Data sekilas memperlihatkan pertumbuhan ekonomi di Barat pulih. Ada gejala inflasi naik, pertanda permintaan mulai naik. Akan tetapi, ini adalah pemulihan yang lemah. Jika terjadi sebuah ledakan di sektor keuangan yang sedang rawan, ekonomi bisa terjungkal kembali.
Bahkan, ada gejala kuat, dunia menuju resesi besar menyerupai situasi pada tahun 2008 di Amerika Serikat dan 2009 di Eropa. Hal ini terungkap dalam laporan The Bank for International Settlement (BIS), yang berbasis di Basel, Swiss, Minggu (25/6). Peringatan ini sangat penting dan berasal dari BIS, bank sentral dari bank sentral di seluruh dunia. Laporan BIS memperingatkan secara dini agar semua pihak melakukan antisipasi untuk mencegah resesi besar.
”Diperlukan pembangunan daya tahan ekonomi secara domestik dan global,” kata Claudio Borio, Kepala Departemen Moneter dan Ekonomi BIS.
Laporan itu mengungkapkan, ada faktor lain yang mempertajam potensi krisis. Terjadi kenaikan utang di banyak negara akibat pasokan uang murah dari bank sentral di seluruh dunia, khususnya Eropa dan AS. Ada pula penambahan utang di sejumlah korporasi di negara-negara berkembang. Demikian pula di China, ada gelembung aset yang berpotensi meletus.
Proteksionisme
Peringatan BIS juga menembak sikap abai di Barat. Disebutkan, terpilihnya Presiden AS Donald Trump telah memunculkan euforia sesaat di pasar uang walau kini mulai sirna. Hal yang turut mengkhawatirkan, AS telah mengubah peraturan keuangan yang dulu muncul untuk memperketat sektor keuangan negara tersebut yang bertindak liar, penyebab krisis 2008.
Ada pula gejala proteksionisme yang dimotori AS. ”Mungkin dikira sikap proteksionisme ini independen dan tidak memengaruhi aktivitas ekonomi. Kenyataannya tidak demikian. Fakta empiris memperlihatkan proteksionisme pernah menjatuhkan perekonomian,” demikian peringatan BIS.
Hal lain penambah dorongan terjadinya resesi adalah kenaikan produktivitas yang tidak diiringi dengan pertambahan upah global. Terjadi otomatisasi dalam sektor produksi sehingga pemakaian tenaga kerja semakin berkurang. Hal ini memberi efek ketimpangan dan mengacaukan permintaan. Investasi akan gagal memberikan hasil jika produksinya tidak didukung permintaan, pendapatan karyawan.
Semua faktor ini masih terlihat aman karena ada pasokan uang beredar dari bank-bank sentral ke pasar. Maka dari itu, ada komplikasi dalam kebijakan moneter. Ada keinginan bank sentral agar peredaran uang diperketat atau kebijakan moneter dikembalikan ke situasi normal.
Kebijakan bank sentral di AS, Eropa, dan Jepang telah lama mematok suku bunga rendah dan memasok uang besar-besaran ke pasar. Hal ini pasti tidak bisa dibiarkan terus. Bahkan, terjadi dana dari bank-bank sentral itu dipakai untuk tujuan spekulatif di pasar.
”Jika tiba saatnya, krisis keuangan akan cukup matang untuk meletus sendiri,” demikian laporan BIS. Disinggung pula tentang Brexit, Inggris keluar dari Uni Eropa, yang menggerogoti kekuatan ekonomi Eropa.
Meramalkan hal serupa
Peringatan BIS tersebut sangat kuat. Gubernur Bank Sentral Eropa Mario Draghi menyebutkan, perekonomian zona euro (kelompok pengguna mata uang tunggal euro) memang pulih, tetapi tidak cukup kuat sebagai dasar untuk mengembalikan kebijakan moneter ke situasi normal. Bank-bank di Spanyol dan Italia memperlihatkan kerentanan dan beberapa bank sudah diambil alih.
Hal ini menunjukkan sektor perbankan Eropa masih jauh dari pulih. Pertumbuhan ekonomi rendah berpengaruh pada daya tahan lembaga perbankan. Menambah itu, pada 25 Juni, Profesor Dr Edward Altman, yang dijuluki ”guru kebangkrutan”, melihat pola di sektor keuangan yang mirip keadaan pada tahun 2007, setahun menjelang resesi 2008.
Profesor yang mengajar di NYU Stern School of Business ini termasuk salah satu yang tepat meramalkan resesi besar 2008. Ia menggunakan metode Altman Z-Score untuk menganalisis situasi di pasar kredit (pinjam-meminjam). Instrumen Altman Z-Scores, antara lain, bertujuan menunjukkan posisi utang sebuah perusahaan apakah sudah di luar kendali, dan dijadikan sebagai indikasi potensi krisis.
Siklus kredit sekarang, menurut Altman, memiliki karakter seperti pada tahun 2007, yakni suku bunga, keuntungan investasi rendah, ”spread” rendah. Istilah ”spread” di sini menunjukkan jarak antara suku bunga pinjaman dan tingkat pendapatan terlalu rendah.
Hal itu menandakan geliat bisnis yang rendah. Hal ini ditambah lagi dengan banyaknya likuiditas di sektor keuangan, artinya tidak diterjemahkan ke sektor produksi. Likuiditas rendah tersebut mengalir ke dalam bentuk investasi portofolio di pasar modal dan pasar uang. ”Di permukaan, terkesan situasi pasar sedang menggairahkan. Hal ini mirip keadaan menjelang tahun 2008,” kata Altman.
Ia juga melihat perilaku ceroboh para investor seperti pada tahun 2007 yang telah muncul kembali. ”Menjelang krisis 2007, risiko utang perusahaan penerbit obligasi begitu tinggi. Tampaknya hal ini belum mengganggu psikologi pasar,” ucap Altman.
Dikatakan berisiko karena ada banyak perusahaan yang menerbitkan surat utang berstatus ”junk” (sampah). Ada kesan aji mumpung bagi banyak perusahaan untuk meraih dana dengan memanfaatkan likuiditas pasar yang tinggi.
Obligasi ”junk” diperdagangkan di pasar modal, yang disebut transaksi derivatif, karena merupakan cara terbaik meraih keuntungan besar meski ada risiko tinggi untuk sementara. Kondisi perusahaan-perusahaan juga tidak berada dalam posisi lebih baik ketimbang 2007.
”Saya melihat kebangkrutan demi kebangkrutan perusahaan besar sudah terjadi. Semakin banyak yang sibuk mengajukan perlindungan kepailitan secara rutin. … Sekarang ini, hal yang membuat perusahaan secara umum terhindar dari kebangkrutan adalah likuiditas pasar yang tinggi serta bunga rendah,” tutur Altman.
Kita lihat saja sampai kapan itu berlangsung. (REUTERS/AFP/AP)