Saat Dunia Perangi Covid-19, China Bentuk Dua Distrik di Laut China Selatan
Beijing telah berhasil melipatgandakan klaim ekspansifnya di Laut China Selatan yang diperebutkan beberapa negara tetangga. Aksinya dilakukan saat banyak negara sibuk berperang melawan pandemi Covid-19.
Pada saat dunia berjibaku memerangi pandemi penyakit Covid-19, China yang menjadi negara awal penularan penyakit mematikan itu juga bergerilya memanfaatkan ”kekosongan perhatian dunia” di Laut China Selatan. Alhasil, China dilaporkan sukses membangun dua distrik administrasi baru di sana.
Media pun nyaris luput terhadap isu sensitif Laut China Selatan karena terfokus pada perang melawan pandemi global Covid-19, kecuali media pemerintah China, yakni Global Times dan China Global Television Network atau CGTN, serta media independen yang berbasis di Hong Kong, Asia Times.
Media asing baru menyadari adanya pembentukan dua distrik di Laut China Selatan setelah muncul protes di Filipina, pekan lalu, seperti diwartakan Straits Times, Bloomberg, Business Insider, dan CNN Philippines. Dua distrik itu berada di bawah yurisdiksi kota Sansha di provinsi pulau Hainan, China selatan.
Beijing telah berhasil melipatgandakan klaim ekspansifnya di Laut China Selatan yang diperebutkan beberapa negara tetangga. Asia Times menyebut hal itu sebagai wujud proyeksi kekuatan di dalam negeri China, yang dilakukan dengan mengeksploitasi kekosongan keamanan karena negara-negara terkait sedang berperang melawan pandemi Covid-19.
Pembentukan dua distrik administratif baru di Laut China Selatan diumumkan Dewan Negara China, badan administrasi negara yang dipimpin perdana menteri. Menurut kanal berita CGTN, dua distrik baru itu adalah Xisha dan Nansha yang disebut sebagai dua distrik pertama dalam sejarah kota Sansha, yang sebelumnya terdiri atas 10 komunitas lokal.
Media resmi Pemerintah China itu memuji perkembangan yang tidak banyak disoroti dunia luar tersebut sebagai ”langkah administrasi besar” dari China, seperti tertulis pada judul beritanya. Distrik Xisha membawahkan Kepulauan Xisha atau Paracel dan Zhongsha atau Macclesfield Bank.
Publik internasional yang mengikuti perkembangan di Laut China Selatan pasti mengetahui bahwa China bersengketa dengan Vietnam di Kepulauan Paracel. Sementara Zhongsha diklaim seluruhnya oleh China dan Taiwan serta diklaim sebagiannya di bagian timur oleh Filipina.
Distrik Nansha berada di pulau Yongshu Jiao atau Fiery Cross Reef (Northwest Investigator Reef), fitur yang telah dimiliterisasi China dengan situs radar peringatan dini, menjadi pusat komando dan pengendalian China di kawasan. Di sana China bersengketa dengan Vietnam dan Filipina. Distrik ini memiliki yurisdiksi atas Kepulauan Nansha atau Spratly dan perairan sekitarnya, di mana China bersengketa dengan Vietnam, Taiwan, Filipina, Malaysia, dan Brunei.
Dua distrik baru di Laut China Selatan tersebut berada di bawah prefektur yang berpusat di Pulau Yongxing atau Woody Islands. Di wilayah ini China memiliki tumpang tindih klaim dengan Vietnam yang menamai pulau itu sebagai Phu Nam. Di masa lalu, Vietnam pernah terlibat kontak fisik dengan China di sana,
”Delapan tahun setelah China menetapkan Sansha sebagai unit administrasi tingkat kota, sekarang waktunya untuk membaginya menjadi distrik-distrik demi lebih memenuhi tanggung jawab menjaga kedaulatan nasional kita,” kata Zhang Junshe, peneliti Naval Military Studies Research Institute di Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA), kepada Global Times yang berafiliasi dengan Beijing.
China tepatnya mengumumkan terbentuknya Distrik Xisha dan Nansha pada 18 April 2020.
Song Zhongping, pakar militer China lainnya, mengatakan kepada media yang sama, ”Sebagai kota yang mengelola wilayah terbesar di antara kota-kota China, ia (kota Sansha) juga bertanggung jawab atas kepulauan, pulau, dan perairan—pekerjaan rumit dan sensitif. Distrik baru akan membantu merinci pekerjaan administrasi di wilayah itu dan membangun Sansha menjadi kota yang lebih baik.”
