Turki Membangun Industri Pertahanan Mandiri
Turki mengandeng berbagai negara untuk mengembangkan industri persenjataannya. Lebih dari separuh persenjataan Turki kini dibuat di dalam negeri.
Turki membangun ekosistem industri pertahanan mandiri secara serius. Walaupun masih mengalami keterbatasan, perusahaan Turki bahkan menjadi pusat pembuatan produk pertahanan Eropa dan AS.
Dalam 20 tahun ini, Turki telah memangkas pasokan asing untuk sistem persenjataannya, dari 80 persen menjadi tersisa 30 persen. Sejumlah perusahaan Turki pun masuk daftar 100 produsen produk pertahanan dunia. Sayangnya, Ankara tetap belum bisa menyelesaikan beberapa masalah mendasar untuk aneka peralatan perangnya.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan berhasrat, 100 persen persenjataan negaranya dipenuhi dari dalam negeri pada 2023 atau tepat 100 tahun Republik Turki berdiri. Industri pertahanan Turki juga ditargetkan beromzet 26,9 miliar dollar AS dalam tiga tahun ke depan, terhitung sejak 2020.
”Turki benar-benar membangun ekosistem industri. Setiap perusahaan fokus pada spesialisasi sehingga sumber daya dan penelitiannya diarahkan untuk meningkatkan keunggulan satu jenis produk,” kata Duta Besar RI untuk Turki Lalu M Iqbal.
Baca juga: Laboratorium Turki
Pernyataan Iqbal juga dikonfirmasi oleh sejumlah lembaga pemantau industri pertahanan global. Dari 62 perusahaan pada 2002, kini Turki punya 700 badan usaha yang terlibat di industri pertahanan.
Sementara di sektor penerbangan, jumlah perusahaan yang dapat menghasilkan produk untuk kebutuhan militer berkembang dari 59 menjadi 1.500 perusahaan. Pada 2020, tujuh perusahaan Turki masuk dalam daftar 100 produsen utama produk pertahanan kelas dunia.
Aselsan, yang fokus pada sistem elektronika untuk kebutuhan militer, berada di peringkat ke-48 atau tertinggi dibandingkan dengan perusahaan Turki lainnya. Ada juga perusahaan seperti Turkish Aerospace Industries (TAI), BMC, Roketsan, STM, FNSS, dan Havelsan.
Kecuali BMC—perusahaan patungan Turki-Qatar—dan FNSS, perusahaan Turki dalam 100 perusahaan pertahanan terpenting global itu berstatus badan usaha milik negara (BUMN) atau setidaknya dikendalikan lembaga negara.
Saham mayoritas di Aselsan, Roketsan (pembuat roket yang, antara lain, dipasok ke jet tempur F-35), Havelsan (pembuat pesawat nirawak), Aspilsan (produsen baterai), dan TAI dimiliki Yayasan Angkatan Bersenjata Turki (TAFF). Yayasan ini dibentuk pada 1987, setelah Turki membuat Komite Industri Pertahanan (SSB) pada 1985.
Erdogan kini menjadi Ketua Dewan Pengarah TAFF. Menantu Erdogan, Selcuk Bayraktar, mengembangkan pesawat nirawak lewat Baykar. Produk Baykar, perusahaan keluarga Bayraktar, antara lain, Bayraktar TB2 yang dipakai di Libya hingga Nagorno-Karabakh.
Dengan Indonesia
SSB dibentuk sebagai pengarah perkembangan industri pertahanan. Sementara TAFF menjadi salah satu pendana utamanya. ”SSB siap bekerja sama mengembangkan aneka produk persenjataan dengan Indonesia. Sudah ada yang dihasilkan, seperti tank Harimau yang dikembangkan Pindad dari tank Kaplan buatan FNSS,” kata Iqbal.
Kaplan alias Harimau juga diminati sejumlah negara lain. Tank menengah itu, antara lain, dilirik Filipina dan Pakistan. Ketua SSB Ismail Demir menyebutkan, kendaraan tempur darat menjadi salah satu andalan industri pertahanan Turki. Ankara punya banyak produk di segmen itu dan mayoritas komponennya dari dalam negeri. Turki juga mengembangkan tank tempur berat yang dinamai Altay.
Baca juga: Indonesia Gandeng Perancis dan Turki Kembangkan Senjata
Bagi Indonesia, Harimau mungkin takkan menjadi produk terakhir yang dikembangkan bersama Turki. Kala kembali berkunjung ke Turki pada Juli 2020, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Demir membahas kerja sama pengembangan pesawat nirawak, kendaraan tempur taktis, dan kapal perang.
Soal pesawat nirawak, produk Turki seperti Bayraktar TB2 atau TAI Anka-S mulai dilirik karena teruji di sejumlah pertempuran. Di Suriah dan Libya, TB2 bisa mengatasi sistem pertahanan udara Pantsir buatan Rusia dan pesawat nirawak buatan sejumlah negara lain.
