Telomer yang pendek menjadi penanda penuaan biologis pada tingkat sel.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
Orang yang lebih banyak makan makanan cepat saji atau junk food cenderung mengalami perubahan dalam kromosom yang terkait dengan penuaan.
Dengan mengonsumsi tiga porsi atau lebih ”makanan ultra-olahan” setiap hari, itu akan melipatgandakan kemungkinan untai DNA dan protein atau telomer di ujung kromosom menjadi lebih pendek jika dibandingkan dengan orang yang jarang mengonsumsi makanan cepat saji.
Hal itu terungkap dari hasil penelitian yang dipresentasikan pada Konferensi Eropa dan Internasional tentang Obesitas secara daring, Selasa (1/9/2020).
Telomer yang pendek menjadi penanda penuaan biologis pada tingkat sel. Penelitian itu menunjukkan pola makan menjadi faktor yang mendorong sel menua lebih cepat.
Meskipun korelasinya kuat, para peneliti mengingatkan hubungan kausal antara makan makanan yang diproses dan telomer yang berkurang tetap spekulatif. Setiap sel manusia terdapat 23 pasang kromosom yang berisi kode genetik manusia.
Telomer tidak membawa informasi genetik, tetapi sangat penting untuk menjaga stabilitas dan integritas kromosom dan DNA yang diandalkan oleh semua sel dalam tubuh untuk bisa berfungsi.
Seiring dengan bertambahnya usia, telomer manusia menjadi semakin pendek secara alamiah karena setiap kali sel membagi diri sebagian dari telomer akan hilang. Pengurangan itu yang selama ini dianggap sebagai penanda usia biologis.
Tim peneliti yang dipimpin Guru Besar Maria Bes-Rastrollo dan Amelia Marti, keduanya dari the University of Navarra, Spanyol, ingin mengeksplorasi dugaan hubungan antara konsumsi reguler makanan cepat saji dalam jumlah banyak dan berkurangnya telomer.
Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya menunjukkan ada kemungkinan hubungan antara minuman manis, daging olahan, dan makanan lain yang penuh dengan lemak jenuh dan gula. Namun, temuannya masih inkonklusif.
Makanan ultra-olahan adalah zat yang diproduksi secara industri yang terdiri dari beberapa campuran minyak, lemak, gula, pati, dan protein yang hanya mengandung sedikit makanan utuh atau alami.
Makanan ultra-olahan itu sering kali mengandung perasa buatan, pewarna, pengawet, dan bahan aditif lainnya yang dapat meningkatkan masa simpan dan margin keuntungan.
”Makanan seperti itu kurang gizi dibandingkan dengan makanan lain yang tidak terlalu diproses,” sebut tim peneliti.
Pada penelitian-penelitian sebelumnya juga menunjukkan adanya korelasi kuat antara makanan ultra-olahan dan hipertensi, obesitas, depresi, diabetes tipe 2, dan beberapa penyakit kanker.
Kondisi ini sering kali berkaitan dengan usia karena terkait dengan stres oksidatif dan peradangan yang memengaruhi panjang telomer.
Marti dan para peneliti dalam timnya menganalisis data kesehatan sekitar 900 orang yang berusia 55 tahun atau lebih yang pernah memberikan sampel DNA pada 2008.
Selain sampel DNA, mereka juga memberikan data rinci tentang kebiasaan makan setiap dua tahun setelahnya. Sebanyak 645 laki-laki dan 241 perempuan dibagi menjadi empat kelompok bergantung pada konsumsi makanan ultra olahan.
Mereka yang berada dalam kelompok asupan tinggi lebih cenderung memiliki riwayat keluarga penyakit kardiovaskular, diabetes, dan lemak darah abnormal. Mereka juga mengonsumsi lebih sedikit makanan yang terkait diet Mediterania yakni serat, minyak zaitun, buah-buahan, sayuran, dan kacang-kacangan.
Dibandingkan dengan kelompok yang makan makanan ultra-proses paling sedikit, tiga kelompok lainnya menunjukkan peningkatan masing-masing 29, 40, dan 82 persen memiliki telomer yang lebih pendek.
Temuan-temuan dalam penelitian ini dipublikasikan awal tahun ini dalam Jurnal Nutrisi Klinis Amerika. (AFP)