Hasil penelitian menunjukkan, partikel asap dalam kebakaran hutan dan lahan berpotensi menembus saluran pernapasan manusia, memasuki aliran darah, dan merusak organ vital.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Partikel asap dalam kebakaran hutan dan lahan mengandung partikel beberapa kali lipat lebih berbahaya bagi kesehatan dibandingkan materi partikulat dari sumber lain seperti knalpot mobil. Bahaya ini terutama disumbangkan oleh partikel 2,5 mikron atau dikenal sebagai PM 2,5 yang dilepaskan selama kebakaran. PM 2,5 bisa menembus saluran pernafasan manusia, memasuki aliran darah, dan merusak organ vital.
Demikian kesimpulan studi para peneliti dari Scripps Institution of Oceanography dan Herbert Wertheim School of Public Health and Human Longevity Science di UC San Diego yang dipublikasikan di jurnal Nature Communications edisi 5 Maret 2021. Kajian dilakukan dengan memeriksa data pasien di rumah sakit selama 14 tahun.
Partikel-partikel yang disebut PM 2,5 merupakan komponen utama asap api dan dapat menembus saluran pernapasan manusia, memasuki aliran darah, dan merusak organ vital.
Kajian terutama difokuskan di California Selatan, mengungkapkan risiko partikel kecil di udara dengan diameter hingga 2,5 mikron, sekitar satu per 20 dari rambut manusia. Partikel-partikel yang disebut PM 2,5 merupakan komponen utama asap api dan dapat menembus saluran pernapasan manusia, memasuki aliran darah, dan merusak organ vital.
Peningkatan PM 2.5 sebesar 10 mikrogram per meter kubik yang dikaitkan dengan sumber selain asap kebakaran diperkirakan meningkatkan penerimaan rumah sakit terkait gejala sakit pernapasan sebesar 1 persen. Peningkatan yang sama, jika dikaitkan dengan asap kebakaran, menyebabkan peningkatan antara 1,3 hingga 10 persen dalam pasien dengan masalah pernapasan.
Penulis utama kajian ini Rosana Aguilera mengatakan, asumsi bahwa semua partikel dengan ukuran tertentu sama-sama beracun mungkin tidak akurat dan bahwa efek kebakaran hutan, bahkan di tempat yang jauh, bisa memicu masalah kesehatan lebih serius.
"Ada ambang batas harian untuk jumlah PM 2,5 di udara yang dianggap dapat diterima oleh suatu wilayah dan Badan Perlindungan Lingkungan (EPA)," kata Aguilera. Namun, standar ini tidak memperhitungkan sumber emisi PM 2.5 yang berbeda.
Sekalipun kajian ini menunjukkan data kuantitatif di level populasi, kajian ini belum bisa menyimpulkan mengapa kebakaran hutan PM 2.5 lebih berbahaya bagi manusia dibandingkan sumber polusi partikulat lainnya. Jika PM 2.5 dari kebakaran hutan lebih berbahaya bagi paru-paru manusia daripada polusi udara ambien, ambang batas untuk tingkat yang dianggap aman dari PM 2.5 harus mencerminkan sumber partikel, terutama selama musim kebakaran yang meluas.
Di California Selatan, angin Santa Ana menyebabkan kebakaran hutan paling parah dan cenderung meniupkan asap ke wilayah pesisir yang berpenduduk. Di sisi lain, perubahan iklim menunda datangnya musim hujan di kawasan itu, yang mendorong musim kebakaran lebih dekat ke puncak angin Santa Ana di awal musim dingin.
Selain itu, seiring pertumbuhan populasi di daerah perbatasan perkotaan dengan hutan, risiko kebakaran dan dampak kebakaran hutan dan asap meningkat bagi mereka yang tinggal di pedalaman dan di bawah angin.
Dampak perubahan iklim
Anggota tim peneliti, Tom Corringham menunjukkan implikasi terhadap perubahan iklim. "Ketika kondisi di California Selatan menjadi lebih panas dan kering, kami memperkirakan akan melihat peningkatan aktivitas kebakaran," ujarnya.
Studi ini menunjukkan bahaya akibat asap kebakaran mungkin lebih besar daripada yang diperkirakan sebelumnya, memperkuat argumen untuk sistem deteksi kebakaran hutan dini dan upaya mitigasi perubahan iklim.
Hasil kajian ini perlu mendapat perhatian bagi Indonesia yang setiap tahun mengalami dampak kebakaran hutan dan lahan. Kajian terpisah oleh peneliti dari Universitas Harvard dan Columbia, Amerika, yang dipublikasikan di jurnal Environmental Research Letters (2016) menyebut, setidaknya 90.000 orang di Indonesia mengalami kematian dini akibat kabut asap kebakaran hutan pada 2015. Sementara kematian dini di Singapura dan Malaysia akibat dampak kabut asap dari Indonesia 10.000 orang.