Dampak Ekonomi Manipulatif, Kekayaan Miliarder Setara Harta 4,6 Miliar Warga
Sekitar 2.000 miliarder dunia menguasai kekayaan 4,6 miliar penduduk Bumi, salah satu bukti ketimpangan penguasaan kekayaan. Sistem ekonomi nasional dan global yang manipulatif mendorong ketimpangan itu melebar.
Oleh
Mahdi Muhammad-Benny Dwi Koestanto
·4 menit baca
NAIROBI, SELASA — Sistem ekonomi negara dan ekonomi global yang manipulatif membuat kekayaan dan kesejahteraan hanya dirasakan atau menumpuk pada segelintir orang atau kelompok, terutama yang memiliki akses terhadap sumber modal dan pasar. Pemerintah yang mendapat mandat dari rakyat untuk meningkatkan kesejahteraan warganya tidak memiliki banyak peluang untuk memberi kesejahteraan kepada sebagian besar rakyatnya.
Hasil penelitian lembaga amal asal Inggris, Oxfam, menyebutkan bahwa kekayaan sekitar 2.000 miliarder dunia setara dengan kekayaan 4,6 miliar penduduk Bumi. Selama pandemi, ketika ratusan juta orang kehilangan pekerjaan, kekayaan para miliarder ini terus meningkat hingga beberapa ratus persen.
”Sistem ekonomi dimanipulasi, dicurangi untuk menyalurkan kekayaan pada segelintir elite kaya yang melewati masa pandemi dalam kemewahan. Sementara orang-orang yang berjibaku di garis terdepan penanganan pandemi, seperti penjaga toko, petugas kesehatan, dan para pedagang di pasar, berjuang untuk membayar tagihan,” kata Gabriela Bucher, Direktur Eksekutif Oxfam Internasional, Senin (25/1/2021).
Bucher mengatakan, pandemi Covid-19 telah menimbulkan badai, berupa resesi ekonomi dunia. Meski para miliarder merasakan resesi yang sama, masyarakat miskin, kelompok pekerja atau buruh dan perempuan adalah kelompok yang paling rentan dan paling terdampak. Memperkuat penelitian Oxfam, Bank Dunia mengingatkan bahwa lebih dari 100 juta orang terdorong ke dalam kemiskinan ekstrem akibat pandemi saat ini.
Pandemi Covid-19 menjadi penanda, titik balik, mengeskpos kesenjangan ekonomi yang semakin dalam antarkelompok. Diperlukan lebih dari satu dekade untuk mengurangi jumlah orang yang hidup dalam kemiskinan kembali ke tingkat sebelum krisis, demikian pernyataan Oxfam.
Pada bulan-bulan pertama pandemi, keruntuhan pasar saham memang membuat para miliarder mengalami penurunan kekayaan secara dramatis. Namun, penurunan kekayaan ini tak berlangsung lama. Dalam sembilan bulan berikutnya, kekayaan 1.000 miliarder teratas telah pulih kembali.
Hal itu terjadi karena guyuran dana dari pemerintah untuk memulihkan perekonomian membuat pasar saham berkembang dan mengembalikan kekayaan kelompok ini, bahkan ketika perekonoian riil menghadapi resesi paling buruk selama seabad terakhir.
Dibandingkan kondisi pada saat krisis keuangan tahun 2008, pemulihan ekonomi bagi segelintir orang ini lebih baik. Tahun 2008, butuh waktu lima tahun bagi para milarder untuk kembali ke titik tertinggi sebelum krisis.
Meningkat dramatis
Berdasarkan penelitian Oxfam, kekayaan para miliarder meningkat secara mengejutkan sebesar 3,9 triliun dollar AS antara 18 Maret dan 31 Desember 2020. Total kekayaan mereka sekarang mencapai 11,95 triliun dollar AS, nominal yang setara dengan apa yang telah dihabiskan oleh pemerintah G-20 untuk menangani pandemi.
Nominal kekayaan 10 orang terkaya di dunia, termasuk di dalamnya adalah pendiri Amazon dan pemilik koran The Washington Post, Jeff Bezos; pendiri Tesla dan sistem pembayaran PayPayl, Elon Musk; pendiri merek fashion terkemuka Louis Vuitton Moet Hennesy (LVMH), Bernard Arnault; Bill Gates dari Microsoft; dan CEO Facebook Mark Zuckerberg, meningkat 540 miliar dollar AS pada periode yang sama. Angka itu, menurut para peneliti yang menyusun laporan tersebut, cukup untuk mencegah siapa pun yang jatuh miskin dan membayar vaksin untuk semua orang di Bumi.
Saat maskapai penerbangan terpuruk karena pembatasan perjalanan, para miliarder memilih menyewa atau membeli jet pribadi untuk bisa mereka gunakan kapan saja dan pergi ke mana saja tanpa batasan apa pun. Menurut penelitian Oxfam ini, penjualan jet pribadi di seluruh dunia melonjak bersamaan dengan kolapsnya maskapai penerbangan.
Diperkirakan bahwa jumlah total orang yang hidup dalam kemiskinan dapat meningkat antara 200 juta dan 500 juta pada tahun 2020. Pandemi juga mengungkap fakta bahwa kebanyakan orang di Bumi hidup hanya dengan satu cek gaji dari kemiskinan. Mereka hidup dengan penghasilan antara 2-10 dollar AS (antara Rp 28.000-Rp 140.000) per hari.
Pendapatan yang minim membuat mereka tidak bisa tinggal di rumah layak huni. Mereka hanya bisa menyewa kamar di daerah kumuh. Yang masuk dalam kelompok ini, menurut penelitian Oxfam, adalah sopir taksi, penata rambut, pedagang pasar, penjaga keamanan, pekerja jasa pembersih kantor, buruh pabrik, petani, dan juru masak.
Ekonomi neoliberal
Dalam penelitian itu, Oxfam juga menyebutkan, ketimpangan ini merupakan buah produk sistem ekonomi yang cacat dan eksploitatif, yang berakar pada ekonomi neoliberal dan perebutan politik oleh para elite. Sistem ekonomi ini mengeksploitasi dan memperburuk sistem ketidaksetaraan dan penindasan yang mengakar, yaitu patriarki dan rasisme struktural, yang tertanam dalam supremasi kulit putih.
Sistem tersebut adalah akar penyebab ketidakadilan dan kemiskinan serta membuat keuntungan besar dari eksploitasi sumber daya alam terakumulasi di tangan elite semata. Sementara mayoritas rakyat hidup dalam kemiskinan, sedangkan kaum perempuan dan komunitas marjinal terpinggirkan serta mengalami penindasan.
Jayati Ghosh, profesor ekonomi pada Universitas Massachusetts Amherst, salah satu ahli ekonomi yang diminta pendapat profesionalnya dalam penelitian itu, menyatakan bahwa kerja sama internasional menjadi kunci untuk membuat perubahan. Dia juga berharap, Pemerintah AS yang baru di bawah Presiden Joe Biden bisa memacu kerja keras bersama dan kerja sama multilateral untuk mengatasi berbagai rintangan ini, termasuk tindakan keras di negara-negara surga pajak dan memberikannya kepada negara miskin dan berkembang.
”Ada beberapa rintangan yang sangat, sangat besar, tetapi ada banyak hal yang bisa diselesaikan dengan sangat cepat,” tambahnya. (THOMSON REUTERS FOUNDATION)