Dari Telepon Perempuan Tengah Malam hingga Pesan Medsos
Aspek kebijakan luar negeri yang paling bersentuhan dengan publik dan selalu dimintakan pertanggungjawaban adalah perlindungan WNI sebagai salah satu wajah terpenting diplomasi Indonesia.

Perlindungan warga negara Indonesia (WNI) adalah salah satu wajah terpenting diplomasi Indonesia. Pada foto dokumentasi, Sabtu (2/5/2020) malam, di Bandara Frankfurt, Jerman, ini tampak antrean 239 WNI hendak pulang ke Tanah Air. Mereka bekerja sebagai kru kapal pesiar AIDA Jerman.
Selama bertahun-tahun, Lalu Muhammad Iqbal terbiasa menerima telepon tengah malam dari perempuan-perempuan tidak dikenal. Sebagian besar meneleponnya sembari menangis. ”Awalnya istri keberatan, lama-lama mengerti,” kata Duta Besar RI untuk Turki itu.
Pengalaman itu mewarnai, antara lain, saat Iqbal menjabat Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri RI. Ia memang memberikan nomor ponsel pribadinya kepada banyak orang di sejumlah negara. Kadang, orang-orang yang menyimpan nomor telepon Iqbal lupa perbedaan zona waktu.
”Mungkin, hanya saat itulah (tengah malam) mereka ada waktu untuk menelepon. Ada yang hanya ingin bercerita. Ada juga yang perlu dibantu,” ujarnya.
Baca juga : Pandemi Jadi Batu Uji bagi Diplomasi

Lalu Muhammad Iqbal
Iqbal melakukan itu karena memahami dengan baik bahwa perlindungan warga negara Indonesia (WNI) adalah salah satu wajah terpenting diplomasi Indonesia. ”Aspek kebijakan luar negeri yang paling bersentuhan dengan publik dan selalu dimintakan pertanggungjawabannya adalah perlindungan WNI,” katanya.
Baca juga : Pakai Pesawat Carter, Ratusan WNI Kru Kapal Pesiar Jerman Tiba di Tanah Air
Salah satu yang kerap meneleponnya adalah Siti Aisyah, perempuan asal Serang, Banten, yang pernah jadi terdakwa dengan ancaman hukuman mati di Malaysia. Kasus Aisyah menarik perhatian internasional karena ia didakwa membunuh Kim Jong Nam, kakak tiri Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un.
Bersama para diplomat di KBRI Kuala Lumpur, Iqbal pernah berencana membawa Aisyah ke Thailand. Rencana itu disusun menjelang babak akhir proses persidangan. Kala itu, tim di KBRI Kuala Lumpur telah menyiapkan surat perjalanan laksana paspor (SPLP) untuk membawa Aisyah keluar dari Malaysia.
SPLP dibawa ke pengadilan sebagai antisipasi Aisyah dinyatakan bebas dan tidak perlu ditahan lagi. Mobil resmi kedutaan disiapkan untuk membawa Aisyah dari Kuala Lumpur menuju perbatasan Malaysia-Thailand. Secara hukum, kepolisian suatu negara tidak berwenang pada kendaraan korps diplomatik negara lain.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F03%2F20190311_SITI-AISYAH_D_web_1552316065.jpg)
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi memberikan keterangan setelah penyerahan Siti Aisyah dari Pemerintah Indonesia kepada keluarga di Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Senin (11/3/2019). Siti Aisyah dibebaskan dari tuntutan setelah jaksa Malaysia membatalkan tuntutan pembunuhan.
Rencana itu tidak bisa dituntaskan karena kala itu hakim memutuskan kasus Aisyah harus berlanjut. Belakangan, kasus itu berakhir karena jaksa menarik tuntutan dan Aisyah bebas, lalu pulang tanpa harus kucing-kucingan dengan aparat Malaysia.
Baca juga : Pembebasan Siti Aisyah Disambut Gembira di Tanah Air
Iqbal dan timnya juga bolak-balik harus menembus medan perang di sejumlah negara untuk memulangkan WNI. Salah satu proses pemulangan itu terjadi pada Maret 2018. Kala itu, enam WNI ditawan milisi Libya sejak September 2017. ”Milisi yang menawan berbeda-beda, mereka (para korban) dipindah dari satu kelompok ke kelompok lain,” ujarnya.
