Perempuan Pemimpin Membentuk Dunia Lebih Humanis
Perempuan-perempuan pemimpin pemerintahan dan lembaga internasional membuka harapan akan dunia yang lebih baik karena berbekal pendekatan di luar kebiasaan yang lebih mengedepankan empati dan inklusivitas.
Sejak Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, memegang kepemimpinan, semakin banyak perempuan duduk di posisi penting dan dipercaya untuk segera memulihkan perekonomian pascapandemi Covid-19. Proses pemulihan ekonomi berada di tangan Menteri Keuangan Janet Yellen, Menteri Perdagangan Gina Raimondo, dan Perwakilan Dagang Katherine Tai.
Baca juga: Perempuan Masih Dipandang Rendah untuk Menjadi Pemimpin
Selain ketiga menteri perempuan itu, Biden juga merekrut banyak perempuan untuk menjadi penasihat perekonomiannya. Perubahan ”wajah” dalam jajaran kabinet Biden ini memengaruhi kebijakan ekonomi. Salah satunya, rencana pengeluaran baru sebesar 2,3 triliun dollar AS, termasuk 400 miliar dollar AS untuk membiayai ”ekonomi perlindungan” yang mendukung lapangan pekerjaan yang merawat anak-anak dan warga lanjut usia. Lapangan pekerjaan seperti ini biasanya diisi perempuan dan kerap luput dari perhatian selama bertahun-tahun.
Rencana penggunaan anggaran ratusan miliar dollar AS juga akan dialokasikan untuk memperbaiki kesenjangan antara desa dan kota serta kesenjangan antar-rasial yang terjadi, antara lain, karena kebijakan ekonomi, perdagangan, dan tenaga kerja pada masa lalu. Menurut Yellen, fokus pada ”infrastruktur manusia” dan rancangan undang-undang soal dana bantuan 1,9 triliun dollar AS akan bisa memperbaiki partisipasi perempuan di dunia kerja yang kini anjlok.
Baca juga: Menembus Dominasi Lelaki
”RUU ini akan bisa memperbaiki masalah struktural yang melanda perekonomian kita selama 40 tahun terakhir. Ini baru tahap awal saja,” tulis Yellen di Twitter.
Para pengamat menilai, perempuan pemimpin membawa perspektif yang berbeda dalam kebijakan perekonomian. ”Kalau kita berbeda dari orang lain di dalam kelompok yang sama, kita biasanya bisa melihat sesuatu dengan berbeda,” kata Guru Besar di Sekolah Bisnis Harvard, Rebecca Henderson, dan penulis ”Reimagining Capitalism in a World on Fire”.
Baca juga: Kepemimpinan Perempuan
Jika bisa melihat berbagai hal dengan cara berbeda, biasanya orang akan menjadi lebih terbuka pada solusi apa pun. ”Kita sekarang berada di masa sulit karena krisis yang luar biasa. Kita harus punya cara-cara baru untuk berpikir,” kata Henderson.
Empati
Selama separuh abad, setidaknya ada 57 perempuan yang menjadi presiden atau perdana menteri. Namun, lembaga penentu keputusan ekonomi sebagian besar masih dikendalikan oleh laki-laki. Namun, kondisi ini mulai berubah. Di luar AS, ada Christine Lagarde yang memimpin Bank Pusat Eropa yang bertugas mengawasi neraca 2,4 triliun euro. Ada juga Kristalina Georgieva di Dana Moneter Internasional (IMF) yang memegang kekuatan meminjamkan sebesar 1 triliun dollar AS. Di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) juga ada Ngozi Okonjo-Iweala. Sekitar 10 tahun lalu, semua posisi ini dipegang oleh laki-laki.
Menurut laporan tahunan lembaga kajian kebijakan ekonomi dan perbankan, OMFIF, secara keseluruhan banyak perempuan yang memimpin kementerian keuangan di 16 negara dan 14 orang di bank-bank pusat. Perempuan terbukti memiliki rekam jejak yang lebih baik dalam mengelola lembaga yang rumit saat krisis. ”Ketika perempuan terlibat, buktinya jelas. Situasi masyarakat menjadi lebih baik, perekonomian lebih bagus, dan dunia menjadi lebih baik,” kata Georgieva, Januari lalu, mengutip hasil penelitian IMF dan lembaga-lembaga lain.
Baca juga: Mulai Berkantor di Geneva, Perempuan di Pucuk WTO Mengukir Sejarah
Perempuan bisa menjadi pemimpin yang lebih baik karena berbekal rasa empati dan kerap memperjuangkan warga dalam posisi yang paling rentan. Perempuan juga menjadi penentu dan lebih bersedia untuk berkompromi.
