Mantan Menlu Jepang Fumio Kishida mengusulkan kebijakan yang lebih tegas terhadap China yang dinilainya semakin agresif. Usulan kebijakan ini diyakini terkait dengan ketertinggalannya dalam perburuan kursi Ketua LDP.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
AFP/CHARLY TRIBALLEAU
Ketua Dewan Riset Kebijakan Partai Demokrat Liberal (LDP) yang berkuasa di Jepang, Fumio Kishida, berbicara kepada media setelah mengumumkan pencalonannya untuk kepemimpinan LDP di Tokyo pada 1 September 2020. Partai yang berkuasa di Jepang akan memberikan suara pada 14 September 2020 tentang pengganti Perdana Menteri Shinzo Abe , perdana menteri terlama di negara itu, yang mengundurkan diri karena alasan kesehatan.
TOKYO, SENIN — Jepang harus berani bersikap lebih tegas terhadap China yang semakin agresif, yang telah memperlihatkan kemampuan militernya di perairan Jepang, dengan melakukan hal yang sama, yaitu meningkatkan kemampuan penjaga pantai dan memperbaiki komunikasi dengan angkatan bersenjatanya. Memiliki kemampuan militer yang memadai untuk menyerang adalah pilihan utama untuk memperkuat pertahanan.
Pemikiran itu disampaikan Fumio Kishida, Senin (13/9), mantan Menteri Luar Negeri Jepang, dalam sebuah konferensi pers di gedung parlemen. Kishida adalah salah satu dari tiga kandidat yang saat ini bersaing menjadi orang nomor satu di Partai Demokrat Liberal (LDP) menggantikan Yoshihide Suga, sekaligus PM Jepang.
”Lingkungan keamaan di sekitar Jepang semakin keras. Kita perlu berusaha memastikan keamanan maritim melalui langkah-langkah seperti memperkuat kemampuan penjaga pantai dan memungkinkan mereka untuk bekerja dengan Pasukan Bela Diri,” kata Kishida.
Selain kemungkinan menambah belanja militer untuk memperkuat kemampuan ofensif militer Jepang, Kishida juga berencana menambahkan satu penasihat perdana menteri yang akan memberikan masukan tentang perlindungan hak asasi manusia, demokrasi dan kebebasan. Penambahan ini, katanya, diperuntukkan untuk memberi masukan soal perlakuan Beijing terhadap etnis mayoritas Uighur.
”Melalui kerja sama dengan negara-negara di mana Jepang berbagi nilai-nilai universal, saya akan mengangkat tinggi obor kebebasan dan demokrasi,” kata Kishida.
Ini adalah sebuah pernyataan yang cukup tegas dari Kishida tentang posisi Jepang dalam hubungannya dengan China. Selama ini Kishida dikenal sebagai politisi yang santun dan bahkan cenderung dianggap dovish, lebih suka mencari solusi damai dalam sebuah hubungan politik dibandingkan menggunakan kekuatan.
POOL/AFP/KIM KYUNG-HOON
Mantan Menlu Jepang Fumio Kishida berjalan di belakang mantan Menteri Pertahanan Jepang Shigeru Ishiba (kiri) dan Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga (kanan) di markas Partai Demokrat Liberal (LDP) Jepang di Tokyo pada 8 September 2020. Kishida, yang mencalonkan diri sebagai pemimpin partai pada pemilihan 29 September 2021, mengusulkan kebijakan yang lebih keras terhadap China, mitra dagang besar Jepang.
Namun, dengan pernyataannya itu Kishida dianggap telah bergeser, dari posisi keamanan yang moderat menjadi lebih hawkish atau lebih agresif. Hal ini diperkirakan dilakukannya untuk mendapatkan dukungan dari kelompok konservatif di partainya menjelang pemilihan yang akan berlangsung akhir bulan ini.
Dalam beberapa jajak pendapat, pesaing Kishida yang merupakan menteri yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan vaksin, Taro Kono, lebih diunggulkan. Dalam sebuah survei yang dilakukan harian Asahi (Asahi Shimbun), Kono mendapat dukungan 33 persen responden. Posisi kedua diduduki Menteri Pertahanan Shigeru Ishiba, yang sampai saat ini belum menyatakan pencalonan dirinya. Hanya 14 persen responden mendukung Kishida.
