Raja Berlakukan Keadaan Darurat di Malaysia Selama 7 Bulan
Raja Malaysia Sultan Abdullah Sultan Ahmad Shah mengumumkan keadaan darurat di negaranya setelah penularan Covid-19 memasuki tahap kritis. Malaysia juga mengeluarkan larangan bepergian secara nasional dan "lockdown".
Oleh
MH SAMSUL HADI
·4 menit baca
KUALA LUMPUR, SELASA — Raja Malaysia Sultan Abdullah Sultan Ahmad Shah, Selasa (12/1/2021), memberlakukan keadaan darurat secara nasional di Malaysia dalam upaya menangani pandemi Covid-19. Keputusan itu memperkuat upaya Perdana Menteri Muhyiddin Yassin untuk semakin mencengkeram kekuasaan di ”Negeri Jiran”, sekaligus mencegah lawan-lawan politiknya untuk memaksakan pemilu yang dipercepat.
Keadaan darurat di Malaysia berlangsung hingga 1 Agustus mendatang atau bisa lebih cepat tergantung pada kemajuan dalam pengendalian pandemi Covid-19 di negara itu. Sebelum ini, terakhir kali Malaysia mengumumkan keadaan darurat tahun 1969 setelah kerusuhan rasial yang menewaskan ratusan orang. Pernyataan keadaan darurat oleh Raja tidak bisa digugat ke pengadilan.
Dalam pidato yang disiarkan melalui televisi, Muhyiddin mengatakan bahwa parlemen akan dibekukan sementara hingga waktu yang ditetapkan. Ia juga menegaskan bahwa pemilu tidak akan digelar selama masa darurat, yang bisa berlangsung hingga 1 Agustus.
”Izinkan kami memastikan pada Anda, pemerintahan sipil akan tetap menjalankan fungsinya. Keadaan darurat yang diumumkan Raja bukanlah kudeta militer, dan jam malam tidak akan diberlakukan,” kata Muhyiddin.
Langkah tersebut seharusnya mengurangi—setidaknya untuk saat ini—ketidakpastian politik yang menggelayuti Muhyiddin sejak aliansinya menguasai mayoritas tipis di parlemen, Maret lalu, menyusul bubarnya pemerintahan koalisi pimpinan politisi veteran Mahathir Mohamad. Sejumlah anggota parlemen dari koalisi penguasa menarik dukungan dari Muhyiddin dan mendesak digelar pemilu yang tercepat. Di sisi lain, pemimpin oposisi Anwar Ibrahim juga pernah mengklaim tahun lalu bahwa ia telah mengumpulkan dukungan mayoritas untuk membentuk pemerintahan baru.
Muhyiddin memastikan kepada rakyat Malaysia bahwa pemilu akan digelar setelah komite independen mengumumkan pandemi sudah berlalu dan situasinya aman untuk menggelar pemilu. Dalam status keadaan darurat, pemerintahan Muhyiddin bisa memberlakukan undang-undang tanpa persetujuan parlemen.
Penutupan wilayah
Pada Senin kemarin, Muhyiddin mengumumkan larangan bepergian secara nasional dan penutupan wilayah (lockdown) selama 14 hari di ibu kota Kuala Lumpur dan lima negara bagian. Di bawah ketentuan baru, kumpulan-kumpulan massa dan perjalanan antarnegara bagian dilarang. Mobilitas warga dibatasi hanya dalam radius 10 kilometer, sama seperti penutupan wilayah secara nasional pada Maret 2020.
Meski demikian, beberapa sektor, seperti manufaktur, konstruksi, layanan, perdagangan, distribusi, dan pertanian tetap diperbolehkan beroperasi dengan panduan protokol kesehatan yang ketat. Muhyiddin memastikan kepada para investor bahwa ”Malaysia tetap terbuka untuk bisnis”.
”Masa darurat akan memberi kami ketenangan dan stabilitas yang dibutuhkan, dan memungkinkan kami fokus pada pemulihan ekonomi dan regenerasi,” ujarnya.
Ia menyebutkan, sistem layanan kesehatan di negara berpenduduk 32 juta jiwa itu saat berada di titik kritis. Angka kasus baru harian di Malaysia mencapai rekor tertinggi pekan lalu, yakni untuk pertama kali menembus angka 3.000 kasus.
Hingga Senin kemarin, kasus Covid-19 di negara itu tercatat lebih dari 138.000 dan sebanyak 555 orang di antaranya meninggal. Indeks saham bursa Malaysia jatuh 1,6 persen setelah pengumuman keadaan darurat.
Permintaan kedua Muhyiddin
Istana Malaysia mengatakan, Muhyiddin meminta Raja Al-Sultan Abdullah untuk mengumumkan keadaan darurat guna menangani pandemi Covid-19. Keadaan darurat akan akan berlangsung hingga 1 Agustus mendatang atau bisa lebih cepat tergantung pada apakah penularan wabah sudah bisa dikendalikan atau belum.
”Sultan Abdullah juga berpandangan bahwa persebaran wabah Covid-19 di negaranya sudah berada pada tahap kritis, dan ada kebutuhan untuk menyatakan pengumuman darurat,” demikian pernyataan Istana.
Pada Oktober lalu, Raja menolak permintaan serupa dari Muhyiddin. Kala itu, para tokoh oposisi mengkritik permintaan Muhyiddin dan menyebutnya sebagai bagian dari Muhyiddin untuk memperkokoh cengkeraman kekuasaannya.
Malaysia adalah negara monarki konstitusional. Raja secara umum lebih banyak menjalani peran seremonial, melaksanakan tugas-tugasnya berdasarkan nasihat perdana menteri dan kabinet. Meski demikian, monarki juga memiliki kewenangan menyatakan darurat, sesuai ada-tidaknya ancaman bagi keamanan, ekonomi, atau tertib sosial.
Nik Ahmad Kamal Nik Mahmood, pakar hukum dari International Islamic University of Malaysia, mengatakan bahwa pemerintah akan memetik kekuasaan yang lebih luas selama keadaan darurat. ”Konstitusi kurang lebihnya dibekukan sementara, sementara bagian penting dalam konstitusi itu bisa dikesampingkan oleh Undang-Undang Darurat,” ujarnya.
Beberapa pengamat kritis khawatir, pengumuman keadaan darurat merupakan langkah awal untuk memperkokoh kekuasaan Muhyiddin yang akan mengikis kebebasan sipil. ”Pengumuman keadaan darurat kelihatannya lebih terlihat seperti upaya lain oleh Muhyiddin untuk memperkuat posisi di parlemen, menghalangi pemilu, dan membekukan parlemen dibandingkan dengan upaya untuk secara serius menangani pandemi,” cuit Josef Benedict dari Civicus, aliansi global organisasi-organisasi masyarakat sipil dan aktivis. ”Hari gelap bagi demokrasi.”
Marina Mahathir, aktivis dan putri mantan PM Mahathir, mengunggah pesan di Twitter berisi komentar bahwa pengumuman keadaan darurat adalah ”deklarasi kegagalan”. ”Gagal menangani pandemi, gagal memerintah, gagal menjaga rakyat,” cuit Marina. (AP/AFP/REUTERS)