Pengungsi Asing dan Pencari Suaka Alami Banyak Masalah
Komunitas pengungsi di Indonesia membutuhkan banyak bantuan dan dukungan tidak hanya dari pemerintah tetapi juga masyarakat setempat. Namun, bantuan dan dukungan harus sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan mereka.
JAKARTA, KOMPAS -- Pembatasan sosial berskala besar untuk mencegah penularan penyakit Covid-19 di Jakarta memaksa semua pengungsi tinggal di rumah atau tenda pengungsian. Kondisi ini lebih berat bagi pengungsi asing dan pencari suaka.
Mereka tidak mendapatkan bantuan makanan dan alat pelindungan diri karena mereka tidak memiliki kartu tanda penduduk. Mereka hanya memegang kartu tanda pengungsi.
”Saya berbicara kepada RT/RW untuk meyakinkan bahwa kami semua pengungsi. Saya menunjukkan kartu pengungsi. Selama ini kami dikira orang asing biasa. Setelah tahu, setiap kali bantuan makanan datang, mereka yang kirim kepada kami. Baik sekali mereka,” kata Nimo, Manager Desain Aktivitas dan Evaluasi Sisterhood, Jumat (19/6/2020).
Nimo menceritakan itu dalam diskusi publik virtual Webinar ”Learning from Refugees in Responding Covid-19”, kemarin dalam rangka Refugee Week 2020 untuk memperingati Hari Pengungsi Sedunia, 20 Juni 2020. Diskusi diadakan JRS, Suaka, LBH Jakarta, HWWG, dan Sisterhood.
Baca juga: Para Pencari Suaka Dipindahkan dari Trotoar Jakarta
Namun, lanjut Nimo, jumlah bantuan makanan berupa paket sembako dari sumbangan masyarakat tak cukup untuk semua pengungsi. Akhirnya, setiap satu paket sembako dibagi-bagi ke 10 orang. Siapa saja boleh mengambil 1 item yang dibutuhkan seperti minyak goreng atau mi instan.
Untuk bisa bertahan hidup di tengah karantina akibat wabah korona, semua orang harus berbagi apa saja. “Semua harus berbagi karena dalam kondisi ini semua kekurangan makanan, fasilitas kesehatan dan kebersihan diri, uang, dan internet,” ujarnya.
Ikut berkontribusi
Dari situasi beberapa bulan terakhir ini, Nimo menyadari betapa pentingnya pengungsi keluar bersosialisasi dan berinteraksi dengan warga masyarakat sekitar tempat mereka tinggal. Ini semata-mata agar warga mengenali para pengungsi yang selama ini dikira tidak melakukan apa-apa dalam hidup.
Bagi pengungsi pun akan lebih baik jika mereka bisa ikut berperan dalam masyarakat dengan potensi kemampuan dan keahlian yang dimiliki.
Baca juga: Pengungsi Tanggung Jawab Bersama
Ketika menceritakan pengalamannya itu, Nimo mengakui sebenarnya pengungsi tidak kesusahan dalam kondisi karantina karena selama ini telah terbiasa hidup dalam karantina dan isolasi yang serba terbatas.
Karena itu, satu sama lain harus saling membantu. Bukan hanya antar sesama pengungsi tetapi juga antara pengungsi dan warga setempat.
“Dulu waktu belum kenal, saya dipanggil ‘orang hitam’. Tetapi karena sekarang sudah kenal, mereka panggil saya ‘hitam manis’,” kata Nimo sambil tertawa.
Tak kenal maka tak sayang. Begitu keyakinan Nimo. Ia berharap satu sama lain bisa saling belajar, saling memahami, dan saling menerima. Jika ini bisa terwujud, pengungsi akan bisa ikut berkontribusi ke masyarakat karena banyak potensi dan keahlian yang dimiliki pengungsi. Ada yang berprofesi sebagai dokter, insinyur, bahkan atlet.
“Jangan menjadi orang luar. Kalau kita berlaku baik, warga setempat pun akan berlaku baik juga,” begitu pesan Nimo kepada pengungsi yang berada di Indonesia.
Baca juga: Lagi, Pencari Suaka Timbulkan Dilema
Meski situasi pandemi ini membuat pengungsi semakin menderita, Hakmat Ziraki, salah satu pendiri Skilled Migrant and Refugee Technician (SMART), mengatakan pengungsi tetap produktif berkarya dan mengembangkan potensi diri.
Hampir semua pengungsi memiliki ketrampilan dan keahlian tetapi tidak bisa dikembangkan karena segala macam keterbatasan. Menjaga kesehatan diri saja sulit karena dengan kamp atau rumah yang padat penghuni, mustahil menjaga jarak fisik satu sama lain.
Salah satu bentuk kontribusi pengungsi untuk melawan Covid-19 ini adalah dengan mengedukasi pengungsi tentang Covid-19 melalui video berdurasi 2 menit yang kemudian dibagi melalui media sosial. Hakmat mengatakan SMART telah membantu pemerintah kota Bogor membuat panduan Covid-19, poster, dan infografik.
Pengembangan diri
Untuk meningkatkan kapasitas para pengungsi, terutama di masa karantina pandemi, Hakmat menyediakan kelas-kelas daring terkait teknologi informasi. Ia berharap dengan kemampuan yang meningkat, para pengungsi akan bisa mendapatkan kemandirian finansial sehingga tak perlu lagi bergantung pada orang lain seperti donor atau masyarakat setempat.
Lihat juga foto-foto: Pengungsi dan Pencari Suaka Dipindahkan dari Kebon Sirih
Kegiatan pengembangan diri selama masa pandemi seperti itu juga dilakukan Sisterhood dengan membuka kelas-kelas daring khusus bagi perempuan. Mereka membuka kelas daring bahasa Inggris, senam aerobik, merajut, merangkai perhiasan, dan klub buku.
“Semua kegiatan ini dilakukan karena banyak pengungsi yang stres, depresi, dan masalah kesehatan jiwa lainnya,” kata Nimo.
Kelas daring juga terpaksa dilakukan Manager dan Kepala Sekolah Pusat Pembelajaran Pengungsi, Sikandar Ali, di masa pandemi seperti sekarang. Sebelum pembelajaran daring dilakukan, semua guru yang merupakan relawan dari pengungsi juga diberikan pelatihan.
Tidak ada guru yang paham pembelajaran jarak jauh karena tidak ada guru profesional yang mengajar. Relawan mengabdikan 18-20 jam waktunya setiap minggu untuk mengajar. Mereka tidak mendapatkan bayaran apapun. Ini semua demi memberikan anak-anak pengungsi pendidikan dasar yang menjadi hak mereka.
”Kendalanya, tidak ada peralatan memadai untuk belajar online (daring). Kualitas internet juga kurang bagus. Guru-guru memakai uang mereka sendiri untuk membeli paket internet supaya bisa kelas online,” kata Sikandar.
Baca juga: Pengungsi Perlu Pekerjaan dan Akses Pendidikan
Komunitas pengungsi membutuhkan banyak bantuan dan dukungan tidak hanya dari pemerintah tetapi juga masyarakat setempat. Namun, Realisa Masardi, advokat pengungsi dan relawan untuk komunitas pengungsi di Cisarua, Bogor, dan Jakarta, mengingatkan bentuk bantuan dan dukungan itu harus sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan para pengungsi.
“Sebelum membantu, bicarakan dulu dengan pengungsi karena mereka yang tahu apa yang dibutuhkan. Kita tidak bisa memaksakan ide dan pikiran kita. Lalu kolaborasi penting untuk membantu mereka,” ujarnya.