Cat dengan Kandungan Timbal Tinggi Masih Banyak Beredar di Indonesia
Kajian terbaru dari Nexus3 Fundation menunjukkan cat dengan kandungan timbal tinggi masih beredar luas di Indonesia. Sebanyak 47 dari 120 sampel cat mengandung timbal di atas 10.000 ppm.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Cat dengan kandungan timbal tinggi masih beredar luas di Indonesia dan digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk memperindah tempat bermain anak. Pemerintah pun didorong untuk segera menyusun peraturan terkait dengan larangan pembuatan hingga penggunaan semua cat yang mengandung konsentrasi timbal tinggi.
Hal itu terangkum dalam hasil studi terbaru dari Nexus3 Foundation bekerja sama dengan International Pollutants Elimination Network (IPEN) tentang kadar timbal dalam cat dekoratif di Indonesia yang dirilis pada Rabu (27/10/2021).
Studi yang dilakukan pada 2020-2021 ini dilakukan dengan cara mengumpulkan secara acak 120 sampel cat berbasis pelarut dan cat industri yang dijual dari sejumlah toko di 10 kota di Indonesia, yakni Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Sidoarjo, dan Denpasar. Cat-cat tersebut mewakili 66 merek berbeda yang diproduksi oleh 47 produsen. Sampel cat kemudian dikirim ke laboratorium di Amerika Serikat untuk diuji.
Hasil studi menemukan bahwa sekitar tiga perempat sampel cat yang dianalisis tidak memenuhi standar yang dapat dicapai secara global 90 bagian per juta (ppm). Kadar timbal paling berbahaya cenderung pada cat berwarna oranye (91 persen), hijau (57 persen), kuning (55 persen), dan merah (19 persen).
Secara lengkap, 88 dari 120 sampel cat atau 73 persen sampel yang dianalisis untuk keperluan rumah tangga dan industri merupakan cat bertimbal yang mengandung konsentrasi timbal di atas 90 ppm. Bahkan, 47 sampel cat atau 39 persen mengandung timbal yang sangat tinggi di atas 10.000 ppm. Sementara cat yang mengandung timbal di bawah 90 ppm hanya ditemukan di 32 sampel.
Selain itu, studi juga menemukan sebagian besar cat hanya menyajikan sedikit informasi tentang bahan cat pada label dan tidak ada peringatan tentang bahaya ataupun efek debu timbal. Cat tersebut hanya diberi label sebagai pelarut, pigmen, dan resin tanpa rincian lebih lanjut. Sementara hanya 23 persen cat berbasis pelarut menyajikan label kandungan timbal.
Harga cat yang mengandung timbal cenderung murah, tetapi memiliki risiko tinggi. Studi yang dilakukan pada 2013 menunjukkan bahwa Indonesia berpotensi kehilangan produk domestik bruto (PDB) hingga 32,9 miliar dolar AS karena dampak buruk dari cat bertimbal.
Senior Advisor Nexus3 Foundation Yuyun Ismawati menyampaikan, harga cat yang mengandung timbal cenderung murah, tetapi memiliki risiko tinggi. Studi yang dilakukan pada 2013 menunjukkan bahwa Indonesia berpotensi kehilangan produk domestik bruto (PDB) hingga 32,9 miliar dolar AS karena dampak buruk dari cat bertimbal.
Menurut Yuyun, cat warna cerah dengan kandungan timbal tinggi kerap digunakan secara luas di fasilitas anak-anak dan ruang publik. Studi tentang dampak timbal pada anak-anak di Indonesia memang masih minim. Akan tetapi, secara umum ketika terhirup oleh anak-anak, paparan debu dari timbal akan meningkatkan potensi penyakit asma, bronkitis, dan alergi.
”Kandungan cat bertimbal tinggi tidak bisa dilihat secara kasatmata, tetapi harus melalui pengujian. Paparan atau keracunan timbal pada anak-anak juga hanya bisa dideteksi dengan cara mengambil darah mereka dan melakukan uji kecerdasan atau IQ,” ujarnya dalam konferensi pers secara daring, Rabu.
Yuyun pun mendorong kementerian dan lembaga terkait untuk segera menyusun peraturan pelarangan pembuatan, impor, ekspor, distribusi, penjualan, dan penggunaan semua cat yang mengandung konsentrasi timbal total melebihi 90 ppm. Di sisi lain, produsen cat perlu menyajikan informasi yang menunjukkan kandungan berbahaya pada label kaleng cat.
Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Lembaga Kajian Lingkungan Hidup (ICEL) Fajri Fadhillah mengatakan, larangan cat dalam timbal ini salah satunya dapat dituangkan dalam aturan di bidang perdagangan. Larangan ini bertujuan melindungi kesehatan dan keselamatan manusia dan lingkungan hidup.
Aturan pelarangan timbal dalam cat dapat memuat ketentuan umum yang mencakup semua definisi istilah yang berkaitan dengan cat bertimbal. Selain itu, perlu juga mengatur batas maksimal yang jelas mengenai jumlah timbal dalam cat, yakni 90 ppm, ketentuan tentang penegakan hukum, dan waktu berlakunya pelarangan.
Sertifikasi SNI
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Cat Indonesia (APCI) Markus Winarto menjelaskan, beberapa produsen cat masih menggunakan pigmen bertimbal karena dapat menekan biaya dan memiliki ketahanan yang sangat baik terhadap cuaca. Proses produksi cat bertimbal juga diakui lebih mudah dibandingkan dengan formulasi lain.
”Memang, belum semua produk cat dengan berbagai jenis di Indonesia memiliki sertifikasi Standar Nasional Indonesia (SNI) dan ini akan dilakukan secara bertahap. Tetapi, kalau dibuat aturan semua harus bersertifikat SNI, kami dari asosiasi belum menyetujui,” ujarnya.
Markus menjelaskan, terdapat sekitar 150 produsen cat di Indonesia dan baru 64 produsen yang sudah menjadi anggota APCI. Sebagian besar produsen cat di Indonesia juga merupakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Persyaratan sertifikasi SNI salah satunya harus menjalankan sistem manajemen mutu dan ini akan memberatkan UMKM.
Proses sertifikasi yang memakan biaya juga dipandang Markus akan memberatkan UMKM. Sebab, proses mendapatkan sertifikat SNI pertama memerlukan biaya hingga Rp 16 juta dan setiap tahun terdapat pemeriksaan dengan biaya Rp 14 juta. Sertifikat SNI ini juga hanya berlaku empat tahun untuk satu produk cat.
”Kami setuju cara terbaik mengatur timbal dalam cat tidak dengan sertifikasi SNI, tetapi melalui peraturan dari pemerintah. Adanya peraturan akan lebih efektif karena cat bertimbal juga masih digunakan untuk marka jalan atau kapal dan ini menyangkut wewenang antarkementerian,” ucapnya.