Perpindahan lokasi dan kelompok penawan menjadi salah satu tantangan dalam proses pembebasan sandera. Tantangan lain tentu saja karena Libya sudah bertahun-tahun kacau balau dilanda perang. Para WNI ditawan di Benghazi yang terpisah lebih dari 1.000 kilometer dari Tripoli, ibu kota Libya. Benghazi dan Libya pun dikontrol kelompok bersenjata berbeda.
Setelah berbulan-bulan berunding, penyandera akhirnya setuju membebaskan enam WNI yang ditahan di Benghazi itu. Tanggal dan lokasi penyerahan disepakati, lalu tim Kemenlu terbang ke Tunisia, negara di barat Libya. Harus ke negara di barat Libya itu karena penerbangan reguler ke Libya sudah sulit didapat. Dari Tunisia, tim bergerak ke Tripoli, lalu menuju Benghazi.
Baca juga : Libya Semakin Compang-camping
Di negara yang sedang dilanda perang itu, tim Kemenlu RI harus mencari mobil sewaan. Setelah mendapat mobil sewaan, mereka harus mencari cara melewati jalan dengan banyak pos pemeriksaan oleh sejumlah kelompok bersenjata. Semua bisa dilalui dan enam WNI bisa dipulangkan dan tiba di Tanah Air pada April 2018.
Salah satu Nawacita
Sujatmiko, Dubes RI untuk Brunei Darussalam, pun punya kisah. Berpuluh tahun sebagai diplomat, ia sudah terbiasa menangani berbagai kasus WNI di luar negeri. Mulai dari aduan pekerja terkait gaji yang tidak sesuai, penahanan WNI karena kasus kriminal, hingga pemulangan WNI yang sakit parah atau meninggal ke Tanah Air.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F07%2Fcoy.jpg)
Dubes RI untuk Brunei Darussalam Sujatmiko
Pada waktu pagi, 6 Januari 2019, Sujatmiko menahan amarah mendengar laporan resepsionis KBRI Bandar Seri Begawan bahwa seorang pekerja migran ditempeleng majikannya di lobi KBRI.
Diplomat senior yang sebelumnya pernah menjadi Dubes RI di Khartoum, Sudan, ini paham bahwa perlindungan WNI di luar negeri adalah salah satu Nawacita Pemerintah Indonesia yang diamanahkan kepada para perwakilan Indonesia di luar negeri. Terlebih, kasus kekerasan di kompleks KBRI Bandar Seri Begawan dapat mencoreng marwah KBRI sebagai tempat yang aman bagi para WNI yang mencari perlindungan.
Nasta Marlina, perempuan pekerja migran Indonesia (PMI) yang memohon perlindungan ke KBRI tersebut, sementara ditampung di shelter KBRI bersama para PMI yang bermasalah lainnya. Nasta melarikan diri lantaran gaji yang diterima tidak sesuai dengan kesepakatan dan kondisi suami sedang sakit di Indonesia.
Tidak tinggal diam menunggu investigasi polisi Brunei, Sujatmiko mendekati Kementerian Pertahanan dan Angkatan Diraja Brunei Darussalam setelah mendengar majikannya bekerja sebagai perwira di angkatan bersenjata negara kesultanan tersebut. Perlahan, Sujatmiko mendorong kedua institusi tersebut untuk turut mengusut tindakan majikan sebagai kesalahan indisipliner yang mencoreng nama baik institusi.
Baca juga : Sekitar Rp 3 Miliar Hak TKI di Brunei Dikembalikan
Mendapat tekanan dari institusi tempat bekerja dan kepolisian, majikan melalui ayahnya yang menjadi anggota Majlis Mesyuarat Negara (setara DPR) memohon agar kasus tidak dipanjangkan. Hal ini tidak digubris oleh Sujatmiko. ”Demi marwah KBRI dan hak WNI, kita akan terus kejar sampai selesai,” ucapnya.
Hampir 10 bulan tertahan di Brunei, Nasta akhirnya dapat pulang dengan tersenyum ke Indonesia pada 3 Oktober 2019. Sesuai hasil perundingan antara KBRI, Nasta, dan pihak majikan, tuntutan akhirnya ditarik dari pengadilan dengan kompensasi finansial sebesar 6.000 BND atau sekitar Rp 65,2 juta dan permohonan maaf majikan kepada KBRI di koran ternama Brunei.
