AS Jatuhkan Sanksi pada Sumber Keuangan Ayatollah Ali Khamenei
Sanksi terhadap sumber keuangan Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, dapat menggoyahkan Republik Islam Iran.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
WASHINGTON DC, KAMIS — Kementerian Keuangan Amerika Serikat kembali menjatuhkan sanksi kepada Iran. Kali ini menyasar sumber keuangan pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei. Padahal, Iran baru saja mengumumkan siap mengurangi program nuklirnya jika AS mau mencabut sanksi.
Dalam pengumuman, Rabu (18/11/2020) siang waktu Washington atau Kamis dini hari WIB, Kemenkeu AS mengungkap sanksi kepada puluhan lembaga dan beberapa orang Iran. Sasaran utama sanksi adalah Bonyad Mostazafan dan pimpinan yayasan itu, Parviz Fattah.
Kemenkeu AS menyebut yayasan itu punya saham di sedikitnya 160 perusahaan yang bergerak di sektor keuangan, energi, konstruksi, pertambangan, hingga layanan perjalanan. Sebagian dari 160 perusahaan itu kini dalam daftar sanksi AS.
Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin menyebut, Bonyad menjadi mesin uang bagi pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei. Dana dari Bonyad terutama dipakai untuk mendanai operasi Garda Revolusi Iran (IRGC) dan memberikan imbalan kepada pihak-pihak yang membantu IRGC serta Khamenei.
”Pemimpin tertinggi Iran menggunakan Bonyad Mostazafan untuk memberikan imbalan pada sekutunya dengan kedok amal. AS akan terus menyasar pihak utama dan sumber pendapatan utama yang memungkinkan pemerintah (Iran) meneruskan represi pada warganya,” kata Mnuchin.
Selain Bonyad dan Fattah, sanksi terbaru dijatuhkan kepada kelompok usaha Sina. Kelompok ini punya beberapa perusahaan utama, yakni Sina Bank, Sina Energy Development Co, dan Sina Payat Development Co (konstruksi). Perusahaan-perusahaan itu punya berbagai anak usaha lagi.
Sebagian dari kelompok usaha Sina kini dalam daftar sanksi AS. Para pejabat utama pada perusahan-perusahaan itu juga dimaksukan dalam daftar sanki AS.
Sanksi dijatuhkan pula kepada Behran Oil, Kaveh Pars Mining Industries Development Company, Somic Engineering and Management Co, Tehran International Transport Co, dan Pishgaman Horizon Development Iranian Business Trading Company. Omran va Maskan Iran Company dan Paya Saman Pars Company juga masuk daftar sanksi.
Seluruh bangunan milik pihak dalam sanksi AS akan dikendalikan oleh Kantor Pengendali Aset Asing (OFAC) Kemenkeu AS. Siapa pun yang terkait dengan AS dilarang berhubungan dengan pihak-pihak yang masuk dalam daftar sanksi.
Bahkan, pihak di luar AS pun bisa dikenai sanksi jika tetap bertransaksi dengan pihak-pihak dalam daftar sanksi. Bentuk sanksinya, antara lain, larangan mengakses sistem keuangan AS.
Larangan itu berarti berpeluang mengucilkan pihak-pihak dalam daftar sanksi dari ekosistem bisnis internasional. Sebab, hingga 65 persen transaksi global menggunakan dollar AS dan transaksi itu diproses di lembaga kliring AS.
Tekanan Maksimum
Dalam pernyataan terpisah, Kementerian Luar Negeri AS menyebut tekanan maksimum kepada Iran akan diteruskan. Upaya itu diklaim membuat ekspor minyak Iran anjlok dari rata-rata 2,5 juta barel per hari menjadi tidak sampai 300.000 barel per hari.
Ekspor minyak merupakan sumber devisa utama Iran. Setiap tahun, menurut Kemenlu AS, Iran bisa mendapat hingga 50 miliar dollar AS jika bisa menjual minyak tanpa hambatan.
Kini, AS menyita hingga 70 miliar dollar AS dari hasil ekspor minyak Iran sejak Mei 2018. Penyitaan dilakukan sejak AS secara sepihak keluar dari Kesepakatan Nuklir Iran 2015 pada Mei 2018. Selepas keluar dari kesepakatan yang juga dikenal sebagai Joint Comprehensive Plan on Action (JCPOA) itu, Washington menerapkan serangkaian sanksi baru terhadap Teheran.
AS berkilah, hasil penjualan minyak tidak dinikmati rakyat Iran. Sebab, Teheran dituding memanfaatkan dana itu untuk pengembangan senjata dan mendukung kelompok bersenjata di sejumlah negara lain di Timur Tengah.
Sanksi terbaru Kemenkeu AS diumumkan beberapa saat setelah Menlu Iran Mohammad Javad Zarif kembali mengatakan negaranya siap kembali sepenuhnya mematuhi JCPOA. Syaratnya, AS kembali mematuhi JCPOA. Peluang itu dinilai ada seiring kemenangan Joe Biden di pemilu AS 2020.
”Kami siap membahas cara AS masuk lagi ke JCPOA. Situasi akan membaik dalam beberapa bulan ke depan. Biden bisa mencabut sanksi dengan tiga peraturan presiden,” ujarnya.
Pencabutan sanksi oleh AS dijadikan syarat oleh Teheran untuk meningkatkan lagi komitmen pada JCPOA. Sejak AS keluar secara sepihak dari kesepakatan itu, Iran juga mengurangi komitmennya pada JCPOA.
Dalam pemeriksaan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), Iran diketahui mempunyai cadangan uranium dengan jumlah dan aras pengayaan melebihi yang diizinkan dalam JCPOA.
Teheran seharusnya hanya boleh menyimpan paling banyak 202 kilogram uranium yang diperkaya pada aras tertinggi 3,6 persen.
Sementara IAEA menemukan cadangan sedikitnya 2.105 kg uranium yang telah diperkaya hingga 4,5 persen. Untuk bisa dijadikan bom, uranium harus diperkaya melebihi 90 persen. Karena itu, IAEA juga menyimpulkan Iran belum bisa membuat bom nuklir.
Di sisi lain, Khamenei pernah mengeluarkan fatwa larangan penggunaan bom nuklir dan seluruh jenis senjata pemusnah massal. Sebab, senjata-senjata itu dinilai sebagai ancaman terhadap kemanusiaan.
”Iran sendiri adalah korban senjata kimia,” ujar Khamenei merujuk pada serangan senjata kimia oleh Irak di bawah Saddam Hussein selama perang Irak-Iran 1980-2988. (AP/AFP/REUTERS)