Pemerintah Didorong Lanjutkan Perbaikan Tata Kelola Sawit
Upaya perbaikan tata kelola perkebunan dan industri kelapa sawit melalui moratorium perlu dilanjutkan dan diperkuat. Ini bisa membawa dampak positif bagi Indonesia yang menjadikan sawit sebagai penghasil devisa penting.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Moratorium izin perkebunan sawit yang ditetapkan pemerintah pada 2018 akan berakhir 19 September 2021. Sejumlah pihak meminta kebijakan ini diperpanjang, mengingat perbaikan tata kelola sawit masih belum tercapai.
Permasalahan itu mulai dari kebun di kawasan hutan hingga rendahnya produktivitas. Apabila hal-hal ini bisa diselesaikan, dampak positif yang didapatkan di antaranya dukungan pasar global, peningkatan produktivitas, ataupun pencapaian komitmen iklim.
Untuk mendorong hal-hal ini tercapai, Koalisi Moratorium Sawit meminta presiden untuk memperpanjang kembali kebijakan penghentian sementara izin kelapa sawit. Dasar hukum moratorium pun perlu diperkuat dan diiringi dengan target yang lebih spesifik.
Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Arie Rompas menyampaikan, selama 2,5 tahun kebijakan berjalan, implementasi moratorium sawit masih jauh dari target. Ia mencontohkan hal sederhana, seperti sinergisitas data konsesi sawit antarsesama lembaga atas kementerian yang hingga kini tak berjalan optimal.
Regulasi harus mencakup sanksi yang tegas bagi para pejabat yang berwenang jika tidak memenuhi target. Sanksi juga ditujukan bagi pejabat yang terbukti masih menerbitkan izin untuk perkebunan sawit.
”Kemajuan dan tindakan yang selama ini juga tidak diinformasikan sehingga publik sulit untuk terlibat dan memantau perkembangannya,” ujarnya, Rabu (7/7/2021).
Berdasarkan kertas kebijakan yang disusun koalisi, faktor penghambat implementasi moratorium sawit lainnya, yakni tidak tersedianya alokasi anggaran dan sumber daya manusia khusus di tingkat daerah. Di sisi lain, sosialisasi kebijakan kepada pemerintah daerah masih minim.
Ada pula temuan ego sektoral antar-kementerian dan pergantian jabatan di tengah implementasi kebijakan. Pada aspek sosial dan politik, penerbitan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dianggap turut melemahkan semangat perbaikan tata kelola sawit.
Menurut Arie, satu-satunya keberhasilan dalam moratorium sawit ini yakni upaya pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Papua Barat yang telah mencabut izin konsesi kebun bermasalah. Ini merupakan tindakan yang berani oleh pejabat daerah.
Pemerintah Provinsi Papua Barat telah mengevaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit. Hasilnya, enam perusahaan dengan luas konsesi 52.151 hektar tidak memenuhi kriteria dalam menjalankan usahanya dan izinnya akan dicabut. Seluas 224.044 hektar izin perkebunan sawit dari 10 perusahaan juga berpotensi dicabut kembali menyusul sejumlah kriteria yang tidak terpenuhi.
Pelanggaran yang ditemukan dalam evaluasi ini bersifat administrasi dan operasional. Pelanggaran yang bersifat administrasi di antaranya tidak memenuhi syarat dalam izin usaha perkebunan (IUP), tidak memiliki izin pemanfaatan kayu dari dinas kehutanan, tidak melaporkan perusahaan kepemilikan saham dan susunan kepengurusan, serta belum memperoleh hak guna usaha (HGU).
Sementara jenis pelanggaran operasional yang ditemukan yakni belum menyelesaikan kebun inti dan pembangunan plasma. Perusahaan juga terdeteksi melakukan penanaman di lahan gambut dan kawasan hutan serta di wilayah lain yang tidak masuk dalam perizinan (Kompas.id, 27/5/2021).
Terkait dengan penguatan moratorium sawit ke depan, kata Arie, regulasi harus mencakup sanksi yang tegas bagi para pejabat yang berwenang jika tidak memenuhi target. Sanksi juga ditujukan bagi pejabat yang terbukti masih menerbitkan izin untuk perkebunan sawit.
Tuntutan pasar
Direktur Eksekutif Sawit Watch Inda Fatinaware menambahkan, kebijakan moratorium sawit menjadi jalan bagi tuntutan pasar internasional dalam memenuhi produk sawit yang berkelanjutan. Melalui implementasi kebijakan ini, pemerintah dapat melakukan perbaikan tata kelola untuk menghasilkan produk sawit yang dapat diterima pasar global.
”Jika tata kelola perkebunan sawit menjadi lebih baik, maka iklim investasi di Indonesia akan semakin positif. Tidak hanya untuk pemerintah pusat, perpanjangan moratorium sawit juga dibutuhkan oleh daerah untuk mengurai permasalahan tumpang tindih lahan,” ucapnya.
Desakan untuk melanjutkan moratorium sawit sebelumnya juga disampaikan asosiasi petani sawit yang tergabung dalam Perkumpulan Forum Kelapa Sawit Jaya Indonesia (Popsi). Melalui siaran pers, Ketua Umum Popsi Pahala Sibuea meminta pemerintah untuk fokus meningkatkan produktivitas petani sawit melalui program peremajaan sawit rakyat, menangani harga jual rendah, membantu pemetaan, dan menyelesaikan tumpang tindih lahan.