Surga Wisata di Samudra Hindia Ternoda Serangan Bom
Serangan bom di Male, Maladewa, menodai ketenangan negara kepulauan yang menjadi destinasi wisata premium dunia itu. Masa depannya juga terancam ekstremisme agama.
MALE, JUMAT — Kota Male, ibu kota Maladewa, negara kepulauan yang menjadi salah satu surga wisata dunia di Samudra Hindia, diguncang serangan bom yang menarget mantan Presiden Mohamed Nasheed, Kamis (6/5/2021) malam. Situasi di Male mencekam setelah serangan tersebut. Ratusan pendukung Nasheed lantas berkumpul di ibu kota.
Nasheed, yang kini menjabat Ketua Parlemen Maladewa, selamat dalam kondisi terluka parah. Hingga Jumat pagi, pria berusia 53 tahun itu masih dalam perawatan intensif di sebuah rumah sakit swasta di Male.
Media lokal, The Edition, melaporkan, serangan bom terjadi saat Nasheed hendak masuk mobilnya di dekat persimpangan jalan Majeedhee Magu dan Canary Magu, yang menuju ke rumah Nasheed di Canary. Seorang pengawal dan warga asing juga terluka akibat serangan tersebut.
Para korban dilarikan ke Rumah Sakit ADK di Male. ”Setelah ledakan itu, Ketua Parlemen Mohamed Nasheed mengalami luka-luka dan saat ini dia sedang menjalani perawatan,” demikian pernyataan polisi.
Lewat akun Twitter, pihak rumah sakit menyebutkan bahwa Nasheed dibawa dalam kondisi terluka di beberapa bagian tubuh pada Kamis pukul 20.30 waktu setempat atau pukul 22.30 WIB. ”Tim spesialis sedang melakukan operasi penting yang diperlukan,” kata pihak RS, Jumat pagi.
”Mereka telah membiusnya. Ada luka yang lebih dalam di salah satu lengannya,” kata salah satu anggota keluarga kepada AFP.
Baca juga : Antrean panjang dalam pilpres di Maladewa
Wakil Ketua Parlemen Eva Abdulla mengatakan, Nasheed masih dalam perawatan dan kondisinya stabil. Para loyalis Nasheed berkumpul di sekitar rumah sakit. Situasi mencekam dan polisi antihuru-hara telah dikerahkan.
Situasi mencekam dan polisi antihuru-hara telah dikerahkan.
Presiden Ibrahim Mohammed Solih, sekutu dekat Nasheed, melalui akun Twitter mengatakan, polisi telah menyelidiki serangan itu dan akan menangani dengan serius. ”Ketua Parlemen Mohamed Nasheed dalam perawatan di Rumah Sakit ADK di Male. Kami menangani masalah ini dengan sangat serius dan penyelidikan sedang dilakukan,” cuit Solih.
Dalam pidato yang disiarkan televisi nasional, Jumat ini, Solih mengatakan, aparat penyelidik Polisi Federal Australia akan tiba pada Sabtu untuk membantu penyelidikan. Solih dan polisi belum merinci lebih lanjut tentang serangan itu dan belum ada yang mengaku bertanggung jawab.
Menteri Dalam Negeri Imran Abdulla mengatakan, badan-badan asing akan membantu pemerintah dalam penyelidikan. Sementara polisi mengatakan, petugas sedang menyelidiki pelaku dan motif serangan. Polisi meminta warga untuk tetap tenang dan menghindari pusat ledakan.
”Sangat mengecam serangan terhadap Ketua Parlemen Mohamed Nasheed. Tidak ada tempat bagi serangan pengecut seperti ini di dalam masyarakat kita,” kata Menteri Luar Negeri Maladewa Abdulla Shahid di akun Twitter-nya. ”Pikiran dan doa saya untuk Nasheed dan lainnya yang terluka dalam serangan ini serta keluarga mereka,” cuitnya.
Target serangan
Foto-foto yang beredar di media sosial menunjukkan sebuah sepeda motor hancur di tempat kejadian. Polisi tidak mengatakan apakah ledakan itu merupakan upaya pembunuhan terhadap Nasheed.
Namun, BBC mendapat laporan bahwa bahan peledak telah diikat ke sepeda motor yang diparkir di dekat mobil Nasheed. Sepeda motor itu hancur. Ali Azim, anggota parlemen, mengatakan kepada BBC, ledakan itu diduga merupakan ”serangan yang sengaja menargetkan Nasheed”.
Namun, hingga sejauh ini belum ada pihak yang mengklaim serangan itu. Belum ada pula laporan penangkapan terhadap terduga pelaku atau otak serangan yang mengancam nyawa Nasheed.
Menteri Luar Negeri India S Jaishankar menyebut ledakan itu sebagai serangan yang memang menarget Nasheed. ”Semoga dia cepat sembuh. Ketahuilah bahwa dia tidak akan pernah terintimidasi,” kata Jaishankar.
Nasheed adalah pemimpin pertama Maladewa yang terpilih secara demokratis, setelah memenangi pemilihan multipartai pertama pada 2008. Pemilihan ini mengakhiri pemerintahan otokrasi selama 30 tahun. Dia mengalahkan Presiden Maumoon Abdul Gayoom dalam putaran kedua pemungutan suara.