Perdalam konflik
Langkah China tersebut tentu saja akan memperdalam konflik lama dengan negara-negara bersengketa di sekitarnya. Diperkirakan, itu sebabnya kapal fregat Australia, HMAS Parramatta, bertolak ke Laut China Selatan untuk bersama Amerika Serikat menegakkan kebebasan navigasi, serta melintasnya kapal perang AS di Selat Taiwan. AS dan Australia pun akhirnya terlambat tiba.
Kemajuan tersebut dibuat China ketika AS, kekuatan penyeimbang di kawasan itu, menangguhkan pengerahan militernya di luar negeri, termasuk angkatan lautnya ke Laut China Selatan, akibat pandemi Covid-19. Sementara kapal induk USS Theodore Roosevelt sedang berlabuh di Pelabuhan Guam, Hawaii, yang juga terdampak pandemi Covid-19.
Menurut Asia Times, pandemi mungkin juga telah menyebabkan Angkatan Udara AS tiba-tiba mengakhiri ”Misi Keberadaan Pengebom Berkelanjutan” yang telah berlangsung selama 15 tahun di Guam. Langkah itu bersifat dramatis dan tak terduga, yang menurut para analis strategis dapat membuka jalan bagi China untuk lebih tegas di perairan di dekatnya.
Penarikan itu terjadi hanya beberapa hari setelah pengebom AS ikut dalam latihan kesiapan ”iringan gajah” (elephant walk) —istilah yang dipopulerkan Angkatan Udara AS—sebagai unjuk kekuatan yang melibatkan sejumlah pesawat pengebom, pengisi bahan bakar tanker, helikopter, dan pesawat nirawak, yang tampaknya ditujukan sebagai pernyataan tekad AS kepada China.
Pentagon semula mengumumkan untuk mengirim kembali kapal induk USS Harry Truman dari Timur Tengah ke Indo-Pasifik untuk memperkuat armada Pasifik AS supaya mengimbangi pengaruh China di kawasan. Namun, posisi strategis AS yang tidak pasti di tengah pandemi Covid-19 memberikan peluang unik bagi ekspansi maritim China, sebagaimana dilaporkan Foreign Policy.
Berpopulasi 1.800 penduduk, luas area Sansha mencapai sekitar dua juta kilometer persegi perairan. Perairan itu, yang diperebutkan karena kaya sumber daya laut, juga meliputi sejumlah atol, pulau kecil, dan pulau buatan China.
Kanal CGTN, media yang dikelola Pemerintah China, menyebutkan, kota Sansha mencakup ”hanya sekitar 20 kilometer persegi luas tanah sekarang”. Hal itu menjadi indikator bagi para analis untuk berkomentar bahwa China mungkin memiliki rancangan untuk memperluas dan menciptakan pulau-pulau buatan baru di wilayah itu, seperti yang telah dilakukan di sejumlah tempat lain di Laut China Selatan.
Perkembangan logis
Sebagian besar media dan para pakar China menyebut pengumuman terbaru soal terbentuknya dua distrik baru di Laut China Selatan sebagai perkembangan logis dari meluasnya fasilitas sipil dan militer di wilayah itu.
Sebab, selain banyaknya penduduk permanen, di sana juga banyak personel keamanan China semakin terkonsolidasi secara luas yang memperkuat kehadiran mereka di kawasan itu.
Pada awal April 2020, Beijing telah mengumumkan bahwa China juga membangun fasilitas kesehatan mental untuk pasukan dan personelnya di Kepulauan Spratly. Selain itu, telah dibangun pula landasan pacu pesawat sepanjang 3 kilometer dan kompleks militer-sipil yang besar di pulau-pulau hasil reklamasi buatan, wilayah yang juga diklaim beberapa negara tetangga.
Jiang Chunlei, ahli psikologi di Naval Medical University milik Tentara Pembebasan Rakyat, juga pernah ke Fiery Cross, awal April. Seusai kunjungannya pada 7 April, Beijing menegaskan bahwa China sedang mempertimbangkan rencana membangun fasilitas perawatan kesehatan mental tingkat lanjut.
Menurut Asia Times, pembangunan fasilitas tersebut diperkirakan sebagai sinyal kelemahan strategis China. Negara itu diyakini sedang bergulat dengan logistik untuk memperluas jangkauan maritimnya yang semakin jauh dari pesisir China daratan.
”Terlepas dari kondisi kehidupan yang membaik dalam beberapa tahun ini, garnisun selalu menghadapi tantangan dan cobaan secara fisik maupun mental karena tugas yang sulit dan kesiapan tempur jangka panjang,” kata laporan situs berita PLA China, 17 April, sebagaimana dilaporkan harian Inquirer, Filipina.
