Sejumlah negara dan perusahaan telah memutuskan atau setidaknya menunda kerja sama dengan Myanmar selepas kudeta. Pemogokan memangkas ekspor-impor Myanmar.
Oleh
Kris Mada
·3 menit baca
AP
Warga sipil berbaris dengan perisai darurat saat unjuk rasa di Mandalay, Myanmar, Jumat (12/3/2021). Sepanjang Kamis (11/3/2021), sebanyak 12 pengunjuk rasa tewas akibat respons keras aparat.
WASHINGTON, SABTU — Amerika Serikat menunda deportasi bagi warga Myanmar yang sudah habis izin tinggalnya. Penundaan yang berlaku 1,5 tahun itu bagian dari penyikapan terhadap kudeta di Myanmar.
Menteri Keamanan Dalam Negeri AS Alejandro Mayorkas menyebutkan, aturan itu hanya berlaku bagi warga Myanmar yang sudah berada di AS. Warga Myanmar yang berada di luar AS tidak bisa memanfaatkan kebijakan itu. ”Warga dan penduduk tetap Myanmar bisa tetap sementara waktu di AS,” ujarnya, Jumat (12/3/2021) siang waktu Washington atau Sabtu pagi WIB.
Keputusan itu, antara lain, berdampak pada sekitar 1.600 warga Myanmar di AS. Di antara mereka termasuk diplomat Myanmar yang sebagian sudah menyatakan tidak mendukung pemerintahan hasil kudeta 1 Februari 2021. Dengan pengumuman Mayorkas, 1.600 orang itu bisa tetap berada di AS sampai menjelang akhir 2022.
Kementerian Keamanan Dalam Negeri AS memperingatkan, perbatasan tetap tidak akan dibuka karena pandemi Covid-19. Karena itu, warga Myanmar di luar AS tidak bisa memanfaatkan kebijakan tersebut. Warga Myanmar di luar AS diimbau tidak memercayai pihak-pihak yang mengaku bisa memasukkan mereka ke AS dengan memanfaatkan kebijakan tersebut.
Sanksi
Kebijakan itu rangkaian dari sikap AS selepas kudeta Februari. Sebelum ini, Washington mengumumkan serangkaian sanksi terhadap sejumlah orang di Myanmar.
Pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk masalah Myanmar, Thomas Andrews, berulang kali mendesak sanksi lebih serius untuk menekan junta. Dalam berbagai dokumen telah diungkap daftar perusahaan yang dikendalikan militer Myanmar, Tatmadaw. Kendali pada perusahaan-perusahaan itu membuat Tatmadaw terus mempunyai dana untuk mempertahankan kekuasaannya.
Sejumlah pihak telah memutuskan atau setidaknya menunda kerja sama dengan Myanmar selepas kudeta. Menyusul Australia, Korea Selatan menunda kerja sama pertahanan dan penyaluran bantuan kemanusiaan.
AP
Pengunjuk rasa antikudeta berdiri di belakang barisan perisai bergambar penghormatan tiga jari dan gambar Panglima Tertinggi Jenderal Min Aung Hlaing yang disilang saat mereka berkumpul untuk melakukan protes di Yangon, Myanmar, Selasa (9/3/2021).
Sejumlah perusahaan pelayaran seperti Hapag-Llyod Jerman, Wan Hai dan TS Taiwan, serta Maersk Denmark menghentikan pelayaran dari dan ke Myanmar. ”Karena unjuk rasa, keadaan semakin tegang, transportasi terbatas, pabrik dan kios kekurangan tenaga kerja,” demikian pernyataan Hapag-Lloyd.
Sejumlah perusahaan busana juga mengumumkan penundaan pesanan dari Myanmar. Benetton Italia menyusul H&M, GAP, Primark, dan Adidas yang memutuskan penghentian pesanan dari Myanmar. Industri busana menyumbang hingga 3 persen produk domestik bruto Myanmar.
Seperti sektor lain, para pekerja industri garmen Myanmar juga ikut mogok. Serikat pekerja menjadikan pemogokan sebagai alat protes kudeta.
Dampak pemogokan, seperti dilaporkan Frontier Myanmar, antara lain terasa di perdagangan internasional Myanmar. Para pekerja perbankan, angkutan barang, pelabuhan, sampai bea dan cukai ikut mogok.
Di Yangon, pemogokan membuat volume ekspor tersisa 10 persen dan impor 20 persen. Padahal, Yangon menjadi pintu bagi 70 persen lalu lintas ekspor-impor Myanmar.
AFP
Para pengunjuk rasa memberikan hormat tiga jari di Sungai Sittaung saat aksi demonstrasi menentang kudeta militer di Naypyidaw, Myanmar, Selasa (9/3/2021).
Dampak pemogokan mulai terasa kala pegawai bank tidak mau bekerja sejak 8 Februari 2021. Pemogokan mereka membuat layanan pembayaran tersendat. Tanpa layanan pembayaran, ekspor-impor tidak bisa berjalan. Aneka biaya layanan terkait ekspor-impor tidak bisa diproses.
Pemogokan juga terjadi di kamar dagang dan industri serta aneka kementerian Myanmar. Akibatnya, surat keterangan asal barang dan aneka sertifikat lain tidak bisa diterbitkan. Tanpa surat itu, izin ekspor tidak bisa keluar.
Kondisi diperburuk dengan keputusan para pekerja angkutan barang untuk ikut mogok. Akibatnya, hanya tersisa 30 persen armada yang bisa dipakai.
Rangkaian pemogokan membuat kapal-kapal kekurangan muatan. Dalam 1,5 bulan terakhir, berkali-kali kapal-kapal meninggalkan pelabuhan Yangon dalam keadaan kosong atau hanya terisi separuh. Kondisi itu memaksa perusahaan pelayaran tidak mau meneruskan layanan dari dan ke Myanmar.
STR/AFP
Seorang perempuan memegang tanda yang menyerukan agar orang-orang bergabung dengan Gerakan Pembangkangan Sipil (CDM) untuk menentang kudeta militer di Yangon, Myanmar, Senin (8/3/2021).
Sejumlah pihak khawatir dampak pemogokan itu akan membuat kelangkaan aneka kebutuhan. Myanmar, antara lain, harus mengimpor minyak. Kelangkaan minyak dikhawatirkan bisa membuat keadaan memburuk. Sebab, perekonomian bisa sama sekali tidak bergerak apabila tidak ada minyak. (AFP/REUTERS)