Menguatnya aksi untuk mengatasi dampak perubahan iklim menjadi momentum bagi Pemerintah Indonesia bertindak nyata dalam aksi itu. Salah satunya dengan penerapan kebijakan progresif sektor energi dan pengelolaan lahan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aksi serangan iklim global atau global climate strike yang serempak dilakukan hampir di seluruh dunia pada 19 Maret 2021 menjadi momentum untuk mendesak pemerintah mendeklarasikan darurat atau krisis iklim dan melakukan aksi lingkungan lebih besar. Sejumlah upaya yang perlu dilakukan di antaranya membuat kebijakan lebih progresif di sektor energi dan pengelolaan lahan.
Manajer Kampanye Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yuyun Harmono menyampaikan, berbagai negara, tak terkecuali di Indonesia, saat ini dalam kondisi darurat iklim. Karena itu, perlu deklarasi dari pemimpin negara terkait kondisi ini untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat dan semua pihak dalam menanggulangi krisis iklim.
”Tugas negara adalah melindungi keselamatan rakyat, dan keselamatan ini terancam karena bencana ekologis. Jika kita melihat data kebencanaan dari BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) dalam 10 tahun terakhir terjadi peningkatan bencana ekologis yang amat luar biasa,” ujarnya dalam konferensi pers secara daring, di Jakarta, Rabu (17/3/2021).
BNPB mencatat, sejak 1 Januari hingga 16 Maret 2021 terjadi 827 bencana. Dari jumlah itu, bencana hidrometeorologi paling banyak terjadi meliputi banjir dengan 359 kejadian, puting beliung (205), tanah longsor (157), kebakaran hutan dan lahan (79), serta gelombang pasang dan abrasi (12). Bencana yang terjadi juga mengakibatkan 275 orang meninggal dan jutaan orang mengungsi.
Yuyun mengatakan, banyaknya bencana ekologis yang terjadi membuat pemerintah perlu meletakkan kembali tujuan pembangunan yang tidak hanya sekadar mementingkan ekonomi, tetapi juga menjamin lingkungan hidup tetap sehat. Sebab, lingkungan sehat berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat.
Sejumlah upaya yang saat ini perlu dilakukan pemerintah di antaranya membuat kebijakan lebih progresif di sektor energi dan pengelolaan lahan, terutama kehutanan kehutanan, lahan gambut, serta pertanian. Sebab, saat ini penyumbang emisi terbesar masih berada di sektor berbasis lahan, seperti kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Sementara 10 tahun ke depan, emisi dari sektor energi akan melampaui sektor lain.
Tugas negara adalah melindungi keselamatan rakyat, dan keselamatan ini terancam karena bencana ekologis.
”Akan tetapi, hal ini tak pernah disikapi secara serius oleh pemerintah. Sebaliknya, izin usaha pertambangan masih diberikan perpanjangan, terutama untuk tambang ekstraktif, seperti batubara dan minyak bumi. Kedua, tidak ada juga peta jalan yang jelas terkait transisi energi ini,” ungkapnya.
Koordinator Nasional Extinction Rebellion Indonesia Melissa Kowara menjelaskan, saat ini banyak penduduk Indonesia menyangkal adanya krisis iklim. Hal ini terangkum dalam hasil survei dari lembaga riset YouGov pada 2020 lalu yang menyebut 21 persen responden mengetahui ada perubahan iklim tetapi tidak mengaitkannya dengan kerusakan alam dan bencana hidrometerologi yang terus terjadi.
”Ketidaktahuan mereka tidak bisa disalahkan karena Presiden tidak pernah menyampaikan kepada publik. Oleh karena itu, penting sekali deklarasi dilakukan oleh tingkat tertinggi negara agar kita tidak memperdebatkan dampak krisis iklim lagi,” tuturnya.
Dalam mendorong pemerintah menetapkan krisis iklim dan bertindak untuk menanggulangi perubahan iklim, organisasi masyarakat sipil membuat petisi di platform change.org. Itu dilakukan karena perubahan baru bisa terjadi jika ada gerakan yang melibatkan setidaknya 3,5 persen dari populasi setempat.
”Tanpa ada bukti desakan dari masyarakat, sepertinya pemerintah tidak akan bergerak karena kami mencobanya selama tiga tahun ini dengan berbagai cara. Semoga pembuatan petisi ini menjadi jalan keluar kita karena dapat mengumpulkan orang-orang yang belum berani bersuara,” tambahnya.