Baca juga : Presiden Abdulla Yameen Akui Kekalahan
Sebagai presiden, Nasheed menjabat hingga 7 Februari 2012 dan memutuskan untuk mundur setelah sekelompok polisi memberontak dengan menduduki stasiun televisi. Pengunduran diri Nasheed sekaligus mengakhiri aksi demonstrasi yang berlangsung tiga pekan di Maladewa.
Tiga tahun kemudian, Nasheed dinyatakan bersalah melakukan ”terorisme” dan dijatuhi hukuman 13 tahun penjara yang membuatnya lari ke Inggris. Namun, pada 2018, Pengadilan Tinggi Maladewa membatalkan hukuman penjara terhadap Nasheed setelah peninjauan ulang atas dakwaan terhadapnya.
Dia kembali ke Male setelah partai yang didirikannya, Partai Demokratik Maladewa, memenangi pemilu. Namun, dia tidak bisa mengikuti pemilihan presiden 2018 karena kasus pidana tersebut. Solih, rekan satu partainya, terpilih menjadi presiden. Pada 2019 Nasheed masuk parlemen dan menjadi ketua parlemen.
Ketika terpilih sebagai ketua parlemen, Nasheed terbukti masih menjadi tokoh politik yang berpengaruh. Ia merupakan salah satu tokoh yang memperjuangkan upaya global untuk memerangi perubahan iklim. Nasheed memperingatkan, kenaikan air laut yang disebabkan pemanasan global mengancam pulau-pulau dataran rendah di Maladewa.
Sebagai tokoh nasional Maladewa, Nasheed merupakan kritikus yang terbuka dalam menentang ekstremisme agama di negara berpenduduk mayoritas Muslim itu. Dakwah atau kegiatan pengajaran agama lain dilarang hukum negara tersebut sehingga juga menjadi bagian kerisauannya.
Resor wisata dan radikalisme
Serangan bom kali ini mengejutkan karena Maladewa yang terkenal sebagai negara kepulauan dengan resor-resor wisata premium itu relatif tenang. Serangan bom ini merupakan yang kedua setelah terjadi ledakan pada 29 September 2007 yang menewaskan 12 turis asing.
Saat itu bom meledak di Taman Sultan, dekat Islamic Center, tidak jauh dari Markas Besar Tentara Maladewa (MNDF). Taman tersebut dikelilingi sejumlah kamera pengawas yang terkoneksi dengan MNDF. Pada 2015, mantan Presiden Abdulla Yameen lolos tanpa cedera setelah terjadi ledakan di perahu cepat miliknya.
Baca juga : Sensasi Liburan Virtual Memupuk Rindu Pelancong
Maladewa terdiri atas 1.192 pulau di barat daya sub-benua India. Negara ini termasyhur sebagai tujuan wisata idaman dengan perairan yang biru jernih dan pantai berpasir putih yang bersih. Ketika terjadi serangan pada 2007, negara itu menerima kunjungan 600.000 wisatawan asing. Kunjungan ke Maladewa setiap tahun terus meningkat kecuali sejak pandemi Covid-19 melanda dunia.
Negara kepulauan di Samudra Hindia ini merupakan negara yang penduduknya mengikuti tradisi Islam secara kuat. Di beberapa pulau dan karang yang jauh dari ibu kota, muncul benih konservatisme dan radikalisme. Aparat menyalahkan pedakwah garis keras asing atas radikalisasi tersebut.
Badan Keamanan Maladewa mengatakan, puluhan jihadis dari negara itu telah pergi ke Suriah untuk berperang bersama kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) dan organisasi ekstremis lainnya. Setelah perang berakhir di Suriah, beberapa dari mereka kembali dengan leluasa.
Kepada Anbarasan Ethirajan, Editor Regional Asia Selatan BBC, ketika bertemu Nasheed di Male pada 2019, tokoh moderat Maladewa itu mengatakan bahwa pemerintah sedang menangani masalah ini dengan serius. ”Nasheed bukan hanya ikon prodemokrasi. Dia juga seseorang yang tidak ragu-ragu untuk berbicara menentang radikalisme dalam agama,” tulis Ethirajan.
Badan Keamanan memperkirakan, ratusan pemuda telah teradikalisasi dan itu menjadi perhatian besar bagi mereka. Dengan begitu, banyak wisatawan asing mengunjungi negara itu, menjadikan sektor pariwisata andalan negara, otoritas keamanan berusaha meminimalkan serangan teror agar tidak menjadi berita utama internasional.
Namun, kini serangan terhadap Nasheed adalah pengingat jelas tentang tantangan yang dihadapi pihak berwenang di Maladewa ke depan.
Sejarah politik Maladewa menjadi tidak menentu sejak Presiden Maumoon Abdul Gayoom kalah dalam pemilu 2008. Sejak itu, intrik-intrik politik yang dibumbui oleh paham yang jauh dari moderasi telah menjadi soal besar karena sering menyebabkan krisis politik. (AP/AFP/REUTERS)