OPEC Batal Kumpul, Harga Minyak Berisiko Melambung
Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan negara-negara eskportir lain di luar OPEC batal bertemu pada Senin (5/7/2021). Belum adanya titik temu kuota produksi minyak berisiko melambungkan harga minyak.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
(AP PHOTO/RONALD ZAK, FILE)
Foto yang diambil pada 6 Maret 2020 ini menunjukkan Menteri Energi Arab Saudi Pangeran Abdulaziz bin Salman Al-Saud tiba untuk pertemuan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan negara-negara eksportir minyak lain di luar OPEC di Kantor Pusat OPCE di Vienna, Austria.
RIYADH, SELASA — Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak atau OPEC bersama 13 negara eksportir minyak lainnya batal mengadakan pertemuan pada Senin (5/7/2021). Ini terjadi menyusul aspirasi Arab Saudi dan Uni Emirat Arab soal kuota produksi yang tidak menemukan titik temu. Nihilnya kesepakatan tersebut berisiko melambungkan harga minyak dan memicu inflasi.
Pembatalan rapat diumumkan secara mendadak. Padahal, sejumlah pihak sudah menunggu-nunggu hasil kesepakatan rapat guna melihat distribusi kuota produksi minyak mentah yang kemudian diproyeksikan ke perkiraan harga. Hal ini menjadi salah satu faktor penting dalam pemulihan ekonomi. ”Sejauh ini belum ada jadwal penggantian pertemuan. Nanti akan direncanakan ulang,” kata Sekretaris Jenderal OPEC Mohammed Barkindo.
Tahun lalu, OPEC+ sepakat memangkas produksi sebanyak 10 juta barel per hari (barrel per day/bpd) seiring dengan permintaan minyak global yang anjlok akibat pandemi Covid-19. Volume yang dipangkas itu setara dengan 10 persen dari produksi global. Menurut rencana, kuota produksi akan dinaikkan bertahap hingga sampai ke level sebelum pandemi pada 2022.
Saat pandemi tahun lalu, kuota produksi adalah 2 juta bpd. Ini disetujui OPEC dan negara eksportir minyak lainnya, kecuali Rusia yang meminta tambahan kuota. Selanjutnya, kuota dilonggarkan secara perlahan hingga terakhir mencapai 5,8 juta bpd. Kuota tersebut adalah akumulasi dari kuota pada negara-negara terkait.
UEA pada Jumat, menurut sebuah sumber, sebenarnya menerima usulan Arab Saudi dan anggota OPEC+ lainnya untuk meningkatkan produksi secara bertahap dengan tambahan 2 juta bpd dari kuota yang ada sekarang, mulai Agustus hingga Desember 2021. Namun, UEA menolak perpanjangan pemotongan kuota yang tersisa hingga akhir 2022 tanpa penyesuaian lagi.
Berdasarkan data lembaga konsultasi pasar dan fiskal, Refinitiv, Uni Emirat Arab memproduksi 2,7 juta bpd. Kapasitasnya bisa memproduksi sampai dengan 4 juta bpd.
(AP PHOTO/RONALD ZAK, FILE)
Foto yang diambil 6 Maret 2020 ini menunjukkan Menteri Energi dan Industri Uni Emirat Arab Suhail al-Mazrouei tiba untuk pertemuan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan negara-negara eksportir minyak lain di luar OPEC di Kantor Pusat OPEC di Vienna, Austria. (AP Photo/Ronald Zak, File)
Menteri Energi UEA Suhail Mohamed al-Mazrouei, dalam wawancara televisi, mengatakan, kenaikan kuota produksi minyak menjadi 3,17 juta bpd untuk negaranya tidak akan cukup menopang ekonomi domestik. Ia meminta agar Uni Emirat Arab diizinkan memproduksi 3,8 juta bpd.
Arab Saudi melalui Menteri Energi Pangeran Abdulaziz bin Salman langsung menolak permintaan tersebut. ”Permintaan seperti ini tidak pernah terjadi dalam sejarah OPEC. Kepentingan satu negara tidak bisa di atas kepentingan dunia. Kita tetap harus menekan produksi sampai dengan tahun 2022 agar harga minyak bisa stabil,” ujarnya.
Sejauh ini, kedua belah pihak belum menemukan titik temu. Amerika Serikat yang bukan anggota OPEC+ melalui pernyataan Gedung Putih meminta agar OPEC+ mencari jalan keluar. Jika tidak, harga minyak akan terus melambung dan dunia berisiko mengalami inflasi.
Menurut Kepala Divisi Analisa Rystad Energy, firma konsultasi energi, Per Magnus Nysveen, langkah yang bisa diambil adalah Arab Saudi mengalah dan menurunkan produksi mereka agar UEA bisa meningkatkan produksi. Namun, hal ini sukar dilakukan karena ekonomi kedua negara sama-sama bergantung pada penjualan minyak.
”Selain itu, susah dipastikan pembicaraan keduanya akan murni menyangkut minyak karena antara UEA dan Arab Saudi juga ada masalah politik, seperti dukungan UEA terhadap Qatar yang dijauhi oleh Arab Saudi,” kata Nysveen.
Di bursa saham, harga minyak mentah meningkat. Minyak Brent, misalnya, harganya mencapai 77 dollar AS per barel dan diduga akan terus naik. Bahkan, ada kemungkinan minyak mentah harganya mencapai 100 dollar AS per barel, harga tertinggi sejak 2014. Jika ini terjadi, dunia harus bersiap menghadapi inflasi. Bank-bank sentral terpaksa menaikkan suku bunga dan negara-negara harus membuat kebijakan moneter baru. (AP/AFP/REUTERS/DNE)