Implementasi Kebijakan Moratorium Sawit Perlu Ditingkatkan
Peningkatan peremajaan sawit rakyat dan evaluasi perizinan penting untuk memperbaiki tata kelola industri kelapa sawit di Indonesia.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penguatan implementasi Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 atau dikenal moratorium sawit perlu ditingkatkan sebelum kebijakan ini berakhir September mendatang. Meningkatkan peremajaan sawit rakyat hingga evaluasi perizinan menjadi catatan penting bagi pemerintah untuk memperbaiki tata kelola industri kelapa sawit di Indonesia.
Pentingnya penguatan implementasi dalam kebijakan moratorium sawit disampaikan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono. Sebab, menurut Joko, regulasi tentang penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan di hutan alam primer dan lahan gambut sudah ada sejak 2011 dan diperpanjang sampat saat ini.
Pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah dikeluarkan Inpres No 10/2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru bagi Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut serta Penyempurnaan Tata Kelola Hutan dan Gambut. Penundaan pemberian izin baru ini diberlakukan terhadap hutan primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi, dan area penggunaan lain.
Baik peremajaan sawit rakyat maupun evaluasi perizinan bahkan masalah tumpang tindih lahan sedang dalam progres penanganan. Penguatan dan percepatan implementasi inilah yang jauh lebih penting. (Joko Supriyono)
”Baik peremajaan sawit rakyat maupun evaluasi perizinan bahkan masalah tumpang tindih lahan sedang dalam progres penanganan. Penguatan dan percepatan implementasi inilah yang jauh lebih penting,” ujarnya di Jakarta, Jumat (9/7/2021).
Menurut Joko, saat ini implementasi untuk menyelesaikan persoalan tata kelola sawit sudah diperkuat melalui ketentuan dalam Undang-Undang No 11/2020 tentang Cipta Kerja dan Inpres No 6/2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB). Kebijakan ini sebagai landasan meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pekebun, penyelesaian status dan legalisasi lahan, serta pemanfaatan sawit sebagai energi terbarukan.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung meminta pemerintah fokus meningkatkan program peremajaan sawit rakyat (PSR). Sebab, 41 persen perkebunan sawit dikelola oleh petani dan mereka sudah sangat jauh masuk ke lini bisnis perkebunan sawit.
Gulat menegaskan, potensi PSR saat ini masih sangat lambat dan baru mencapai 21 persen dari target yang ditetapkan. Sejumlah kendala dalam PSR antara lain lokasi lahan yang cenderung dalam kawasan hutan, minimnya informasi kepada petani, dan konfirmasi administrator akun yang cukup lama.
Agar kendala tersebut dapat teratasi dan program PSR berjalan optimal, Gulat menilai perlu adanya percepatan implementasi melalui regulasi yang sudah ada, termasuk dari moratorium sawit. ”Kami berharap semua stakeholder sawit, termasuk petani, diikutkan dalam tim percepatan PSR nasional sehingga bisa ada akses yang lebih kuat ke bawah,” katanya.
Sebelumnya koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam sejumlah lembaga nonpemerintah mendorong presiden untuk memperpanjang kembali moratorium sawit dan memperkuatnya dengan regulasi hingga target yang lebih spesifik.
Menurut koalisi, selama dua setengah tahun kebijakan ini dijalankan, implementasi moratorium sawit masih jauh dari target yang ditetapkan. Beberapa implementasi yang belum optimal di antaranya terkait dengan sinergitas data konsesi sawit antarsesama lembaga/kementerian, tidak adanya keterbukaan data, hingga belum ada mekanisme monitoring dan evaluasi secara jelas.
Sementara itu, Deputi II Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Investasi (Kemenko Marves) Musdalifah Machmud maupun pejabat Kemenko Marves lainnya belum memberikan tanggapan terkait desakan perpanjangan moratorium sawit ini.