Meski kontribusi bank sampah dalam industri daur ulang masih rendah, perannya penting untuk mengedukasi warga akan pengelolaan sampah.
Oleh
PRADIPTA PANDU/SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Bank sampah berperan penting dalam pengelolaan sampah dari tingkat rumah tangga hingga komunitas. Keberadaannya selain turut membantu proses daur ulang yang membawa manfaat ekonomi maupun penghematan sumber daya alam, bank sampah berperan memberikan edukasi terkait pemilahan sampah.
Peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) 21 Februari 2021, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengusung tema sampah sebagai bahan baku ekonomi di masa pandemi. Ini untuk mendeseminasikan pengelolaan sampah yang membawa manfaat ekonomi seperti bank sampah, industri alat dan mesin pengolah sampah, komposting dan biogas, serta sirkular ekonomi lainnya.
“Maksud dan tujuan HPSN kali ini adalah memperkuat komitmen dan peran aktif pemerintah daerah dalam melaksanakan pengelolaan sampah dengan menjadikan sampah sebagai bahan baku ekonomi. Selain itu juga memperkuat partisipasi publik dalam upaya memilah sampah. Jadi kita perlu mendorong bank sampah terlebih dahulu,” ujar Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan Bahan Beracun dan Berbahaya (PSLB3) KLHK Rosa Vivien Ratnawati, Kamis (18/2/2021) di Jakarta.
Pengelolaan sampah juga menjadi salah satu sektor usaha yang dapat bertahan saat pandemi Covid-19. Bahkan, dalam laporan perekonomian Indonesia kuartal ketiga pada November 2020 dari Badan Pusat Statistik (BPS), sektor pengelolaan sampah dan limbah serta pengadaan air tumbuh positif hingga 6,04 persen.
Direktur Pengelolaan Sampah KLHK Novrizal Tahar mengatakan, konteks sampah menjadi bahan baku ekonomi merupakan komitmen besar pemerintah karena selama pandemi hampir semua sektor mengalami penurunan produk domestik bruto (PDB). Sampah di Indonesia yang mayoritas organik ini bisa dijadikan produk biomassa, maggot (larva pengurai sampah), pupuk cair, maupun pupuk padat.
“Saat ini, pakan ternak kita komponen terbesarnya adalah protein dari kedelai dan masih impor. Jika pengolahan sampah organik ini bisa kita masifkan, kebutuhan protein bisa diisi dari maggot dan dapat membangkitkan pertumbuhan ekonomi dalam negeri sekaligus menyelesaikan persoalan sampah,” katanya.
Direktur Sustainable Waste Indonesia (SWI) Dini Trisyanti mengatakan, berdasarkan kajian pada tahun 2019, kapasitas daur ulang plastik pascakonsumsi mencapai 421.000 ton per tahun. Kontribusi daur ulang plastik terbesar berasal dari pemulung (84,3 persen), tempat pembuangan sampah terpadu/pusat daur ulang (13 persen), dan bank sampah (2,7 persen).
“Kapasitas daur ulang dari bank sampah mungkin memang yang terkecil dari segi kuantitas, tetapi kualitasnya paling baik dibandingkan lainnya. Nilai bank sampah juga tidak hanya dari tonase sampah yang terkumpul, tetapi juga bagaimana perubahan perilaku yang membuat nilai pengumpulan sampah ini menjadi tinggi,” katanya.
Kami juga ingin 100 persen menggunakan kemasan plastik yang dapat didaur ulang. (Nurdiana Darus)
Komposisi sampah plastik di bank sampah terbanyak yaitu botol plastik (68,73 persen), gelas plastik (15,22 persen), plastik non-botol (9,62 persen), dan kantong plastik (6,43 persen). Sementara daerah dengan pengumpulan plastik oleh bank sampah terbanyak berada di Jawa Timur yang mencapai lebih dari 100 ton per bulan dan Jawa Tengah 50-100 ton per bulan.
Dini menambahkan, dari hasil kajian tersebut dapat disimpulkan masih adanya tantangan daur ulang sampah pascakonsumsi. Tantangan yang perlu diatasi ialah terkait persebaran industri daur ulang yang belum merata, peningkatan kuantitas dan kualitas sistem pengumpulan sampah daur ulang, serta masih adanya ketidaksesuaian pengumpulan sampah dengan kebutuhan pabrik.
Kontribusi produsen
Pengelolaan dan pengurangan sampah pun membutuhkan kontribusi aktif produsen, termasuk perusahaan makanan/minuman maupun barang kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Upaya itu bisa dengan mendesain ulang kemasan produk, menggunakan plastik daur ulang, dan berkolaborasi dengan industri daur ulang.
Director of Public Affairs Communications and Sustainability PT Coca-Cola Indonesia Triyono Prijosoesilo mengatakan, kemasan Sprite yang semula botol plastik hijau diganti menjadi bening. Plastik bening lebih mudah didaur ulang dibandingkan plastik berwarna.
”Sejak 1971, Sprite ikonik dengan botol hijau. Kami pikir ini waktu yang tepat untuk bertransformasi. Sebagai produsen, kami mendorong praktik pengolahan sampah berkelanjutan,” kata Triyono
Botol lama dan baru sama-sama menggunakan plastik polyethylene terephthalate (PET). Plastik ini digunakan karena ringan, dapat menjaga kualitas produk, mudah dibentuk, dan mudah didaur ulang.
Adapun plastik PET bening punya nilai jual cukup tinggi di industri daur ulang. Sebab, plastik bening mudah dikonversi berkali-kali menjadi botol daur ulang maupun produk lain.
Adaptasi desain kemasan produk juga dilakukan Unilever untuk mengurangi plastik. Menurut Head of Corporate Affairs and Sustainability PT Unilever Indonesia Tbk Nurdiana Darus, adaptasi itu seperti menipiskan plastik kemasan dan memendekkan botol.
Plastik daur ulang pun digunakan untuk membuat kemasan. Selain itu, Unilever juga menyediakan stasiun isi ulang untuk sejumlah produk di sebuah toko di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan. Konsumen bisa membawa wadah sendiri untuk mengurangi sampah.
”Hingga 2025, kami mau mengurangi penggunaan virgin plastic (bahan plastik yang belum pernah diolah) sampai dengan 100.000 ton. Kami juga ingin 100 persen menggunakan kemasan plastik yang dapat didaur ulang,” ujar Nurdiana.
Menurut dia, komitmen produsen dalam penggunaan plastik daur ulang bisa menaikkan nilai tawar sampah plastik. Ini mendorong pertumbuhan industri pengolahan sampah.
Nurdiana mengatkaan, pihaknya telah bekerja sama dengan hampir 4.000 bank sampah di seluruh Indonesia. Adapun sampah yang dapat dikumpulkan selama pandemi sebanyak 13.000 ton. (MTK/SKA)