Industri mode terus bergerak menuju produk yang ramah lingkungan. Beragam inovasi dilakukan para desainer untuk menciptakan busana yang tidak menambah catatan buruk industri ini terhadap alam.
Oleh
Fransisca Romana Ninik
·4 menit baca
Mode global bergerak lebih jauh untuk menghapus catatan buruk dalam riwayat lingkungan hidup. Masyarakat, khususnya pencinta mode, semakin sadar akan keberlanjutan dan keterlacakan dalam busana yang mereka kenakan.
Seperti diketahui, sampah mode menyumbang 10 persen dari emisi karbon global. Catatan Ellen MacArthur Foundation, yayasan yang mempromosikan ekonomi sirkular, menyebutkan, industri mode menyerap hingga 93 miliar meter kubik air per tahun. Mode juga membuang 500.000 ton serat mikroplastik ke dalam lautan.
Tuntutan untuk perubahan dalam industri ini menguat. Beberapa hari lalu Badan Cukai dan Penjaga Perbatasan Amerika Serikat melarang produk jenama Jepang, Uniqlo, yang dibongkar di Pelabuhan Los Angeles. Baju-baju itu diduga dibuat dengan kapas dari Xinjiang, China, dan diproduksi dengan memanfaatkan kerja paksa terhadap etnis Uighur. Uniqlo menyanggah tudingan tersebut. Jenama tersebut menyatakan bahan baku yang dipakai jelas dan proses produksi menghormati hak pekerja.
Keterlacakan produksi busana kini menjadi salah satu pertimbangan orang untuk membeli sebuah produk mode. Fibertrace, jenama yang memenangi penghargaan keberlanjutan dari majalah Drapers tahun ini, menawarkan sebuah solusi.
Fibertrace menanamkan pigmen berpendar yang tidak bisa rusak ke dalam benang. Busana yang dihasilkan dari benang itu bisa dipindai seperti sebuah kode batang (barcode) untuk menemukan asalnya. ”Kita tidak bisa menemukan dampak lingkungan dari segala sesuatu selain kita tahu di mana barang itu dibuat,” kata Andrew Olah, Direktur Penjualan Fibertrace, kepada kantor berita AFP, Kamis (20/5/2021).
Inovasi teknologi memang menawarkan kepada industri mode sebuah kesempatan untuk menghapus buruknya catatan mereka dalam isu lingkungan. Sejumlah perancang mode merespons dengan karya-karya yang menarik, di antaranya perancang asal New York, Charlotte McCurdy, yang memakai ganggang untuk mantel dan gaun.
Tahun 2019, McCurdy meramu bioplastik berbahan ganggang di laboratorium untuk membuat material tahan air. Ganggang diekspos terhadap panas sehingga terikat dan menyatu, lalu dituang ke dalam cetakan sampai solid. Material tersebut menghasilkan warna jingga transparan yang lembut untuk kemudian dijahit menjadi mantel hujan.
”Keberlanjutan dalam mode tidak sekadar tentang tekstil organik, alami, atau daur ulang. Jika kita ingin mencapai emisi nol, kita perlu berpikir tentang bagaimana mengganti 60 persen tekstil yang sekarang dibuat dengan bahan bakar fosil,” ungkap McCurdy seperti dikutip majalah Dezeen.
Pada Februari lalu, McCurdy menggandeng perancang Phillip Lim untuk membuat sebuah gaun dengan bahan dasar serupa. Berhubung bioplastik berbentuk lembaran, bukan utasan benang, kedua perancang memilih gaun dengan aplikasi payet untuk menghasilkan tampilan terbaik.
Jadilah gaun A-line yang cantik, dengan aksen payet berbentuk taring yang bergelantungan menghasilkan efek beriak seperti ombak. Warna hijau dan kuning cerah transparan memberi impresi vibran, seperti hamparan rumput laut.
Meski menarik, pencinta mode tidak akan menemukan rancangan McCurdy di pusat perbelanjaan. ”Saya tidak ingin mengomersialkannya. Pengembangan material semacam ini sangat lambat dan berat karena harus bersaing dengan pendanaan untuk aplikasi telepon seluler,” ujarnya.
Selain McCurdy, muncul pula duo desainer Belanda, Laura Luchtman dan Ilfa Siebenhaar, dari jenama Living Colour, yang menemukan cara untuk mengurangi bahan kimia beracun dan konsumsi air berlebihan dalam pewarnaan tekstil. Cara itu ditemukan lewat bakteri.
Beberapa mikroorganisme tertentu mengeluarkan pigmen alami saat berkembang biak. Dengan mengembangkannya di atas kain, bakteri itu mewarnainya dengan warna dan pola yang menawan.
Sama seperti McCurdy, Luchtman dan Siebenhaar tidak berniat membuat temuan itu menjadi produksi massal. Luchtman, yang sebelumnya bekerja di industri mode cepat, melihat dengan jelas dampak negatif dari industri tersebut terhadap masyarakat dan lingkungan. Itulah sebabnya dia berniat untuk tetap berskala kecil.
Usaha rintisan di California, Amerika Serikat, Bolt Threads, baru-baru ini bekerja sama dengan Adidas, Lululemon, Kering, dan perancang mode Stella McCartney untuk membangun fasilitas produksi Mylo, yakni kulit yang terbuat dari akar jamur. McCartney telah mempresentasikan koleksi rancangan pertama Mylo pada Maret. Adidas juga menjanjikan pembuatan sebuah sneaker Mylo akhir tahun ini.
Skeptis
Kendati disambut baik, sejumlah pakar skeptis inisiatif semacam itu bisa memicu transformasi skala besar. ”Mungkin beberapa hal ini bisa menjadi pijakan dalam industri mode, tetapi palangnya sangat tinggi untuk pendekatan baru,” kata Mark Sumner, pakar keberlanjutan pada University of Leeds School of Design.
Menurut Sumner, industri mode sangat luas dan beragam dengan ribuan pabrik dan operator yang semuanya melakukan hal berbeda. ”Tidak seperti industri mobil. Kamu hanya harus meyakinkan enam atau tujuh perusahaan besar untuk mencoba hal baru,” ujarnya.
Dampak terbesar, katanya, datang dari perbaikan, bukannya penggantian, atas sistem yang sudah ada. Tekanan dari konsumen dan organisasi nonpemerintah membuktikan (dampak) itu sudah berjalan.
”Di antara banyak jenama dan penjual yang bertanggung jawab, ini bukan sekadar mode. Mereka kini mempertimbangkan keberlanjutan sebagai perintah bisnis,” kata Sumner kepada AFP.
Memang tidak ada jawaban benar atau salah. Kekuatan gerakan keberlanjutan datang dari banyak aktor yang menuju arah yang sama. ”Banyak strategi berbeda yang harus berjalan bersama. Teknologi dengan sendirinya tidak akan memecahkan masalah. Perlu kebijakan, budaya, dan etika,” kata Celine Semaan, pendiri Slow Factory Foundation, yang mendukung sejumlah gerakan sosial dan lingkungan, termasuk proyek gaun payet McCurdy. (AFP)