Cerita para duta besar dan diplomat veteran dalam rentang masa tugas lebih dari 30 tahun itu menggambarkan dari dekat dan cerita di balik layar liku-liku diplomasi Indonesia di sejumlah negara.
Oleh
MH SAMSUL HADI
·4 menit baca
DOKUMENTASI PTRI NEW YORK
Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia AM Fachir (depan, tengah) menghadiri sesi Debat Terbuka Dewan Keamanan PBB mengenai ”Threats to International Peace and Security caused by terrorist acts: Preventing and Combating the Financing of Terrorism”, di Markas Besar PBB, New York, AS, Kamis (28/3/2019).
Sudah menjadi kebiasaan di kalangan diplomat setingkat duta besar yang baru menyelesaikan misi tugas di luar negeri dan kembali ke Tanah Air, digelar acara debriefing di Kementerian Luar Negeri RI. Acara debriefing awal Maret ini berlangsung ”tak biasa”. Acara secara daring itu ditandai dengan peluncuran buku yang mendokumentasikan pengalaman diplomasi mereka di sejumlah negara.
Di kalangan diplomat dikenal enam tugas dan fungsi utama: mewakili (representing), melindungi (protecting), negosiasi (negotiating), memajukan/promosi (promoting), melapor (reporting), dan mengelola (managing). Gambaran konkret tugas dan fungsi itu dipaparkan lewat cerita 17 diplomat dalam buku Diplomasi: Kiprah Diplomat Indonesia di Mancanegara yang diluncurkan pada acara tersebut.
Dubes RI untuk Austria, Slovenia, dan Wakil Tetap RI untuk PBB di Vienna, Darmansjah Djumala, salah satu penulis, mengatakan bahwa dengan menerbitkan buku itu, para diplomat ingin berbagi pengalaman dan memberikan kontribusi pemikiran bagi masa depan diplomasi Indonesia. Cerita para duta besar dan diplomat tersebut menggambarkan dari dekat dan cerita di balik layar liku-liku diplomasi Indonesia di sejumlah negara.
Hasil diplomasi tersebut boleh jadi sudah diketahui publik dari pemberitaan-pemberitaan di media. Namun, bagaimana proses diplomasi itu dijalankan diplomat mungkin belum diketahui masyarakat.
KBRI STOCKHOLM
Duta Besar Republik Indonesia untuk Swedia dan Latvia, Bagas Hapsoro (berbaju batik), ikut mendampingi warga asing yang ingin memainkan angklung dalam Festival "Wonderful Indonesia" di Stockholm, Swedia, akhir Juli 2017.
Setiap negara atau kawasan tempat tugas diplomat menghadirkan tantangan, nuansa, dan persoalan yang khas dan mungkin juga unik. Dari cerita pengalaman diplomasi di wilayah tugas di negeri iiran, Malaysia (oleh Taufiq Rodhy), dan Bahrain (Nur Syahrir Rahardjo), misalnya, isu ketenagakerjaan terlihat sebagai persoalan dominan. Cerita diplomasi di Kaledonia Baru (Widyarka Ryananta) memaparkan ikatan erat orang Jawa dan kawasan Pasifik Selatan.
Lobi kilat pada Sheikh Al-Azhar
Dari Mesir, AM Fachir—Dubes RI di Kairo 2007-2011 yang belakangan menjabat wakil menteri luar negeri—menuangkan cerita diplomasinya dengan Imam Besar Al Azhar saat Indonesia ingin membangun asrama bagi mahasiswanya di Al Azhar guna mengatasi rendahnya jumlah mereka (40 persen) yang lulus tepat waktu. Awalnya, Fachir meminta izin membangun asrama dekat kampus, Imam Besar Al Azhar Sheikh Ahmed Tayeb malah merestui pembangunan asrama itu di dalam kampus.
”Lobi dengan Rektor Al Azhar hanya kurang dari satu jam, tapi butuh waktu lebih dari setahun untuk melobi Jakarta,” kenang Fachir.
Adapun dari Vatikan, Dubes Agus Sriyono (2016-2020) menceritakan dialog lintas agama masyarakat Indonesia di Eropa, yang menghasilkan Deklarasi Roma, 1 Juli 2018. Acara di salah satu jantung Eropa dan pusat kepemimpinan Katolik dunia tentu memiliki makna strategis bagi Indonesia, negara berpenduduk mayoritas Muslim.