Baca juga: Turki, Rugi dari Covid-19, Untung dari Libya
Pesawat nirawak Turki juga diuji dalam pertempuran Ukraina, Irak, dan terakhir di Nagorno-Karabakh. Indonesia juga menjajaki pembelian pesawat nirawak buatan Turki.
Padahal, sampai 2002, Turki sama sekali bukan pemain di segmen pesawat nirawak dan berusaha membeli produk itu dari AS dan Israel. Penolakan oleh Washington dan Tel Aviv membuat Ankara bertekad mengembangkan pesawat nirawak sendiri. Dalam dua tahun ke depan, Turki bakal masuk 10 besar produsen pesawat nirawak global.
Ankara bisa cepat mengembangkan dan meningkatkan produknya karena terlibat berbagai konflik di Asia dan Afrika. Dalam pengembangan persenjataan, pengujian di pertempuran adalah faktor terpenting untuk mengetahui ketangguhan dan kemangkusan produk.
Iqbal mengatakan, kerja sama Indonesia-Turki penting, antara lain, karena Turki bermitra dengan produsen utama persenjataan global. Ankara dilibatkan dalam pengembangan jet tempur F-35 karena statusnya sebagai anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Terlepas dari berbagai persoalan, F-35 digadang sebagai pesawat tercanggih saat ini.
Baca juga: AS Cari Solusi Sengketa F-35 dengan Turki
Turki juga dilibatkan dalam pengembangan dan pembuatan aneka persenjataan lain yang dipakai NATO. Di luar itu, Turki mengembangkan dan membuat produk sendiri. Turki pun mulai bekerja sama dengan Rusia untuk mengembangkan pesawat dan sistem pertahanan udara.
Sejumlah perusahaan Turki telah menjadi tempat pembuatan produk pertahanan Eropa dan AS. ”Turki belajar dari semua pihak,” kata Iqbal.
Masalah
Meski sangat berkembang, bukan berarti industri pertahanan Turki tidak punya masalah. Mayoritas produk Turki hasil pengembangan produk yang ditiru dari rancangan negara lain. Ankara masih kekurangan pengetahuan untuk mengembangkan produk sejak dari dasar.
Selain itu, Turki tidak benar-benar bebas dari pasokan luar negeri. Hal itu, antara lain, tecermin pada proyek MILGEM yang bertujuan mengembangkan korvet dan fregat.
Baca juga: Militer Turki ke Libya
Forbes melaporkan, hingga 40 persen komponen kapal-kapal itu harus diimpor. Kapal TCG Anadolu, misalnya, menggunakan rancangan yang sama persis dengan kapal perang Juan Carlos I milik Spanyol.
Ankara terutama bergantung pada asing untuk pasokan mesin. Proyek Altay tertunda gara-gara masalah ini. Turki kesulitan mendapatkan mesin Jerman yang akan dipasang di tank itu. Sebab, Jerman mengembargo Turki gara-gara serbuan-serbuan Ankara terhadap wilayah otonom Kurdi. Turki sudah mencoba mesin lain dan hasilnya Altay kurang daya.
Persoalan mesin juga dihadapi proyek-proyek pesawat. Proyek jet tempur TF-X yang diluncurkan pada 2010 itu tidak kunjung mendapatkan pemasok mesin yang memuaskan.
Seperti dilaporkan Forbes, Ankara pernah mengumumkan untuk menggandeng General Electric dan Rolls-Royce sebagai pemasok mesin jet tempur itu. GE, perusahaan AS, dan Rolls-Royce, perusahaan Inggris, sama-sama punya pengalaman panjang menghasilkan mesin-mesin untuk jet tempur dan pesawat militer.
Mesin GE-F110 dipilih sebagai solusi sementara sampai mesin yang lebih memuaskan bisa dikembangkan. Mesin GE-F110, antara lain, dipakai di F-15 dan F-16. Perusahaan Turki, Tusas Engine Industry (TEI), sudah bertahun-tahun mendapat lisensi merakit mesin itu untuk F-16.
Bersama Belanda, Belgia, dan Korea Selatan, Turki mendapat izin merakit dan memodifikasi F-16 yang dirancang perusahaan AS, General Dynamics.
Baca juga: Masa Depan Siluman Petarung
Sementara kerja sama dengan Rolls-Royce dihentikan sepihak oleh Inggris. Sebab, Rolls-Royce khawatir Ankara membagi hak kekayaan intelektual dalam proyek itu kepada pihak lain. Kini, Ankara dan Rolls-Royce sedang berusaha merundingkan ulang proyek tersebut.
Ketergantungan pada asing juga membuat Turki kesulitan menjual helikopter serbu T129. Helikopter itu dibuat berdasarkan rancangan AgustaWestland, perusahaan patungan Italia-Inggris. Helikopter itu juga mengandung beberapa komponen AS.
Washington tidak kunjung mengizinkan Ankara memakai produknya pada T129 yang akan diekspor. Masalah-masalah itu menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Turki untuk mewujudkan kemandirian industri pertahanannya.(AFP/REUTERS)