Pakistan
Bangsa-bangsa lahir di hati penyair; mereka tumbuh dan mati di tangan politikus.
(Muhammad Iqbal, 1877-1938)
Kunjungan ke Pakistan, 8-12 Februari lalu—atas undangan angkatan laut negara itu untuk meliput Latihan Angkatan Laut Multinasional ”AMAN 2019” di Karachi— serasa menziarahi negeri yang punya ikatan batin dan intelektual dengan Tanah Air sendiri. Negara itu melahirkan banyak pemikir, yang memengaruhi sebagian intelektual dan guru bangsa di Indonesia.
Banyak nama tokoh Pakistan dikenal di Tanah Air berkat penerjemahan karya-karya mereka ke dalam bahasa Indonesia, yang kemudian dibahas dan didiskusikan secara luas.
Ahmad Syafii Maarif atau almarhum Djohan Effendi, Menteri Sekretaris Negara era Presiden Abdurrahman Wahid, sangat getol mengutip karya-karya Muhammad Iqbal, pemikir-filsuf Pakistan terkemuka, dalam tulisan-tulisan tahun 1980-an hingga 1990-an.
Bersama almarhum Nurcholish Madjid, Syafii bahkan berguru langsung kepada cendekiawan asal Pakistan, Fazlur Rahman, saat kuliah di Chicago, AS. Nama-nama tokoh Pakistan, seperti Iqbal, Muhammad Ali Jinnah, atau Abul A’la al-Maududi, tak asing bagi sebagian publik di Indonesia.
Dalam buku Peranan Pakistan di Masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia (Jakarta, Desember 2004), Firdaus Syam dan Zahir Khan menulis tentang tentara Pakistan dalam pasukan Inggris yang kemudian bergabung dengan pejuang RI 1945-1948 berkat imbauan Ali Jinnah.
Ali Jinnah juga mengeluarkan perintah menahan sejumlah pesawat asing di Karachi, yang mengangkut senjata untuk dikirim ke Jakarta, pada akhir Agustus 1947. Pada Desember 1996, Pemerintah Indonesia menganugerahkan penghargaan Bintang Kelas 1 Adipurna kepada Ali Jinnah.
Republik Islam Pakistan, nama resmi negara itu, sudah lama menjadi sorotan dunia, termasuk intelektual dan pemerhati politik di Indonesia. Negara itu adalah salah satu contoh eksperimen pergulatan masyarakat Muslim dengan demokrasi.
Negara di Asia Selatan itu menyajikan satu varian negara Islam, selain yang diperlihatkan di sejumlah negara, seperti Iran, Afghanistan, dan negara-negara di Timur Tengah.
Dalam banyak hal, Pakistan secara mengejutkan tangguh dan punya daya tahan sebagai negara dan masyarakat.
Merdeka tahun 1947 dari Inggris, hasil pemisahan dari India, Pakistan hampir seusia dengan Indonesia. Namun, dalam perjalanannya, negara itu mengalami pergulatan politik yang kerap diwarnai kudeta dan gangguan terorisme.
Dalam 70 tahun lebih perjalanannya, hanya sekali parlemen negeri itu menyelesaikan termin lima tahun: era pemerintahan Jenderal Pervez Musharraf.
Kata ”Pakistan”, demikian tulis Anatol Lieven, wartawan Times (London) yang meliput di Pakistan tahun 1980-an dan profesor hubungan internasional di Departemen Studi-studi Perang King’s College, London, dalam bukunya, Pakistan: A Hard Country, ditemukan oleh Rehmat Ali, mahasiswa Muslim India di Inggris tahun 1933.
Kata itu untuk melukiskan negara Muslim yang akan datang di wilayah barat laut kekuasaan Inggris di India meliputi Punjab, Pashtun, Kashmir, Sindh, dan rakyat Balochistan.
Gabungan kata daerah-daerah itu disingkat menjadi ”Pakistan”. ”Pak”, dalam bahasa Urdu, berarti ”murni”. ”Pakistan” berarti ”Tanah Kemurnian (The Land of the Pure)”. Namun, ide pendirian negara Muslim di Pakistan, terpisah dari India saat ini, muncul dari penyair-filsuf Muhammad Iqbal tahun 1930.
Setelah melalui resolusi dalam sidang Liga Muslim India di Lahore tahun 1940 dan tujuh tahun perjuangan di bawah kepemimpinan Quaid-e-Azam (Pemimpin Besar) Muhammad Ali Jinnah, Pakistan lahir dan muncul di peta dunia pada 14 Agustus 1947. Foto Iqbal dan Ali Jinnah dipajang menghadap ke lapangan tempat upacara di markas Pangkalan Utama Angkatan Laut Pakistan, Qasim, di Karachi.
Di kota bisnis tersibuk di tepi Laut Arab itu, foto Ali Jinnah juga dipasang di berbagai sudut strategis sehingga terlihat mencolok. Foto siluetnya dipasang di halaman muka koran berbahasa Inggris yang didirikannya, Dawn. Ali Jinnah memang lahir dan dimakamkan di Karachi.
Ali Jinnah meninggal setahun setelah negara yang dibidaninya lahir. Iqbal, meninggal tahun 1938, tak sempat mencicipi kelahiran Pakistan. Sejak Ali Jinnah wafat, konflik dan kekerasan tak lepas dari negeri itu.
Namun, tulis Lieven, dalam banyak hal, Pakistan secara mengejutkan tangguh dan punya daya tahan sebagai negara dan masyarakat. Tidak seperti Somalia, Afghanistan, atau Kongo, yang bisa dikata mungkin atau akan menjadi negara gagal.