Dari acara semacam itu, bukan saja untuk memperlihatkan misi diplomasi Indonesia mampu mendukung kerukunan umat beragama di dalam negeri, tetapi juga menunjukkan pada Eropa dan dunia tentang kemajemukan agama di Indonesia. ”Indonesia merupakan negara paling plural di dunia,” cerita Agus.
KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Sekretaris Negara Vatikan Kardinal Pietro Parolin (berjubah hitam), orang kedua di Vatikan setelah Paus Fransiskus, berbincang dengan Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Nur Syam (baju batik ketiga dari kiri) didampingi perwakilan agama-agama di Indonesia dan Duta Besar Indonesia untuk Takhta Suci Vatikan Agus Sriyono (paling kanan), Rabu (4/7/2018), di Palazzo Apostolico, Vatikan, Roma. Dalam kesempatan ini, delegasi Indonesia menyerahkan Deklarasi Roma kepada Paus Fransiskus.
Di kawasan lain, situasi konflik dan perang—apalagi ini melibatkan dua negara mitra Indonesia—menghadirkan situasi pelik, tidak mudah, dan kemampuan menempatkan diri secara tepat. Itu, antara lain, diuraikan Prayono Atiyanto (Dubes untuk Azerbaijan 2012-2016) saat mengupas konflik di Nagorno-Karabakh antara Azerbaijan dan Armenia. Konflik itu menjadi salah satu ujian diplomasi Indonesia.
”Million friends zero enemy”
Azerbaijan dan Armenia adalah sama-sama negara sahabat Indonesia. Prayono mengungkapkan, sempat ada kegamangan para diplomat Indonesia saat Azerbaijan dan Armenia meminta Indonesia melalui KBRI di Baku (Azerbaijan) dan Yerevan (Armenia) mau menyatakan dukungan tegas kepada masing-masing dari mereka. Dalam situasi seperti itu, Indonesia bak terjepit di tengah pertarungan dua singa. Jika salah dalam menyatakan sikap, bisa rusak hubungan dengan negara mitra tersebut.
Untuk mengatasi kegamangan diplomasi tersebut, Prayono menceritakan gaya diplomasi million friends zero enemy (sejuta teman tanpa musuh). Pendekatan diplomasi jalan tengah seperti ini mungkin dianggap gambaran posisi tidak tegas Indonesia, terutama oleh pihak-pihak yang bersengketa, dan juga menuai kritik di dalam negeri. Meski demikian, diplomasi itu mampu menyelamatkan Indonesia dalam mengarungi konflik di antara negara-negara mitra.
Situasi hampir serupa dialami diplomat Indonesia saat meletus konflik dan pencaplokan Crimea, wilayah Ukraina timur yang berbatasan langsung dengan Rusia. Niniek Kun Naryatie, Dubes RI untuk Ukraina 2012-2016, menceritakan betapa repotnya posisi Indonesia saat para duta besar negara-negara Barat melakukan demarche (pendekatan melalui perwakilan diplomatik) untuk meminta dukungan Indonesia bagi Ukraina. Akan tetapi, di sisi lain Rusia melalui duta besarnya di Jakarta juga berusaha keras meminta dukungan Indonesia sesuai arah kebijakan Kremlin.
”Indonesia berpendirian tetap tidak berpihak dan tetap menjaga agar tidak terjebak dalam keberpihakan dan terseret ke tengah pusaran konflik,” tulis Niniek mengenang situasi saat itu.
Cerita dari lapangan oleh para diplomat veteran—17 penulis buku itu adalah alumni Sekolah Dinas Luar Negeri (Sekdilu) Angkatan X (1984-1985)—dari lapangan itu juga menumbuhkan kebanggaan tersendiri. Ini, misalnya, saat Tri Edi Mulyani (Dubes RI untuk Kolombia 2012-2017) mengisahkan cerita sukses Indonesia memetik perdamaian di Aceh ikut berperan dalam proses perdamaian Kolombia antara pemberontak FARC-EP dan pemerintah.
Walhasil, dari cerita pengalaman di lapangan para diplomat veteran itu, kata Darmansyah, ”Mungkin pengalaman masa lalu belum tentu relevan dengan tuntutan zaman saat ini, tetapi hakikat tujuan diplomasi masih sama: memperjuangkan kepentingan nasional.”