Kebijakan Tiga Anak Isyaratkan Masalah Demografis yang Serius
China membuat kebijakan baru yang membolehkan pasangan suami istri untuk memiliki hingga tiga anak, dari sebelumnya dibatasi hanya dua anak.
Oleh
pascal s bin saju
·4 menit baca
BEIJING, SENIN — Otoritas China, Senin (31/5/2021), mengumumkan, setiap pasangan yang menikah bisa memiliki hingga tiga anak, dari semula hanya boleh dua anak. Perubahan kebijakan ini menunjukkan China sedang mengalami masalah demografis: penurunan tingkat kelahiran yang serius.
Kantor berita Pemerintah China, Xinhua, melaporkan, perubahan kebijakan tersebut disetujui dalam pertemuan puncak politbiro yang dipimpin oleh Presiden Xi Jinping. Perubahan itu disertai ”langkah-langkah yang mendukung, yang kondusif untuk meningkatkan struktur populasi negara kita,” kata Xinhua.
Dilaporkan, perubahan kebijakan itu memenuhi strategi negara untuk secara aktif dapat mengatasi persoalan populasi yang semakin menua di tengah merosotnya populasi usia produktif. Dengan kebijakan baru itu pula, Beijing membatalkan kebijakan dua anak yang sudah berlaku sejak 2016.
”Untuk lebih mengoptimalkan kelahiran baru, (China) akan menerapkan kebijakan pasangan suami istri atau yang sudah menikah bisa memiliki hingga tiga anak,” kata media China itu, mengutip hasil pertemuan politbiro.
Sebelumnya, selama empat dekade hingga 2016, China menerapkan kebijakan kontroversialnya yang membatasi hanya satu anak. Kebijakan ”satu anak” menjadi bumerang bagi keseimbangan demografi.
Kebijakan satu anak itu mulai diterapkan pada 1979 oleh pemimpin China, Deng Xiaoping. Garis kebijakan Deng sangat jelas: jangan sampai keberhasilan pertumbuhan ekonomi terhalang oleh pertumbuhan populasi yang sangat cepat.
Sekarang kebijakan itu sudah usang. Dengan kebijakan ”tiga anak”, diharapkan China dapat mengatasi risiko pada sektor ekonomi, yakni akan terpenuhinya populasi usia produktif dalam 15-40 tahun ke depan di China.
Ketika membatalkan kebijakan satu anak pada 2016, Beijing bermaksud mencegah risiko ekonomi akibat lonjakan jumlah populasi usia lanjut. Pergeseran demografis membawa implikasi ekonomi serta politik yang signifikan dan serius bagi ekonomi terbesar kedua di dunia itu.
Namun, ternyata perubahan kebijakan yang membolehkan dua anak itu juga gagal membuat lonjakan kelahiran (baby boom) berkelanjutan. Suami istri atau pasangan yang sudah menikah di China tetap berusaha membatasi kelahiran dengan hanya satu anak dan sedikit yang ingin memiliki dua anak.
Banyak juga pasangan usia subur yang menunda kelahiran. Bahkan, jumlah pernikahan terus menurun. Hal itu membuat laju kelahiran menjadi lebih lambat. Pelonggaran kebijakan terkait kelahiran tidak serta-merta mendorong terjadinya baby boom, seperti yang diharapkan Beijing.
Orang-orang, khususnya pasangan suami istri, tidak ingin menambah anak juga karena persoalan ekonomi. Bagi mereka, menambah anak dapat membawa konsekuensi ekonomi yang besar untuk membesarkan dan menyekolahkan anak. Jangankan untuk dua anak, satu anak saja sudah dianggap merepotkan.
Media China itu tidak merinci langkah-langkah yang diambil Pemerintah China untuk mendukung kebijakan terbarunya. Namun, warganet merespons di media sosial dengan dingin. Mereka merasa tidak mampu memiliki tiga anak karena dengan satu atau dua saja memicu masalah ekonomi.
”Saya bersedia memiliki tiga anak jika Anda memberi saya 5 juta yuan ( 785.650 dollar),” kata seorang pengguna Weibo.
Perubahan kebijakan soal kelahiran diambil setelah sensus terbaru, yang digelar setiap 10 tahun pada awal Mei 2021, menunjukkan bahwa laju pertumbuhan penduduk China kini berada di tingkat paling lambat dalam beberapa dekade terakhir sejak 1950-an. Populasi China saat ini sekitar 1,41 miliar.
Menurut Biro Statistik Nasional, tingkat kesuburan seorang wanita China pada 2020 mencatat rekor terendah, hanya melahirkan 1,3 anak saja. Menurut data statistik, pada 2020 hanya 12 juta bayi yang lahir, angka kelahiran terendah sejak 1960-an. Itu menambah kekhawatiran bahwa China mungkin menghadapi penurunan populasi lebih cepat daripada yang diduga.
Partai Komunis di bawah pimpinan Xi merasa khawatir akan hal itu. China bisa terancam kekurangan usia produktif untuk menggerakkan ekonomi. Pada tahun 2050, penduduk usia lanjut kemungkinan akan membengkak. Hal ini bisa menekan negara untuk menyediakan pensiun dan perawatan kesehatan.
Situasi itu mendesak Beijing untuk mengizinkan pasangan suami istri memiliki anak hingga tiga orang. Politbiro China juga mengatakan akan menunda secara bertahap usia pensiun negara itu, tetapi tidak memberikan penjelasan terinci mengenai persoalan tersebut.
Keseimbangan jender di China juga dipengaruhi oleh kebijakan satu anak selama beberapa dekade. Preferensi sosial tradisional yang lebih mengharapkan anak laki-laki mendorong luasnya aborsi atas janin yang diketahui berjenis kelamin perempuan. Banyak anak perempuan juga ditelantarkan begitu saja.
Terjadi pengguguran kandungan dan sterilisasi secara paksa. Terlebih di desa-desa ketika para orangtua lebih memilih memiliki anak laki-laki daripada perempuan. Tidak terhitung berapa banyak calon jabang bayi perempuan yang digugurkan demi memiliki anak laki-laki. (REUTERS/AFP/AP)