Pencabutan Izin Usaha Dinilai Belum Atasi Ketimpangan Penguasaan Lahan
Pencabutan izin di sektor perkebunan belum dapat mengatasi persoalan ketimpangan penguasaan lahan karena memiliki luas areal yang sangat kecil. Pencabutan ini harus diwaspadai akan dikembalikan ke pemilik modal baru.
Oleh
Pradipta Pandu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pencabutan izin usaha, khususnya sektor perkebunan, oleh pemerintah dinilai belum signifikan dalam mengatasi persoalan ketimpangan penguasaan lahan. Sebaliknya, pencabutan izin usaha ini harus diwaspadai akan diarahkan untuk dikembalikan kepada kelompok pemodal baru atau badan usaha besar.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengemukakan, pencabutan izin usaha khususnya di sektor perkebunan belum dapat mengatasi persoalan ketimpangan penguasaan lahan karena memiliki luas areal yang sangat kecil. Tercatat hak guna usaha (HGU) perkebunan yang dicabut izinnya seluas 34.448 hektar.
”Luasan ini sangat sedikit dan tidak meyakinkan untuk mengatasi ketimpangan penguasaan lahan. Apabila berkaca pada data lama, potensi tanah telantar di Indonesia 7 juta hektar. Jadi, dari sisi penertiban tanah telantar pun sangat kecil apalagi dibandingkan eksisting HGU yang dikuasai perusahaan,” ujarnya di Jakarta, Senin (10/1/2022).
Sebagian lahan akan didistribusikan ke masyarakat lokal dan sebagian lainnya ke perusahaan yang kredibel.
Menurut Dewi, apabila salah satu tujuan pencabutan izin usaha ini adalah mengatasi ketimpangan penguasaan lahan, seharusnya pemerintah turut menertibkan perusahaan yang memiliki rekam jejak konflik agraria. Dengan kata lain, pencabutan izin usaha tidak berkolerasi dengan wilayah konflik agraria akibat keberadaan perusahaan perkebunan.
Dewi memandang pencabutan izin usaha dan revitalisasi tanah perkebunan telantar ini harus diwaspadai akan diarahkan untuk dikembalikan kepada kelompok pemodal baru atau badan usaha besar. Bahkan, penertiban tanah telantar ini bisa jadi ditujukan untuk kepentingan investasi skala besar.
Kecurigaan Dewi terhadap tujuan pencabutan izin usaha ini tidak terlepas dari pernyataan Presiden Joko Widodo saat menghadiri Kongres Ekonomi Umat II Majelis Ulama Indonesia (MUI), awal Desember 2021. Saat merespons isu ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia, Presiden menyatakan bahwa negara akan menertibkan tanah-tanah yang telantar. Akan tetapi, di sisi lain Presiden menyebut akan menyiapkan lahan dengan jumlah yang sangat besar dengan syarat harus digunakan secara jelas dan memiliki studi kelayakan.
”Dari pernyataan ini sudah ada sinyal bahwa Presiden seolah-olah adalah pemilik tanah dan orientasinya kepada pemilik modal. Sebab, Presiden mensyaratkan studi kelayakan. Jadi, tidak mungkin penertiban tanah telantar berkolerasi dengan petani atau masyarakat miskin karena mereka tidak mengetahui aspek studi kelayakan,” tuturnya.
Salah satu upaya yang harus dilakukan pemerintah jika benar-benar ingin mengatasi ketimpangan penguasaan lahan, menurut Dewi, adalah dengan menetapkan subyek prioritas penerima distribusi tanah telantar dari izin usaha yang telah ditertibkan. Lahan tersebut juga harus menjadi obyek reforma agraria sehingga kelompok masyarakat yang paling berhak menerimanya, yakni buruh tani dan masyarakat miskin perdesaan lainnya.
Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional Surya Tjandra mengemukakan, pencabutan izin dan evaluasi perizinan HGU dan hak guna bangunan (HGB) sudah diinginkan Presiden sejak lama. Sebab, pemerintah sangat fokus terhadap penyediaan lahan untuk berbagai kebutuhan, tetapi terhalang oleh banyaknya izin perusahaan yang tidak efektif selama puluhan tahun.
”Jadi, memang inti pencabutan izin ini adalah agar sumber daya alam yang terbatas benar-benar bisa menjadi sumber pemerataan untuk keadilan dan diproses secara transparan sesuai Pasal 33 UUD 1945. Akan tetapi, proses pencabutan memerlukan waktu karena sebagian izin perusahaan saling terkait antar-kementerian/lembaga,” katanya.
Distribusi ke masyarakat
Setelah pencabutan izin dilakukan, kata Surya, sebagian lahan akan didistribusikan ke masyarakat lokal dan sebagian lainnya ke perusahaan yang kredibel. Skema dan ketentuan distribusi lahan ini secara detail masih dibahas oleh kementerian/lembaga terkait.
”Skema distribusi masih didiskusikan dan kementerian kami harus lebih terbuka dalam menerima masukan. Jadi ke depan perlu partisipasi yang kuat dari publik,” ujarnya.
Surya memastikan upaya membenahi tata kelola lahan tidak akan berhenti pada pencabutan izin perusahaan yang dilakukan saat ini. Ke depan, diharapkan pencabutan izin akan terus dilakukan bagi perusahaan yang tidak memenuhi kewajibannya. Pemerintah juga meyakini sudah bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku sehingga siap apabila nantinya terdapat gugatan dari perusahaan.
Surya menyadari bahwa sampai saat ini masih terdapat ketimpangan akses dan kepemilikan lahan yang relatif tinggi antara masyarakat dan korporasi. Upaya mengatasi ketimpangan penguasaan lahan ini tidak hanya bisa diatasi oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang, tetapi juga melibatkan berbagai sektor kementerian/lembaga hingga pihak-pihak terkait lainnya.
”Salah satu strategi evaluasi izin perusahaan yang dilakukan saat ini adalah untuk menyediakan ruang atau lahan. Menyediakan obyek berupa tanah ini yang masih menjadi tantangan. Setelah obyeknya ada, barulah dilakukan reforma agraria,” ucapnya.