Pemerintah masih mengkaji kemungkinan kebijakan untuk mendaur ulang sampah medis, termasuk masker bekas sekali pakai. Potensi infeksius maupun dampak lingkungan menjadi pertimbangan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Selain dimusnahkan menggunakkan insinerator, pengelolaan limbah medis khususnya masker sekali pakai juga dapat didaur ulang. Namun, kebijakan untuk mendaur ulang masker sekali pakai ini masih dikaji dari aspek kesehatan maupun lingkungan.
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan Bahan Beracun dan Berbahaya (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati menyampaikan, limbah medis termasuk masker masuk dalam kategori limbah B3 sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3.
“Pengelolaan limbah yang mengandung infeksius dan bakteri ini dilakukan dengan cara dimusnahkan di insinerator dengan suhu 800 derajat celcius. Dalam hal ini sudah dikeluarkan surat edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun lalu terkait dengan penanganannya,” ujarnya dalam konferensi pers secara daring di Jakarta, Kamis (18/2/2021).
Ketentuan PP 101/2014 menyebutkan, penggunaan insinerator untuk pemusnahan limbah medis wajib berizin. Namun, Vivien menyatakan, dalam kondisi darurat selama pandemi, limbah medis dimungkinkan untuk dimusnahkan oleh insinerator yang belum berizin. Akan tetapi, insinerator tersebut wajib diperiksa terlebih dahulu oleh dinas lingkungan hidup setempat sebelum digunakan.
Terkait dengan pengelolaan limbah medis khususnya masker sekali pakai yang dapat didaur ulang, kata Vivien, pihaknya telah berkoordinasi dan mendapat kajian dari peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Meski demikian, KLHK belum memutuskan untuk membuat kebijakan terkait daur ulang masker sekali pakai karena hal ini masih diteliti dan dikaji lebih lanjut. Dalam menentukan kebijakan daur ulang limbah medis ini, KLHK perlu melihat sejumlah referensi baik dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) maupun akademisi atau pihak lainnya.
“Kami belum memutuskan bahwa limbah masker sekali pakai bisa didaur ulang. Sampai saat ini, Kementerian Kesehatan dan KLHK masih menggunakan peraturan bahwa masker sekali pakai harus dibuang dengan cara dibersihkan atau dicuci dengan sabun, dipotong-potong, dan dibungkus dengan kertas,” tuturnya.
Peneliti dari LIPI mendorong agar masker sekali pakai dapat didaur ulang untuk mengatasi permasalahan lingkungan dan kesehatan. Peneliti LIPI memandang, memusnahkan masker di insinerator akan membuat nilai suatu material menjadi hilang. Loka Penelitian Teknologi Bersih (LPTB) LIPI juga telah melakukan uji coba daur ulang masker sekali pakai. (Kompas, 17/2/2021)
Proses yang dilakukan dalam daur ulang tersebut di antaranya dengan sterilisasi, pengeringan, pemotongan, serta ekstrusi atau pencampuran dan pembentukan komponen baru. Setelah bahan dimasukan ke mesin ekstruder, maka akan didapat biji plastik daur ulang dan dicetak untuk dijadikan produk plastik daur ulang yang baru.
Meningkatkan ekonomi
Dalam peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) yang jatuh pada 21 Februari 2021, KLHK mengusung tema sampah sebagai bahan baku ekonomi di masa pandemi Covid-19. Tema ini diusung untuk mendeseminasikan terkait pengelolaan sampah menjadi sesuatu yang bersifat ekonomi, seperti bank sampah, industri alat dan mesin pengolah sampah, komposting dan biogas, serta kegiatan sirkular ekonomi lainnya.
“Maksud dan tujuan HPSN kali ini adalah memperkuat komitmen dan peran aktif pemerintah daerah dalam melaksanakan pengelolaan sampah dengan menjadikan sampah sebagai bahan baku ekonomi. Selain itu juga memperkuat partisipasi publik dalam upaya memilah sampah. Jadi kita perlu mendorong bank sampah terlebih dahulu,” ujar Vivien.
Pengelolaan sampah juga menjadi salah satu sektor usaha yang dapat bertahan saat pandemi. Bahkan, dalam laporan perekonomian Indonesia kuartal ketiga pada November 2020 dari Badan Pusat Statistik (BPS), sektor pengelolaan sampah dan limbah serta pengadaan air tumbuh positif hingga 6,04 persen.
Direktur Pengelolaan Sampah KLHK Novrizal Tahar mengatakan, konteks sampah menjadi bahan baku ekonomi merupakan suatu komitmen besar dari pemerintah karena selama pandemi hampir semua sektor mengalami penurunan produk domestik bruto (PDB). Sampah di Indonesia yang mayoritas organik ini bisa dijadikan produk biomassa, maggot (larva pengurai sampah), pupuk cair, maupun pupuk padat.
“Saat ini, pakan ternak kita komponen terbesarnya adalah protein dari kedelai dan masih impor. Jika pengolahan sampah organik ini bisa kita masifkan, kebutuhan protein bisa diisi dari maggot dan dapat membangkitkan pertumbuhan ekonomi dalam negeri sekaligus menyelesaikan persoalan sampah,” katanya.
Nilai bank sampah juga tidak hanya dari tonase sampah yang terkumpul, tetapi juga bagaimana perubahan perilaku yang membuat nilai pengumpulan sampah ini menjadi tinggi. (Dini Trisyanti)
Direktur Sustainable Waste Indonesia (SWI) Dini Trisyanti mengatakan, berdasarkan kajian pada tahun 2019, kapasitas daur ulang plastik pascakonsumsi mencapai 421.000 ton per tahun. Kapasitas daur ulang plastik terbesar berasal dari pemulung (84,3 persen), tempat pembuangan sampah terpadu/pusat daur ulang (13 persen), dan bank sampah (2,7 persen).
“Kapasitas daur ulang dari bank sampah mungkin memang yang terkecil dari segi kuantitas, tetapi kualitasnya paling baik dibandingkan lainnya. Nilai bank sampah juga tidak hanya dari tonase sampah yang terkumpul, tetapi juga bagaimana perubahan perilaku yang membuat nilai pengumpulan sampah ini menjadi tinggi,” katanya.
Komposisi sampah plastik di bank sampah terbanyak yaitu botol plastik (68,73 persen), gelas plastik (15,22 persen), plastik non-botol (9,62 persen), dan kantong plastik (6,43 persen). Sementara daerah dengan pengumpulan plastik oleh bank sampah terbanyak berada di Jawa Timur yang mencapai lebih dari 100 ton per bulan dan Jawa Tengah dengan 50-100 ton per bulan.
Dini menambahkan, dari hasil kajian tersebut dapat disimpulkan masih adanya tantangan daur ulang sampah pascakonsumsi. Tantangan yang perlu diatasi ialah terkait persebaran industri daur ulang yang belum merata, peningkatan kuantitas dan kualitas sistem pengumpulan sampah daur ulang, serta masih adanya ketidaksesuaian pengumpulan sampah dengan kebutuhan pabrik.