Laporan itu menggarisbawahi ketegangan fisik dan mental pada pasukan yang beroperasi hingga sejauh 1.200 kilometer dari bibir pantai paling selatan China.
”Pos-pos pelayanan mental semacam itu dibentuk untuk membantu para perwira dan tentara menangani perasaan kesepian dan meningkatkan moral mereka,” kata laporan yang sama, seperti dikutip Asia Times.
”Ditempatkan di pulau buatan itu seperti dipenjara. Sangkar yang berhias indah masihlah sangkar,” tegas pakar kelautan Filipina, Jay Batongbacal, kepada harian Inquirer. Dia menggarisbawahi kesulitan yang mungkin dialami China dalam mempertahankan kehadiran personel mereka dalam skala besar di pulau-pulau buatan yang terpencil itu.
”Saya pikir ini menunjukkan betapa sulit dan mahalnya bagi China untuk memelihara pulau-pulau buatan tersebut,” tambah Batongbacal.
Pada waktu yang sama, China terlihat seperti menantang negara-negara penuntut klaim, termasuk klaim atas sumber daya energi yang disengketakan.
Pada Kamis lalu, sesuai laman pelacak data pelayaran Marine Traffic, Haiyang Dizhi 8 berada di dalam wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Malaysia, sekitar 337 kilometer dari daratan negara itu.
Menurut laporan Kompas, tiga kapal perang AS dan kapal fregat Australia menggelar latihan bersama di dekat operasi West Capella atau di dekat perairan yang diklaim Vietnam, Malaysia, dan China.
Menurut situs berita The Star, Malaysia, seorang pakar keamanan lokal yang mengetahui situasi tersebut mengklaim, ”Haiyang Dizhi 8 China dikawal di satu titik pada 17 April oleh lebih dari sepuluh kapal China, termasuk kapal milisi laut dan penjaga pantai.”
Pasukan milisi Vietnam juga dilaporkan telah beroperasi di area itu karena landas kontinen Malaysia yang tumpang tindih dengan Vietnam.
Sejak Desember 2019, tiga negara penuntut klaim telah berkutat di kawasan itu. Namun, pandemi Covid-19 telah sangat menghantam negara-negara regional yang lebih kecil yang bergulat dengan penguncian skala besar untuk membendung situasi wabah di wilayah mereka.
Terkait dengan kehadiran kapal survei China, Haiyang Dizhi 8, Kompas melaporkan, Malaysia keberatan atas kehadiran kapal perang negara lain di Laut China Selatan. Kuala Lumpur juga menegaskan siap mempertahankan kepentingannya di perairan sengketa tersebut.
Semua aktivitas dan sengketa di perairan tersebut harus didasarkan pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut atau UNCLOS 1982. Walau demikian, Malaysia tetap berhati-hati untuk menyelesaikan semua sengketa di Laut China Selatan lewat jalur damai, diplomasi, dan saling percaya. Bukan dengan konfrontasi dan pengerahan kekuatan.
”Meski hukum internasional menjamin kebebasan berlayar, kehadiran kapal perang di Laut China Selatan berpotensi menaikkan ketegangan yang berujung pada salah perhitungan serta memengaruhi perdamaian, keamanan, dan stabilitas kawasan,” kata Hishammuddin Hussein, Menteri Luar Negeri Malaysia.
Menurut Asia Times, pihak berwenang Malaysia telah berusaha untuk mengecilkan situasi tersebut, kemungkinan untuk mencegah eskalasi ketegangan lebih lanjut selama periode ketidakpastian strategis yang intensif.
Malaysia tampak khawatir China dapat memanfaatkan krisis kesehatan akibat pandemi Covid-19 untuk memperkuat cengkeramannya Laut China Selatan.
”Kami tidak tahu tujuannya, tetapi mereka tidak melakukan kegiatan yang melanggar hukum,” tegas Zubil Mat Som, Kepala Badan Penegakan Maritim Malaysia, mengacu pada kapal survei China yang telah beroperasi dalam 200 mil laut zona ekonomi eksklusif Malaysia, kepada media lokal The Star.
Terkait perkembangan terbaru di Laut China Selatan, sudah sangat kasatmata bahwa perluasan wilayah oleh China di perairan tersebut semakin agresif untuk memperkuat cengkeramannya. China tidak peduli komplain dari banyak negara, terutama negara-negara yang bersengketa. Anjing melolong, kafilah pun berlalu.