JAKARTA, KOMPAS — Tren tuberkulosis di kalangan anak muda cenderung meningkat. Kelompok usia ini juga mengalami beban berat tuberkulosis, selain dapat berkontribusi menyebarkannya. Akan tetapi, mereka sering diabaikan dalam program eliminasi penyakit yang menewaskan 1,4 juta orang dalam setahun ini.
Kajian terbaru dari para peneliti di Karolinska Institutet di Swedia telah memetakan faktor-faktor kunci yang memengaruhi hasil pengobatan pada anak usia 10 hingga 24 tahun dengan tuberkulosis di Brasil yang tengah mengalami peningkatan penyakit ini. Untuk menghadapi epidemi tuberkulosis global, para peneliti mengatakan bahwa fokus yang lebih besar diperlukan terhadap kelompok usia ini dalam program tuberkulosis. Studi ini dipublikasikan di The Lancet Global Health pada Selasa (14/9/2021).
Sebelum pandemi Covid-19, tuberkulosis (TB) merupakan penyebab utama kematian dari agen infeksi tunggal secara global. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), TB telah menewaskan 1,4 juta orang pada 2019.
Pada 2019, diperkirakan 10 juta orang terkena TB di seluruh dunia. Sebanyak 5,6 juta pria, 3,2 juta wanita, dan 1,2 juta anak-anak. Di Indonesia, menurut data Tbindonesia.or.id, kasus TB diperkirakan sebanyak 842.000 kasus dan sekitar 32 persen belum terlaporkan. Anak dengan kasus TB mencapai 60.676 kasus.
Penyakit TB terutama menyerang mereka yang rentan secara sosial dan ekonomi. Diperkirakan 1,8 juta orang muda mengembangkan tuberkulosis setiap tahun, terdiri dari 17 persen dari semua kasus baru secara global.
”Orang-orang muda mengalami beban berat tuberkulosis, yang juga dapat berdampak pada penyebaran penyakit, tetapi kelompok usia ini sering diabaikan dalam program tuberkulosis,” kata penulis utama Louisa Chenciner, dokter penyakit dalam yang bekerja di National Health Service (NHS), Britania Raya, yang melakukan penelitian ini sebagai bagian dari tesis masternya di Karolinska Institutet.
Anak-anak muda dengan TB ini, menurut Chenciner, memiliki jaringan sosial yang lebih luas, baik di tempat kerja, sekolah, maupun keluarga atau teman, dan oleh karena itu dapat berkontribusi pada penularan aktif TB di komunitas mereka. ”Untuk mengatasi epidemi TB global, kita perlu lebih memahami faktor-faktor yang terlibat dalam pengobatan yang merugikan hasil bagi kaum muda,” katanya.
Dalam kajian ini, tim peneliti melakukan studi kohort nasional terhadap lebih dari 40.000 orang muda usia 10-24 tahun dengan tuberkulosis di Brasil. Tujuannya adalah untuk mengevaluasi faktor kesehatan dan sosial utama yang terkait dengan hasil pengobatan yang kurang efektif dan peran strategi perlindungan sosial untuk kelompok usia ini.
Hampir seperlima dari populasi penelitian mengalami hasil pengobatan yang kurang efektif, tertinggal di belakang Strategi Akhir TB Organisasi Kesehatan Dunia.
”Hampir seperlima dari populasi penelitian mengalami hasil pengobatan yang kurang efektif, tertinggal di belakang Strategi Akhir TB Organisasi Kesehatan Dunia,” kata anggota tim peneliti, Kristi Sidney Annerstedt, asisten profesor di Pusat Kolaborasi WHO untuk TB dan Pengobatan Sosial di Departemen Kesehatan Masyarakat Global Institut Karolinska. ”Hal ini menunjukkan bahwa kaum muda membutuhkan perhatian yang lebih besar dalam program TB nasional dan internasional.”
Baca Juga: Berjuang Bersama sampai Tuntas
Kajian ini juga menemukan, sejumlah anak muda dengan TB berada di penjara atau pusat penahanan remaja. Lebih dari separuh memiliki pencapaian pendidikan yang lebih rendah daripada rekan-rekan mereka. Ras juga mempengaruhi hasil pengobatan dan faktor-faktor berupa kemiskinan, HIV, tunawisma, dan penggunaan narkoba dikaitkan dengan hasil yang merugikan.
Ada perbedaan dalam dukungan pengobatan yang diterima kaum muda, dengan sekitar setengahnya menerima pengawasan pengobatan TB yang memadai dan sepertiga menjalani pelacakan kontak lengkap. Beberapa orang muda yang terdaftar dalam bantuan tunai pemerintah, termasuk Programa Bolsa Família, cenderung tidak mengalami hasil yang merugikan.
”Sepengetahuan kami, penelitian ini adalah analisis yang memotret kondisi nasional pertama dari karakteristik orang muda dengan TB di Brasil. Sebelumnya, ada sedikit bukti tentang faktor kesehatan dan sosial yang dapat dikaitkan dengan hasil pengobatan yang tidak menguntungkan terhadap kelompok yang terkadang kurang terlayani ini,” kata Tom Wingfield, peneliti di Liverpool School of Tropical Medicine, Inggris, dan Karolinska Institutet.
Baca Juga: Belajar dari Covid-19 dalam Menuntaskan Tuberkulosis
Sekalipun kajian ini dilakukan di Brasil, penting untuk menjadi pelajaran bagi negara lain, termasuk Indonesia. Data yang lebih detail mengenai kesuksesan dan kegagalan pengobatan TB di kalangan anak muda di Indonesia menjadi sangat penting.