Peran Qatar dan Imbalannya Membantu Jalinan Hubungan China-Taliban
Pejabat diplomat China di Doha sudah sering melakukan temu rahasia dengan pejabat Taliban yang berkantor di Doha dalam beberapa tahun terakhir ini dengan dukungan dan bantuan fasilitas Qatar.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN DARI KAIRO, MESIR
·3 menit baca
China merupakan salah satu negara yang merasa diuntungkan oleh mundurnya Amerika Serikat dari Afghanistan dan kembalinya Taliban ke tampuk kekuasaan di negara itu pada 15 Agustus lalu. Hubungan China-Taliban saat ini telah melampaui perbedaan ideologi kedua pihak. China menganut ideologi komunisme, sedangkan Taliban mengadopsi ideologi Islamisme konservatif.
China juga merupakan salah satu dari sebagian kecil negara yang tidak menutup kantor kedutaan besarnya di Kabul setelah mundurnya AS dari Afghanistan pada 31 Agustus lalu. Keputusan China tetap membuka kantor kedutaan besarnya di Kabul itu menunjukkan bahwa China tetap ingin membangun hubungan dengan Taliban sebagai penguasa baru di Afghanistan.
Keputusan China tersebut sesungguhnya tidak mengejutkan jika melihat hubungan antara China dan Afghanistan selama hampir satu dekade terakhir ini. China bermain dua kaki di Afghanistan dalam beberapa tahun terakhir ini, yakni membuka hubungan resmi dengan pemerintahan Presiden Ashraf Ghani di Kabul dan dalam waktu yang sama juga membangun hubungan rahasia dengan Taliban melalui kantor Taliban di Doha, Qatar.
Menurut laporan investigasi Al Jazeera yang dirilis pada 12 September lalu, pejabat diplomat China di Doha sudah sering melakukan temu rahasia dengan pejabat Taliban yang berkantor di Doha dalam beberapa tahun terakhir ini. Bahkan, temu rahasia tersebut dilanjutkan dengan kunjungan rahasia pejabat Taliban ke Beijing dengan dukungan dan fasilitas dari Qatar.
Puncaknya adalah kunjungan resmi dan terang-terangan delegasi Taliban yang dipimpin Mullah Abdul Ghani Baradar ke Beijing pada bulan Juli lalu dengan menumpang pesawat Qatar Airways.
Kesediaan China menerima secara resmi delegasi Taliban tersebut setelah Beijing meyakini ada kepastian bahwa Taliban akan berkuasa lagi di Afghanistan setelah tercapainya kesepakatan AS-Taliban pada Februari 2020 tentang mundurnya AS dari Afghanistan. Pakistan, yang juga memiliki hubungan dekat dengan China dan Qatar, ikut mendukung terbangunnya hubungan China-Taliban tersebut.
Sebagai balas jasa terhadap Qatar yang memainkan peran besar dalam mendekatkan hubungan China-Taliban, China berperan di balik keputusan KTT Organisasi Kerja Sama Shanghai (Shanghai Cooperation Organisation/SCO) di Dushambe, Tajikistan, 17 September lalu, yang memutuskan Qatar sebagai negara anggota mitra dialog SCO.
SCO didirikan tahun 2001 sebagai aliansi politik, ekonomi, dan keamanan kawasan Eurasia yang mempromosikan diri sebagai penangkal dominasi Barat. Saat ini SCO beranggotakan delapan negara, termasuk China, Rusia, dan Pakistan. Iran telah mendapat lampu hijau untuk bergabung.
Ada tiga tujuan China membangun hubungan dengan Taliban. Pertama, keamanan, yaitu China menginginkan Taliban mencegah tanah Afghanistan dijadikan titik tolak gerakan separatis Uyghur. Kedua, politik, yakni China ingin memanfaatkan letak strategis Afghanistan untuk memuluskan megaproyek jalan sutra China yang akan membentang dari China menuju Eropa melalui Asia Tengah, Asia Selatan, dan Timur Tengah.
Ketiga, China berambisi ikut andil berinvestasi dalam mengeksploitasi kekayaan alam Afghanistan yang—menurut kajian AS—memiliki nilai lebih dari 3 triliun dollar AS, seperti besi, tembaga, dan uranium.
Adapun Taliban menghendaki memperoleh dukungan politik Beijing di panggung internasional dari hubungannya dengan China serta investasi China di Afghanistan demi pemulihan ekonomi negara itu yang sekarat akibat perang tak berkesudahan selama lebih dari 40 tahun.