Regulasi Pengendalian Penyakit Tidak Menular Masih Lemah
Jumlah kasus penyakit tidak menular yang terus meningkat di Indonesia menjadi bukti lemahnya komitmen pemerintah untuk melindungi masyarakat. Butuh kebijakan yang tegas mengendalikan faktor risiko penyakit tidak menular.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus penyakit tidak menular, seperti penyakit jantung, stroke, kanker, diabetes, dan hipertensi, terus meningkat di Indonesia. Beban biaya kesehatan untuk penyakit tersebut pun semakin besar. Meski begitu, komitmen pemerintah untuk menanggulangi kondisi tersebut masih lemah.
Riset Kesehatan Dasar menunjukkan, sebanyak 73 persen kematian di Indonesia disebabkan oleh penyakit tidak menular. Selain itu, beban biaya kesehatan untuk penyakit katastropik yang disebabkan oleh penyakit tidak menular, khususnya penyakit yang disebabkan oleh rokok, tercatat mencapai Rp 27,7 triliun dalam setahun.
Sekretaris Umum Aliansi Penyakit Tidak Menular (PTM) Indonesia Ade Meidian Ambari di Jakarta, Rabu (18/5/2022), menuturkan, penguatan kebijakan pengendalian penyakit tidak menular mendesak dilakukan. Kebijakan ini terutama untuk melindungi kelompok rentan seperti anak-anak.
”Kebijakan pengendalian PTM (penyakit tidak menular) merupakan bentuk komitmen nyata pemerintah untuk melindungi kesehatan publik sekaligus untuk memenuhi hak masyarakat atas kesehatan,” katanya.
Ade menuturkan, kebijakan pemerintah yang tegas diperlukan terutama untuk mengendalikan faktor risiko penyakit tidak menular. Setidaknya ada tiga faktor risiko yang perlu diperhatikan, yakni konsumsi rokok, garam dan lemak jenuh, serta gula yang terkandung di minuman berpemanis dalam kemasan.
Menurut dia, kebijakan yang melarang atau membatasi pemasaran, iklan, dan sponsor produk tidak sehat, seperti rokok serta produk makanan dan minuman tinggi gula, garam, dan lemak, harus diperkuat. Kebijakan yang lemah akan membuat masyarakat, termasuk anak-anak, mudah terpapar produk tidak sehat tersebut. Upaya pembatasan konsumsi produk tersebut juga tidak terjadi.
Kebijakan pengendalian PTM (penyakit tidak menular) merupakan bentuk komitmen nyata dari pemerintah untuk melindungi kesehatan publik sekaligus untuk memenuhi hak masyarakat atas kesehatan. (Ade Meidian Ambari)
Ketua Bidang Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat Komnas Pengendalian Tembakau Rita Damayanti menilai, kebijakan pemerintah untuk mengendalikan konsumsi rokok juga masih lemah. Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi salah satu negara dengan perokok dewasa terbanyak di dunia. Jumlah perokok anak juga terus bertambah secara signifikan dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018.
Pemasaran produk rokok dan turunannya pun belum dibatasi secara optimal. Iklan rokok masih ditemukan di berbagai jenis media promosi tanpa ada batasan waktu. Iklan tersebut bisa menyasar semua kelompok usia, termasuk anak.
Rita mengatakan, tidak adanya pembatasan yang tegas membuat semakin banyak anak yang terpengaruh untuk mulai merokok. Padahal, peningkatan tren jumlah perokok anak dan remaja bisa menjadi ancaman bagi sumber daya manusia yang berkualitas.
”Pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang lebih komprehensif dan tepat sasaran. PP No 109/2012 yang terbengkalai harus segera direvisi supaya lebih komprehensif. Kebijakan pengendalian PTM tidak cukup hanya dengan edukasi, tetapi penguatan regulasi pengendalian konsumsi rokok,” tuturnya.
Minuman berpemanis
Peneliti Kesehatan Masyarakat dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Gita Kusnadi, menutukan, kebijakan lain yang juga perlu diperkuat yakni pembatasan minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Konsumsi minuman berpemanis di Indonesia menempati ranking ketiga tertinggi di Asia Tenggara dengan jumlah konsumsi rata-rata 20,23 liter per orang per tahun.
Ia mengungkapkan, penjualan produk MBDK di Indonesia juga meningkat dua kali lipat dari 2,1 juta liter pada 2005 menjadi 5,9 juta liter pada 2014. Kelompok usia 13-18 tahun merupakan kelompok usia dengan konsumsi MBDK tertinggi, yakni 4,7 mililiter per orang per hari.
Padahal, satu minuman kemasan mengandung kadar gula yang tinggi. Pada minuman soda berpemanis rasa stroberi, misalnya, terdapat 9,2 sendok teh gula atau sekitar 46 gram. Bahkan, dalam minuman teh bersoda berpemanis dalam kemasan 500 mililiter mengandung 12 sendok teh gula atau 60 gram gula. Itu sudah lebih dari batasan yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan, yakni 50 gram gula per hari.
”Pengendalian konsumsi MBDK perlu dilakukan melalui penerapan cukai. Dengan cukai, harga MBDK akan meningkat sehingga konsumsi di masyarakat akan menurun. Hal ini dapat menurunkan dampak konsumsi MBDK seperti obesitas dan diabetes,” ujar Gita.
Ia menyebutkan, menurunkan konsumsi MBDK dengan cukai telah berhasil diterapkan di sejumlah negara, seperti Meksiko dan Inggris. Di Meksiko, jumlah pembelian MBDK menurun 19 persen dengan penerapan cukai sebesar 10 persen. Sementara di Inggris, kebijakan cukai MBDK telah mendorong industri mengurangi kadar gula dalam produk minumannya sebesar 11 persen.
Pelaksana Tugas Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Elvieda Sariwati menyampaikan, Kemenkes telah mengusulkan pemberlakuan cukai MBDK kepada Kementerian Keuangan. Usulan ini sekarang sedang dibahas untuk dilanjutkan sebagai sebuah aturan.
”Beberapa kali sudah dilakukan pembahasan lebih detail terkait cukai MBDK. Substansi regulasi juga sedang disusun. Mudah-mudahan bisa segera terwujud,” katanya.