Studi yang dilakukan Asosiasi Psikologi Amerika menunjukkan negara-negara bagian di AS yang dipimpin gubernur perempuan mempunyai kasus kematian Covid-19 yang lebih sedikit ketimbang negara bagian yang dipimpin laki-laki. Laporan Bisnis Harvard juga menyebutkan, perempuan mendapat rating yang lebih baik dalam penilaian terhadap 60.000 pemimpin antara bulan Maret hingga Juni 2020.
Baca juga: Peran Lebih Perempuan
Hasil penelitian IMF menunjukkan, jumlah perempuan di posisi CEO pada lembaga keuangan kurang dari 2 persen dan perempuan yang menjadi anggota dewan eksekutif kurang dari 20 persen. Namun, dengan adanya keberadaan mereka. terbukti lembaga mereka menunjukkan ketahanan dan memiliki stabilitas keuangan yang lebih baik.
Penasihat Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Direktur Eksekutif dari lembaga nonprofit yang mengadvokasi keringanan utang, Eric LeCompte, mengakui ada perbedaan jelas saat ia mengikuti pertemuan dengan Yellen bersama para pemimpin kelompok Kristiani dan kelompok Yahudi, bulan lalu. ”Saya sudah banyak bertemu menteri-menteri keuangan selama 20 tahun terakhir dan fokus pembicaraan perempuan berbeda. Yellen selalu menekankan pada empati dan dampak kebijakan-kebijakan kepada masyarakat yang rentan,” ujarnya.
Baca juga: Demokrasi Inklusif Menjadi Fokus Pertemuan
Berbeda dengan pemimpin-pemimpin sebelum Yellen yang selalu memakai pendekatan kaku dan tegas dan lebih fokus pada angka dan bukan manusia. Mereka juga tidak pernah menggunakan kata-kata seperti ”rentan”.
Momen menentukan
Resesi global yang terjadi akibat dampak pandemi Covid-19 menjadi momen menentukan bagi perempuan karena banyak perempuan yang menjadi korban. Dalam studi McKinsey baru-baru ini disebutkan, perempuan mengisi 39 persen dari jumlah angkatan kerja global, tetapi menyumbang 54 persen dari keseluruhan orang yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi. Di AS saja, perempuan menyumbang lebih dari setengah dari 10 juta lapangan pekerjaan yang hilang akibat krisis pandemi Covid-19 dan lebih dari 2 juta perempuan sampai sekarang tidak bekerja.
IMF memperkirakan, membawa perempuan kembali masuk ke dalam lapangan pekerjaan akan bisa mendongkrak produk domestik bruto hingga 5 persen di AS, 9 persen di Jepang, 12 persen di Uni Emirat Arab, dan bahkan 27 persen di India. Georgieva, Selasa lalu, menyebutkan, IMF sudah mematok target-target kuantitatif untuk memastikan negara-negara fokus untuk anggaran pengeluaran pemulihan pada kesehatan, pendidikan, perlindungan sosial, dan pemberdayaan perempuan setelah terabaikan selama bertahun-tahun. ”Kalau kita tidak melakukannya, kesenjangan akan semakin parah,” ujarnya.
Baca juga: Menarasikan Perempuan Bekerja
Kepala Ekonom Bank Dunia Carmen Reinhart menilai, kemunculan perempuan-perempuan pemimpin akan bisa menghasilkan respons-respons yang lebih inklusif terhadap banyak tantangan akibat pandemi Covid-19. Tai, perempuan pemimpin kantor Perwakilan Dagang AS, sudah meminta staf-stafnya untuk berpikir dengan perspektif berbeda, merangkul keberagaman, dan senantiasa berbicara dengan masyarakat.
Okonjo-Iweala, warga perempuan Afrika pertama pemimpin WTO yang bertugas memantau arus perdagangan senilai 19 triliun dollar AS pada 2019, mengatakan, pemenuhan kebutuhan perempuan menjadi langkah penting untuk membangun kembali kepercayaan rakyat kepada pemerintah dan lembaga-lembaga global. ”Kita harus memastikan melakukan berbagai hal di luar kebiasaan. Kita berurusan dengan manusia. Ini soal inklusivitas. Bekerja untuk warga biasa,” kata Okonjo-Iweala, yang juga perempuan pertama yang menjadi menteri keuangan Nigeria itu. (REUTERS)