Posisi Kishida dalam jajak pendapat yang dilakukan oleh harian bisnis Nikkei juga tidak terlalu menjanjikan. Kishida berada di posisi ketiga dengan 14 persen dukungan di bawah Kono yang mendapatkan 27 persen dukungan dan 17 persen untuk Ishiba.
Dikutip dari kantor berita Kyodo, rencana kebijakan Kishida itu sejalan dengan seruan Presiden AS Joe Biden dan sekutu-sekutu dekatnya untuk menekan China. Hal itu juga serupa dengan sikap yang diadopsi oleh pemerintahan Suga, terutama soal perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan antara China dan negara kepulauan itu. Kishida juga menyatakan akan memperdalam aliansi strategis Tokyo dengan Eropa, Australia, India, dan negara lain yang memiliki nilai fundamental yang sama untuk melawan Beijing.
Pernyataan Kishida, yang pernah menjabat sebagai Kepala Kebijakan LDP, juga tidak terlepas dari adanya kegiatan kapal selam dan kapal perusaknya di lepas pantai selatan Jepang, Minggu (12/9/2021). Kementerian Pertahanan Jepang mendeteksi adanya kapal selam China di sekitar perairan mereka karena ada sebuah kapal perusak kelas Luyang III China berada di lokasi yang sama.
AFP PHOTO / JAPAN COAST GUARD
Foto yang dirilis Pasukan Penjaga Pantai Jepang pada 24 Juli 2013 memperlihatkan kapal Penjaga Pantai China berlayar di wilayah sengketa di Kepulauan Senkaku (Jepang) atau Kepulauan Diaoyu (China).
Pasukan Bela Diri Maritim Jepang mengirim tiga pesawat pengintai dan dua kapal perusak ke daerah itu untuk peringatan dini dan pengumpulan informasi guna menganalisis niat China. Kapal selam itu bergerak ke barat laut Pulau Amamioshima, sekitar 700 kilometer timur laut pulau-pulau yang disengketakan oleh China dan Jepang.
Dilema Jepang
Menyangkut relasi dengan China, Jepang berada dalam situasi pelik.
”Kita harus memahami fakta bahwa Jepang pada dasarnya bersaing dengan China sambil bekerja sama dengannya. Jepang memainkan dua pertandingan secara bersamaan,” kata Narushige Michishita, Direktur Program Studi Keamanan dan Internasional di Institut Pascasarjana Nasional untuk Studi Kebijakan di Tokyo.
Hal ini bisa dipahami karena China merupakan rekan dagang penting bagi Jepang.
AP PHOTO/KOJI SASAHARA
Warga Jepang menyeberang jalan di Tokyo dalam foto tanggal 15 April 2019. Pemerintah Jepang menyatakan, surplus perdagangan keseluruhan Jepang anjlok 90,8 persen secara tahunan pada April ini akibat penurunan produk terkait cip ke China.
Tomisaka Satoshi, profesor pada Institute of World Studies Universitas Takushoku, Tokyo, Jepang, mengatakan, Jepang harus memahami keberadaan dan peran China bagi kemakmuran rakyat Jepang sendiri. Tanpa bekerja sama dengan Beijing, menurut Satoshi, Jepang tidak akan makmur.
”Akan sangat berbahaya bagi Jepang dan China, dua kekuatan Asia, untuk saling menyakiti. Dalam keadaan seperti itu, negara-negara Asia, termasuk Jepang, harus mengelola ’benih perselisihan’ dan tidak melewatkan kesempatan langka untuk membangun. Khusus untuk Jepang yang pertumbuhannya melambat, sangat penting untuk memaksimalkan pertumbuhan ekonomi selama rezeki nomplok ini karena terkait dengan masa depan Jepang,” kata Satoshi, dikutip dari laman media China, Globaltimes. (AP/REUTERS)