Belakangan, majikan juga mendapat sanksi administrasi berupa hukuman penundaan naik pangkat.
”Saya ingin hak keadilan Nasta tetap terpenuhi dengan juga mempertimbangkan perasaan dan keadaan Nasta yang telah lama tertahan di Brunei karena kasus ini,” ujar Sujatmiko. Proses pengadilan antara pekerja dan majikan di Brunei dapat memakan waktu bertahun-tahun lamanya.

Suasana sosialisasi BPJS Ketenagakerjaan dan sosialisasi tahapan Pemilu 2019 di Brunei Darussalam, Sabtu (3/11/2018).
Selain menangani laporan masyarakat, Sujatmiko beserta anggota staf Protokol, Konsuler, dan Ketenagakerjaan KBRI juga rutin mengunjungi tempat-tempat kerja para PMI di ladang dan pabrik yang terletak di pelosok Brunei guna mengecek kondisi dan mendengar keluhan para pekerja.
”Sepuluh tahun kami bekerja di Brunei, baru kali ini kami didatangi KBRI,” ujar salah satu pekerja yang bekerja di tempat penetasan ayam di Tutong, Brunei Darussalam.
Jerih payah Sujatmiko bertahun-tahun melindungi para WNI di luar negeri, khususnya saat menjabat sebagai Dubes RI di Khartoum dan Bandar Seri Begawan, diakui melalui penghargaan Hassan Wirajuda Award yang diserahkan langsung oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada 11 September 2019.
Beragam trik
Kisah-kisah heroik di tengah tantangan tugas juga dialami semua diplomat, termasuk Duta Besar RI untuk Arab Saudi Agus Maftuh Abegebriel; Perwakilan Tetap RI di Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York dan Wakil Tetap RI di PBB New York Dian Triansyah Djani; serta Duta Besar RI untuk Selandia Baru, Samoa, dan Tonga Tantowi Yahya.
Setiap diplomat memiliki gaya diplomasi yang khas dan kuat menghidupkan mesin diplomasi RI yang tidak memihak. Agus punya trik beragam untuk membebaskan WNI dari hukuman mati. Ia mahir dan paham kebudayaan Arab Saudi.

Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi Agus Maftuh Abegebriel (kanan) memeluk Tohirin bin Mustopah Kudus setelah memperoleh izin keluar dari Arab Saudi. Tohirin bersama istrinya, Nurnengsih binti Karsidi Tasdik (kiri), pernah diancam hukuman mati, tetapi bebas pada tahun 2016. Foto ini diambil pada 29 Juli 2018.
Selain berusaha mencari celah hukum, kadang Agus memanfaatkan kemahiran bersyair untuk membebaskan WNI dari hukuman mati. Dalam hukum Arab Saudi, dakwaan bisa dicabut jika keluarga korban memaafkan terdakwa.
Untuk mencari pemaafan, Agus kadang harus mendekati pimpinan keluarga besar korban dan proses pendekatan antara lain lewat bertukar syair. Proses itu membuat Agus bersyukur pernah belajar di pondok pesantren. Sebab, salah satu cara mempelajari bahasa Arab selama di pesantren adalah lewat syair-syair.
Dari bertukar syair, pembicaraan bisa dibuka ke arah pemaafan. Memang, tidak semua keluarga korban memberi maaf tanpa syarat. Ada yang meminta ganti rugi dan nilainya bisa miliaran rupiah. Walakin, paling tidak WNI dibebaskan dari hukuman mati.
Baca juga : Warga Indonesia Kembali Lolos dari Hukuman Mati
Bagi Agus, proses pembebasan itu salah satu dinamika perlindungan WNI di Arab Saudi. Tantangan lain adalah ketidakpastian jumlah WNI di negara itu. Sebab, mayoritas tidak pernah mau melapor ke KBRI Riyadh atau KJRI di Arab Saudi.
”Hanya Tuhan yang tahu berapa jumlah pasti WNI di Arab Saudi. Bolak-balik didata, berubah terus. Repotnya, ada yang merasa tidak masalah kalau tidak pernah lapor dan jadi pendatang ilegal. Padahal, kalau tertangkap, hukumannya berat,” ujarnya.
