Pemerintah Jepang menaikkan target pengurangan emisi karbon mereka menjadi 46 persen pada tahun 2030. Pengusaha mengingatkan agar upaya pencarian sumber EBT tidak mengganggu daya saing ekonomi Jepang.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
TOKYO, JUMAT — Pemerintah Jepang menggandakan target pengurangan emisi karbonnya menjadi 46 persen pada tahun 2030, berubah dari target sebelumnya pengurangan 26 pesen dari level 2013. Penggandaan target pengurangan emisi Jepang sejalan dengan keinginan Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga yang ingin menjadikan Jepang negara karbon netral pada tahun 2050.
Suga, Kamis (22/4/2021), mengatakan, pencapaian target baru itu tidak mudah. Namun, dia menginstruksikan kabinetnya untuk mempercepat rencana itu, termasuk mengupayakan target pengurangan emisi yang lebih tinggi, yaitu 50 persen.
Para ahli perubahan iklim mengatakan, emisi CO2 bersih dunia harus turun menjadi nol pada tahun 2050 untuk membatasi kenaikan suhu global tidak lebih dari 1,5 derajat celsius dibandingkan dengan tingkat pra-industri. Kegagalan untuk mencapai hal itu akan menimbulkan dampak yang lebih parah.
Jepang, penghasil emisi karbon terbesar nomor lima di dunia, telah berada dalam tekanan, termasuk dari sekutunya, Amerika Serikat, untuk menetapkan target pengurangan emisi sebesar 50 persen. Tekanan ini, menurut sumber yang mengetahui hal ini, juga disampaikan Presiden AS Joe Biden saat Suga berkunjung ke Washington, akhir pekan lalu.
Biden sendiri telah menetapkan target pengurangan emisi hingga 50-52 persen dari level tahun 2005 saat konferensi iklim pekan lalu yang dihadiri negara-negara penghasil karbon terbesar di dunia, seperti China, India, dan Rusia. Bahkan, Inggris menjanjikan pengurangan emisi karbon sebesar 78 persen pada tahun 2035.
Tekanan terhadap Suga tidak hanya berasal dari luar, tetapi juga dari dalam negeri. Sejumlah aktivis lingkungan menilai target awal Suga tidak cukup agresif dalam membantu mengatasi krisis iklim global.
Tekanan itu berbuah setelah pemerintah menyatakan akan meninjau kebijakan energi pada tahun ini dan telah mengindikasikan akan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil yang menghasilkan karbon dalam bauran listrik.
Namun, meski begitu, Pemerintah Jepang mendapat kritik keras karena mempertahankan dukungan terhadap penggunaan batubara sebagai sumber energi bagi pembangkit listrik. Hal itu terjadi karena lambatnya pengoperasian kembali pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima setelah bencana gempa 2011 yang menyebabkan reaktor tersebut ditutup.
”Semua mata sekarang akan tertuju pada revisi Rencana Energi Strategis yang tertunda, dengan sebagian besar perusahaan Jepang mendesak target 50 persen atau lebih energi terbarukan pada tahun 2030,” kata Dylan Tanner, Direktur Eksekutif InfluenceMap, analisis data yang berbasis di London, Inggris. Dengan target tersebut, diharapkan akan ada reformasi regulasi dan investasi pada sektor ketenagalistrikan Jepang, sejalan dengan tren global penggunaan sinar matahari dan angin sebagai sumber tenaga bagi pembangkit listrik.
Beberapa industri, seperti Aeon Co, Fujitsu, Ricoh Co, dan perusahaan lain, telah meminta Pemerintah Jepang mempercepat peralihan penggunaan energi, dari energi fosil ke energi terbarukan dan ekonomi nol karbon dalam proses pemulihan pascapandemi. Namun, industri otomotif Jepang mengeluarkan catatan khusus dan meminta pemerintah untuk berhati-hati.
Presiden Toyota Motor Corp, Akio Toyoda, berbicara sebagai Ketua Asosiasi Produsen Mobil Jepang, mengatakan, yang perlu dilakukan Pemerintah Jepang saat ini adalah memperluas pilihan warga untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan. Menurut dia, kebijakan pembatasan mobil yang menggunakan bahan bakar bensin atau diesel, mesin pembakaran dalam (ICE) terlalu dini akan membatasi pilihan warga.
”Kebijakan yang melarang mobil bertenaga bensin atau diesel sejak awal akan membatasi opsi tersebut, dan juga dapat menyebabkan Jepang kehilangan kekuatannya,” katanya dalam sebuah konferensi pers.
Studi InfluenceMap yang dilakukan pada tahun 2020 juga menyatakan, sikap Pemerintah Jepang yang lunak terhadap energi kotor yang dihasilkan karena penggunaan batubara lebih dikarenakan keberhasilan lobi para pebisnis Jepang yang tergabung dalam Keindanren. Keindanren yang mewakili 1.444 usaha di Jepang telah berhasil mengarahkan pemerintah untuk menghasilkan kebijakan nasional yang mendukung penggunaan batubara dan menghambat upaya untuk memerangi perubahan iklim, menurut studi tersebut. Studi ini telah dibantah oleh Keindaren. (Reuters)