baik antarnegara. WMO menyebutkan, 60 persen badan meteorologi dan hidrologi nasional yang seharusnya bisa memberikan informasi dasar dan peringatan pada rakyat ternyata tak bisa menjalankan fungsinya. Ketiadaan data yang terparah terjadi di Asia Tengah, Afrika, dan negara-negara pulau.
Koordinasi dan data yang tak komplet itu bisa berujung malapetaka. Seperti yang terjadi pada 2019 ketika Zimbabwe membuka bendungannya saat terjadi Topan Idai dan menyebabkan banjir bandang di Mozambik. Jika saja Zimbabwe dan Mozambik bisa berkoordinasi lebih baik, bencana bisa terhindarkan. (REUTERS/AFP/AP)