Kemenlu RI juga telah menyediakan berbagai sarana kepada WNI di luar negeri untuk melapor ke KBRI dan KJRI. Laporan itu antara lain untuk memudahkan proses evakuasi, seperti harus dilakukan dari Wuhan, China, beberapa bulan lalu.
Tentu, tidak semua perwakilan diplomatik RI harus mengurus pelaporan WNI. Kekhususan itu hanya untuk Perwakilan Tetap RI di Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York.

Wakil Tetap RI untuk PBB di New York Dian Triansyah Djani. Foto diambil pada Selasa (22/1/2020) di New York, AS.
Wakil Tetap RI di Sekretariat Jenderal PBB New York Dian Triansyah Djani menghabiskan seluruh tugas diplomatiknya untuk melobi diplomat-diplomat dari negara lain soal berbagai isu global.
Hasil kerja Djani antara lain kesediaan Amerika Serikat dan China menyetujui resolusi Dewan Keamanan PBB soal Covid-19. Selama berbulan-bulan, Beijing dan AS menolak menyepakati rancangan resolusi yang bolak-balik diajukan sejumlah negara. ”Indonesia dipertimbangkan sebagai honest broker,” kata Djani.
Ia memakai istilah itu untuk menggambarkan posisi Indonesia yang konsisten tidak memihak salah satu blok dalam komunitas internasional. Selama puluhan tahun, Indonesia benar-benar menjalankan anjuran M Hatta soal diplomasi, ”mendayung di antara dua karang”.
Baca juga : Indonesia Berkontribusi Aktif Wujudkan Resolusi PBB
Sebagai perantara yang jujur dan tidak memihak, Djani dipercaya wakil tetap negara lain untuk menyampaikan aspirasi masing-masing kepada pihak yang berseberangan. Djani dan timnya di PTRI New York juga bisa menawarkan jalan tengah kepada perwakilan negara lain yang jadi anggota DK PBB. Hasilnya, DK PBB menyepakati resolusi terkait pandemi pada 1 Juli 2020.
Tantowi menyebutkan, penyelenggaraan Pacific Exposition 2019 di Selandia Baru menjadi kegiatan terbesar yang pernah diadakan di Pasifik. ”Meskipun saya punya pengalaman menyelenggarakan event, mengadakan ekspo dengan nama Pasifik menjadi tidak sederhana karena Indonesia sebelumnya tidak pernah dianggap sebagai bagian Pasifik,” kata Tantowi.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F05%2FTantowi2_1557191569.jpg)
Dubes RI untuk Selandia Baru, Samoa, dan Tonga Tantowi Yahya dalam kunjungan ke Redaksi Harian Kompas, Senin (6/5/2019), menjelaskan, melihat fakta sosial budaya dan geografis, Indonesia adalah bagian dari Pasifik dengan etnis Melanesia dan Polinesia terbesar di dunia.
Ada kecurigaan dari banyak negara di Pasifik atas inisiatif Indonesia itu. Berkat lobi intensif dan dukungan semua perwakilan di kawasan, pameran berlangsung sukses. Pameran tiga hari ini dihadiri oleh tiga kepala pemerintahan, delapan menteri, dan 5.000 pengunjung serta menghasilkan transaksi sebesar 100 juta dollar Selandia Baru. ”Ini menjadi legasi Indonesia,” kata Tantowi.
Baca juga : Inisiatif Indonesia Disambut Positif Negara-negara Pasifik
Sementara Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi serta Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional (HPI) Kementerian Luar Negeri RI Damos Agusman menjalankan peran masing-masing menjaga kedaulatan RI lewat rangkaian perundingan internasional. Keduanya pun aktif menyampaikan pesan di Twitter.
Lewat media sosial, Retno mengumumkan aneka aktivitasnya sebagai Menlu RI. Pandangan dan kebijakan luar negeri juga bisa dilihat dari unggahan di akun Twitter-nya. Damos juga kerap menjelaskan beragam hal teknis penerapan hukum internasional via Twitter.
-----------
Baca Juga Liputan Khusus 75 Tahun Kementerian Luar Negeri RI: