Sejumlah rangkaian persoalan dari pola industri, kepemilikan media, hingga kurangnya literasi media membuat tayangan televisi kerap mengabaikan prinsip kepentingan publik. Hal ini terus terjadi dan merugikan masyarakat.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Penonton dari rumah dilibatkan dalam rekaman salah satu episode Stand Up Comedy Indonesia (SUCI) IX di Kompas TV, Jakarta, Selasa (16/2/2021). Dunia televisi beradaptasi dengan berbagai penyesuaian selama masa pandemi ini.
JAKARTA, KOMPAS — Siaran atau tayangan di sejumlah stasiun televisi terus-menerus mengabaikan prinsip kepentingan publik. Kondisi itu dipengaruhi sejumlah rangkaian persoalan panjang, mulai dari pola industri, kepemilikan media, hingga kurangnya literasi media bagi masyarakat.
Dalam diskusi publik bertajuk ”Menakar Kepentingan Publik dalam Penyiaran”, Jumat (2/4/2021), pemerhati penyiaran publik dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Bayu Wardhana, mengungkapkan, persoalan media massa, terutama media televisi, masih terjebak pada lingkaran kepentingan bisnis. Urusan pernikahan selebritas yang semestinya adalah urusan pribadi menjadi tayangan yang disiarkan secara massal dengan durasi berjam-jam.
Siaran acara pernikahan yang disinggung Bayu itu antara lain persiapan pernikahan pasangan selebritas Atta Halilintar-Aurel Hermansyah. Meskipun siaran itu dianggap tak memperhatikan kepentingan publik, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat hanya melayangkan surat peringatan kepada pihak stasiun televisi per 17 Maret 2021.
”Persoalan dari penayangan pernikahan selebritas itu adalah kegiatan yang sebenarnya bersifat privat, tetapi ditayangkan dengan durasi panjang. Hal itu mengabaikan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi lokal, tayangan cuaca, dan sebagainya,” ujar Bayu dalam diskusi yang diadakan secara daring oleh AJI Indonesia.
Diskusi publik Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bertajuk ”Menakar Kepentingan Publik dalam Penyiaran” terselenggara secara virtual pada Jumat (2/4/2021).
Bayu mengkritik perusahaan media kerap berlindung di balik sistem rating atau pemeringkatan tayangan. Dalam hal tersebut, rating dari perusahaan Nielsen kerap diandalkan. Namun, rating itu belum tentu mencerminkan kepentingan publik secara luas.
Persoalan dari penayangan pernikahan selebritas itu adalah kegiatan yang sebenarnya bersifat privat, tetapi ditayangkan dengan durasi panjang. Hal itu mengabaikan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi.
Padahal, rating Nielsen hanya menunjukkan kecenderungan di 11 kota. Dari belasan kota, enam kota yang disurvei berada di Pulau Jawa. Survei itu, menurut Bayu, belum mewakili keseluruhan masyarakat Indonesia.
Dia meyakini, banyak warga di luar Jawa yang mungkin membutuhkan informasi lokal, terkait cuaca, hingga informasi pelayaran di televisi. Porsi berbagai informasi yang dibutuhkan publik justru kalah dengan durasi tayangan hiburan yang sampai berjam-jam.
Seorang pedagang makanan menonton sinetron yang disiarkan di televisi, Senin (15/3/2021), di Jakarta. Sinetron jadi salah satu hiburan warga yang mudah diakses dan gratis.
Dalam diskusi itu, pegiat Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP), Lestari Nurhajati, pun menyampaikan, masalah kepemilikan perusahaan media yang dekat dengan partai politik juga mencederai kepentingan publik. Hal ini diperparah dengan adanya kepemilikan yang kian terpusat pada sejumlah media atau juga disebut konglomerasi media.
Lestari menyebutkan, regulasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran masih lemah dalam mengatur urusan kepemilikan itu. Padahal, semestinya pemilik media tidak berada dalam partai ataupun kepentingan politik.
”Regulasi yang ada saat ini sudah ketinggalan zaman dan tidak akomodatif untuk kondisi sekarang. Kondisi itu juga makin parah dengan penegakan hukum yang lemah. Ketika regulasi sudah ada, tetapi tidak ditegakkan dengan berbagai alasan, ya, percuma,” ujarnya.
Lestari mengkritik lembaga KPI yang dirasa kurang kredibel dalam menjalankan tugas. Padahal, semangat awal saat terbentuknya KPI adalah untuk mengawasi kepentingan publik tersebut.
Penonton dari rumah dilibatkan dalam rekaman salah satu episode Stand Up Comedy Indonesia (SUCI) IX di Kompas TV, Jakarta, Selasa (16/2/2021). Dunia televisi beradaptasi dengan berbagai penyesuaian selama masa pandemi ini.
Pernikahan selebritas
Deddy Risnanto, anggota Asosiasi Televisi Nasional Indonesia (ATVNI), yang turut hadir dalam diskusi menyampaikan, tayangan pernikahan pasangan selebritas di stasiun televisi sudah terjadi lebih dari satu dekade. Tahun 2001, misalnya, terdapat tayangan pernikahan selebritas Eko Patrio-Viona. Tahun 2008, pasangan Asraf Sinclair-Bunga Citra Lestari juga menyiarkan pernikahan di televisi (Kompas, 26/3/2021).
Pernikahan anak tokoh masyarakat, seperti pasangan Edhie Baskoro Yudhoyono dan Siti Rubi Aliya Rajasa, juga terjadi pada 2011. Penayangan pernikahan semacam itu menghasilkan iklan. Namun, masuk tidaknya konten itu dalam definisi kepentingan publik, katanya, harus ditelaah secara kritis.
Terkait itu, Bayu dari AJI menegaskan, kepentingan publik dalam regulasi semestinya harus lebih spesifik. Terutama di dalam UU Penyiaran, dia belum melihat jelas mengenai definisi soal kepentingan publik itu.
”Dalam regulasi yang sekarang memang disebutkan ada kepentingan umum, bukan kepentingan publik. Perlu ditegaskan lagi bahwa kepentingan publik ini bukan soal jumlah, mayoritas-minoritas semata, apalagi kepentingan segelintir orang saja. Kepentingan publik adalah kepentingan warga sipil dalam mendapatkan informasi yang berkaitan dengan kegiatan mereka,” katanya.
Proses penyuntikan vaksin Covid-19 kepada Presiden Joko Widodo disiarkan secara langsung melalui televisi, seperti yang terlihat di Pasar Santa, Jakarta Selatan, Rabu (13/1/2021).
Dalam konteks itu, masyarakat perlu literasi media untuk menyikapi kritis tayangan yang tidak berkaitan dengan kepentingan publik. Lestari menyebutkan, KNRP berusaha membangun kesadaran itu sehingga warga bisa bersama-sama mengecam media massa saat tidak berjalan sesuai dengan kepentingan publik.
”Ini persoalan membangkitkan kesadaran publik. Ada gerakan bersama yang mengkritik, membuat literasi media yang mencerdaskan terhadap tayangan yang tidak sehat. Kita juga perlu mengawasi regulasi dan penegak hukumnya agar semua berjalan semestinya,” jelasnya.