Sebagian orang di Indonesia belum memiliki akses ke makanan bergizi. Peran semua elemen masyarakat untuk pemerataan akses pangan dibutuhkan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
KOMPAS/LASTI KURNIA
Makanan berlebih dari sebuah acara pesta pernikahan dikumpulkan oleh para kru dapur Hotel Ritz Carlton untuk disumbangkan pada Food Cycle Indonesia, Jakarta, Sabtu (9/3).
JAKARTA, KOMPAS — Belum seluruh penduduk Indonesia bebas dari rasa lapar. Sebagian orang pun belum memiliki akses terhadap makanan bergizi. Oleh karena itu, kerja sama antara pemerintah, swasta, komunitas, dan masyarakat diperlukan untuk memperluas akses terhadap pangan.
”Indonesia belum betul-betul merdeka jika di antara kita masih ada yang kelaparan dan kurang gizi,” kata pendiri Foodbank of Indonesia (FOI), M Hendro Utomo, pada Kongres Jaringan Bank Pangan Indonesia di Jakarta, Rabu (25/5/2022). Padahal, makanan adalah hak dasar setiap manusia.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada 2021, potensi sampah yang dihasilkan dari sampah makanan (food waste) dan makanan yang terbuang sebelum diolah (food loss) di Indonesia 23-48 juta ton per tahun pada 2020-2019. Angka itu setara dengan 115-184 kilogram per kapita per tahun.
Adapun menurut analisis Harian Kompas, setiap orang di Indonesia rata-rata membuang makanan senilai Rp 2,1 juta per tahun. Jika dijumlahkan, sampah makanan di Indonesia mencapai Rp 330 triliun per tahun.
Di sisi lain, ribuan, bahkan jutaan orang, masih berjuang mendapatkan makanan setiap hari. Kelaparan bisa terjadi karena beberapa hal, antara lain kemiskinan hingga minimnya akses untuk memproduksi pangan dari lahan sendiri.
Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) sebelumnya memperkirakan ada 130 juta ton sampah makanan per tahun. Angka itu seharusnya bisa menyelamatkan 11 persen penduduk Indonesia atau 28 juta orang dari kelaparan.
Peran komunitas
Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi masalah itu. Ketua Yayasan Lumbung Pangan Indo (YLPI) Wida Septarina mengatakan, FOI (yang bernaung di bawah YLPI) membantu masyarakat mengatasi masalah kelaparan dan gizi buruk selama tujuh tahun terakhir. Mereka mendistribusikan makanan berlebih ke kelompok rentan, utamanya anak-anak.
Indonesia belum betul-betul merdeka jika di antara kita masih ada yang kelaparan dan kurang gizi.
Iklan
Keberadaan FOI bermula dari kegiatan membagikan sarapan gratis di garasi sebuah kantor. Kini, FOI berkembang menjadi jaringan di 43 kota/kabupaten di Indonesia. Penerima manfaatnya lebih dari 260.000 orang.
”Namun, gerakan ini tidak mungkin berkelanjutan tanpa dukungan pemerintah, dunia usaha, akademisi, donatur, hingga sukarelawan,” ucap Wida.
Relawan FOI Tuti memaparkan, kendati Jakarta adalah kota besar, di pelosok kota masih banyak anak memerlukan makanan tambahan bergizi. Beberapa di antara mereka sulit membeli makanan bergizi karena terhalang kemiskinan. Padahal, kekurangan gizi berdampak buruk pada pertumbuhan dan perkembangan anak. ”Tanpa asupan gizi yang optimal, mereka akan sulit belajar secara optimal juga,” katanya.
Salah satu masalah gizi di Indonesia adalah tengkes (stunting) atau kondisi gagal tumbuh kembang anak akibat kurang gizi kronis. Prevalensi tengkes di Indonesia turun menjadi 24,4 persen pada 2021. Prevalensi tengkes pada 2019 adalah 27,7 persen, sementara pada 2018 sebesar 30,8 persen. Pemerintah menargetkan prevalensi tengkes turun menjadi 14 persen pada 2024.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Kongres Jaringan Bank Pangan Indonesia berlangsung di Jakarta pada Rabu (25/5/2022). Kongres ini membahas tentang peran bank makanan untuk mencegah timbulnya sampah makanan serta mendistribusikan makanan berlebih untuk masyarakat yang tidak punya akses pangan bergizi.
Masalah pangan juga menimbulkan kelaparan tersembunyi (hidden hunger), yaitu kekurangan zat gizi mikro. Untuk menghindarinya, anak-anak mesti dikenalkan berbagai macam makanan berikut gizinya. Hal ini butuh peran orangtua. Ia juga mendorong agar anak diajari makan dengan kesadaran (mindful).
RUU bank makanan
Wakil Ketua MPR Muhammad Hidayat Nur Wahid mengatakan, pihaknya sedang mengajukan RUU tentang bank makanan untuk keadilan sosial ke DPR. RUU tersebut kini masuk ke program legislasi nasional (prolegnas). ”Akan kami upayakan agar masuk daftar prioritas,” katanya.
Rancangan UU tersebut dibutuhkan karena tidak ada payung hukum yang mengatur pemerataan pangan untuk penduduk Indonesia. Padahal, pemerataan pangan adalah salah satu cara mencapai keadilan sosial. RUU juga dapat memberi perlindungan hukum ke pihak yang mendistribusikan makanan berlebih ke publik.
”Dengan RUU, donatur dan kontributor juga agar tidak ragu berdonasi secara permanen dan berkelanjutan karena ini kegiatan legal,” kata Hidayat.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Dari kiri ke kanan: Ketua Yayasan Lumbung Pangan Indo (YLPI) Wida Septarina; pendiri Foodbank of Indonesia (FOI), M Hendro Utomo; dan Wakil Ketua MPR Muhammad Hidayat Nur Wahid pada Kongres Jaringan Bank Pangan Indonesia berlangsung di Jakarta, Rabu (25/5/2022).
Direktur Pangan dan Pertanian Bappenas Anang Noegroho menambahkan, pihaknya siap mendukung dan memfasilitasi kegiatan untuk mendistribusikan pangan. Hal itu bertujuan agar kemakmuran yang berkeadilan tercapai.