Pandemi Covid-19 mengungkap kesenjangan yang semakin lebar antara negara kaya dan miskin. Negara miskin berhadapan dengan penyebaran infeksi Covid-19 yang semakin besar dan gagal membayar utang-utang mereka.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
RIYADH, SENIN — Meski negara-negara maju telah menjanjikan kesetaraan akses atas calon vaksin Covid-19 yang tengah dikembangkan sejumlah perusahaan farmasi, pandemi Covid-19 yang telah berlangsung hampir setahun terakhir memperlihatkan semakin dalamnya jurang ketimpangan antara negara kaya dan miskin. Negara-negara kaya dan memiliki kecukupan anggaran telah menjadwalkan program vaksinasi warganya yang akan dimulai pada Desember 2020.
Sebaliknya, negara-negara miskin masih berkutat dengan penanganan pandemi, terutama untuk mengurangi laju infeksi. Tidak hanya itu, negara-negara miskin juga semakin dipusingkan dengan kemampuan mereka untuk membayar utang di tengah keterpurukan ekonomi dunia.
Salah satu pemimpin negara ekonomi maju yang khawatir dengan ketimpangan itu adalah Kanselir Jerman Angela Merkel. Merkel, dalam Konferensi Tingkat Tinggi G-20 yang berakhir pada Minggu (22/11/2020), prihatin atas ketiadaan perjanjian vaksin yang dibuat untuk negara-negara miskin.
”Kami sekarang akan berbicara dengan Gavi (kelompok aliansi vaksin global) tentang kapan negosiasi ini akan dimulai karena saya agak khawatir belum ada yang dilakukan untuk itu,” kata Merkel di Berlin.
Komentar Merkel muncul setelah Deklarasi Riyadh bahwa negara-negara G-20 menjanjikan bantuan keuangan untuk mengatasi kebutuhan pembiayaan produksi dan distribusi merata vaksin Covid-19, perawatan, dan pengujian penyakit ini. Negara-negara G-20 dalam pernyataannya menjanjikan akan berusaha sekuat tenaga untuk memastikan akses yang terjangkau dan berkeadilan bagi semua negara.
Menteri Keuangan Arab Saudi Mohammed al-Jadaan menekankan, konsensus di antara negara-negara anggota G-20 adalah tidak meninggalkan satu negara pun dalam penanganan pandemi ini. ”Kalau kami meninggalkan setiap negara, kita akan tertinggal,” kata Jadaan.
Presiden Perancis Emmanuel Macron pun menyerukan kepada rekan-rekannya, pemimpin negara G-20, untuk melangkah lebih jauh dan cepat untuk mengatasi pandemi Covid-19 ini bersama-sama dengan cara menyumbangkan vaksin, menjalin kemitraan dengan industri, dan bahkan berbagi kekayaan intelektual.
Desakan terhadap G-20 semakin meningkat untuk menutup kekurangan pendanaan sekitar 4,5 miliar dollar AS atau sekitar Rp 64 triliun untuk membantu menutupi kekurangan pendanaan program ACT-Accelerator, mekanisme yang dipimpin oleh Organisasi Kesehatan Dunia dengan tujuan untuk memastikan akses terhadap tes, perawatan, dan vaksin untuk semua.
Risiko utang
Negara-negara maju pun tidak hanya didesak untuk menjamin kesetaraan akses terhadap vaksin, tetapi juga diminta membantu mencegah kemungkinan negara-negara berkembang dan miskin gagal membayar utang mereka. Sejumlah negara miskin, khususnya di Afrika dan Amerika Selatan, telah mengumumkan bahwa negara mereka tidak sanggup untuk membayar utang dan bunga utang yang menjadi tanggung jawabnya.
Rabu lalu, Pemerintah Zambia telah menghadapi penolakan dari pemberi pinjaman swasta setelah mereka meminta pembekuan pembayaran utang-utangnya. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Pemerintah Bolivia yang menyatakan ketidaksanggupannya membayar utang sampai kondisi ekonomi negara membaik.
Pengumuman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menyebutkan bahwa Covid-19 telah menjadi pandemi global membuat sejumlah investor panik. Pada Maret lalu, modal yang telah mereka tanamkan di negara-negara berkembang sekitar 82 miliar dollar AS.
Mengutip data laporan International Debt Service (IDS) 2021 di laman Bank Dunia, jumlah utang negara-negara yang masuk dalam daftar Debt Service Suspension Initiative (DSSI) pada tahun 2019 mengalami kenaikan hingga 9,5 persen menjadi 744 miliar dollar Amerika Serikat dibandingkan tahun sebelumnya. Angka tersebut adalah angka sebelum pandemi.
Negara-negara G-20 sendiri telah berkomitmen untuk memberikan moratorium pembayaran utang, yang disepakati pada April dan kemudian diperpanjang pada Oktober lalu. Hal itu memungkinkan negara-negara miskin untuk sementara berhenti membayar utang. Negara-negara G-20 sepakat bahwa DSSI akan diperpanjang hingga 30 Juni 2021 dan melibatkan lembaga pinjaman swasta serta China sebagai negara kreditor terbesar.
Sebanyak 46 dari 73 negara yang memenuhi syarat DSSI diberi lampu hijau untuk menangguhkan pembayaran bunga utang senilai 5,7 miliar dollar AS dari total utang mereka 71,5 miliar dollar AS pada akhir 2018.
Juru bicara Oxfam Perancis, Louis-Nicolas Jandeaux, mengatakan, angka dan jumlah keterlibatan negara yang ikut dalam program itu masih sangat kecil. Apalagi, hal itu tidak mengikat.
Kepala Dana Moneter Internasional Kristalina Georgieva mengatakan, keputusan G-20 telah membantu mencegah kebangkrutan besar-besaran dan krisis yang lebih dalam. Namun, menurut dia, masih banyak yang harus dilakukan, termasuk kebijakan yang membantu negara-negara yang berada di luar kerangka DSSI. (AFP/REUTERS)