Pastikan Bisnis Sawit Miliki Tanggung Jawab Sosial dan Melindungi Lingkungan
Industri sawit sebagai penyumbang devisa yang sangat besar bagi Indonesia diharapkan terus berbenah menuju bisnis berkelanjutan. Beragam permasalahan lingkungan dan sosial agar dituntaskan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setiap kegiatan bisnis kelapa sawit rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia atau HAM dan mengabaikan kesejahteraan sosial serta tidak melindungi lingkungan. Agar usaha sawit lebih berkelanjutan, korporasi perlu memastikan kegiatan usahanya antidiskriminasi, menghormati HAM, hingga tidak mempekerjakan anak.
Hal tersebut mengemuka dalam webinar bertajuk ”Sejauh Mana Bisnis di Indonesia Melindungi Lingkungan dan Peduli Iklim?” yang diselenggarakan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Kamis (15/7/2021).
Direktur Eksekutif Sawit Watch Inda Fatinaware mengatakan, Sawit Watch mencatat luas perkebunan sawit saat ini di seluruh wilayah telah mencapai 22,6 juta hektar. Adapun jumlah tenaga kerja mencapai 16,2 juta orang yang terdiri dari tenaga kerja langsung dan tidak langsung. Tenaga kerja tidak langsung ini di antaranya buruh bayangan dan keluarga petani, termasuk anak-anak.
Moratorium ini akan memperbaiki tata kelola perkebunan sawit sekaligus iklim usaha investasi karena terselesaikannya permasalahan sosial, termasuk tumpang tindih lahan.
”Untuk buruh bayangan, baik perempuan maupun anak, itu tidak mendapatkan insentif ekonomi secara langsung karena mereka tidak berdaya. Selain itu, data Sawit Watch 2019 menunjukkan, terdapat 1.061 konflik sosial di perkebunan sawit,” ujarnya.
Inda menjelaskan, pada dasarnya perkebunan sawit memiliki dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan. Dari aspek sosial, pembukaan kebun sawit dari perusahaan rentan konflik dengan masyarakat lokal, buruh diperlakukan tidak layak, dan tergerusnya sejumlah kearifan lokal.
Guna memastikan bisnis sawit memiliki tanggung jawab sosial dan melindungi lingkungan, Inda pun mendorong perpanjangan kebijakan moratorium sawit yang akan berakhir September tahun ini. Moratorium ini akan memperbaiki tata kelola perkebunan sawit sekaligus iklim usaha investasi karena terselesaikannya permasalahan sosial, termasuk tumpang tindih lahan.
Senior Manager Global Community Outreach and Engagement Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) Imam El Marzuq menyampaikan, ekspansi dan pertumbuhan sawit yang terjadi secara masif selama puluhan tahun memiliki dua sisi.
Di satu sisi, masifnya ekspansi sawit dapat meningkatkan pembangunan dan ekonomi. Akan tetapi, di sisi lain, terdapat risiko lingkungan dan sosial yang muncul apabila pengelolaannya tidak dilakukan secara bertanggung jawab, seperti deforestasi dan pelanggaran HAM.
”RSPO sebagai organisasi memahami bahwa ada proses perbaikan terus-menerus dan strategis dengan intervensi yang terus dilakukan oleh para pemangku kepentingan sehingga industri bisa lebih kompetitif,” ucapnya.
Menurut data RSPO, hingga Juni 2021, Indonesia tercatat sebagai negara dengan sertifikasi sawit berkelanjutan terbanyak di dunia. Indonesia mengungguli Malaysia, Brasil, Papua Niugini, Kolombia, dan negara lain. Ini menunjukkan pelaku kelapa sawit di Indonesia sudah melakukan transformasi dari proses konvensional menjadi lebih berkelanjutan.
Terkait dengan isu sosial dalam kegiatan operasional kelapa sawit, Imam memandang hal ini cukup sulit untuk diidentifikasi dan diaudit dibandingkan isu lingkungan. Namun, merujuk pada pandunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang bisnis dan HAM, mendorong sawit berkelanjutan harus dilihat dari berbagai dimensi, mulai dari kewajiban perlindungan hingga upaya tanggung jawab atau pemulihan bagi korban.
Bagi anggota RSPO, tanggung jawab sosial juga penting untuk diterapkan. Setiap anggota harus memastikan kegiatan usahanya antidiskriminasi, menghormati HAM, memberikan upah yang layak, menjamin kebebasan berserikat dan keselamatan ataupun kesehatan kerja, serta bebas dari kegiatan perdagangan orang ataupun tidak mempekerjakan anak.
Tidak mengurangi komitmen
Asisten Deputi Agro, Farmasi, dan Pariwisata Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Dida Gardera mengatakan, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Konsep aturan turunan ini adalah memudahkan bisnis dan debirokratisasi, tetapi tidak mengurangi komitmen terhadap perlindungan ataupun pengelolaan lingkungan hidup.
”Pada dasarnya, sebelum adanya UU Cipta Kerja, kita berat di izin, tetapi pengawasannya tidak terlalu maksimal. Sekarang aturannya dibalik, izinnya dipercepat dan dipermudah, tetapi tidak mengurangi substansi, sedangkan pengawasan dan sanksinya juga diperkuat,” ujarnya.
Aturan turunan tersebut di antaranya Peraturan Pemerintah (PP) No 22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP No 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, serta PP No 24/2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.
Dida menegaskan, UU Cipta Kerja beserta aturan turunannya dibuat untuk mengatasi ketelanjuran perkebunan masyarakat di kawasan hutan, mengoptimalkan perhutanan sosial, serta mengedepankan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Bahkan, aturan ini juga dapat melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung dalam penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
Selain itu, kata Dida, seluruh aturan yang telah dibuat memiliki prinsip pengelolaan sumber daya alam yang strategis secara lebih bertanggung jawab. Prinsip terpenting lainnya adalah adanya pengakuan pemerintah dan masyarakat kepada korporasi yang telah menerapkan penghormatan dan perlindungan HAM serta pelestarian lingkungan hidup.