Pengembangan panas bumi di Indonesia terus digenjot. Namun, pemanfaatan sumber energi baru terbarukan ini mesti memperhatikan dampaknya bagi lingkungan dan keselamatan masyarakat.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Teknik eksplorasi dalam proyek panas bumi atau geothermal di sejumlah wilayah dinilai masih buruk dan tidak memperhatikan dampak bagi lingkungan ataupun masyarakat. Kejadian munculnya semburan gas pada proyek panas bumi di Mandailing Natal, Sumatera Utara, pekan lalu, menjadi momentum untuk mengevaluasi kegiatan tersebut.
Koordinator Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (Kruha) Muhammad Reza menyampaikan, kegiatan eksplorasi panas bumi di sejumlah wilayah berbahaya bagi lingkungan dan masyarakat sekitar. Sebab, sumber panas bumi di Indonesia mayoritas berada di jalur cincin api sehingga eksplorasi di satu titik dapat berpengaruh ke titik lainnya.
Kondisi tersebut membuat eksplorasi panas bumi perlu memperhatikan dan menganalisis secara cermat risiko bencana, khususnya gempa bumi. Namun, belum ada peneliti atau pihak yang secara jelas menyampaikan analisis dampak eksplorasi panas bumi di Indonesia yang dipenuhi dengan patahan aktif dan dilalui jalur pertemuan tiga lempeng tektonik.
”Lingkaran geothermal di wilayah vulkanik berada di daerah rawan bencana dan sekarang terjadi pembongkaran semata-mata untuk kepentingan mencari aset baru finansial. Bahkan, ada upaya memetakan geotermal di luar jaringan cincin api, seperti Kalimantan,” ujarnya dalam diskusi daring, Senin (1/2/2021).
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah menyampaikan, saat ini tidak ada lagi perlindungan terhadap lingkungan dan masyarakat dari dampak buruk eksplorasi panas bumi. Hal ini ditegaskan dari ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang menyatakan proyek panas bumi dapat dilakukan pada lintas wilayah provinsi, termasuk kawasan hutan dan konservasi di darat ataupun perairan.
Lingkaran geothermal di wilayah vulkanik berada di daerah rawan bencana dan sekarang terjadi pembongkaran semata-mata untuk kepentingan mencari aset baru finansial.
Selain itu, ke depan masyarakat tidak memiliki hak untuk menolak proyek panas bumi sesuai pengubahan Pasal 43 UU No 21/2014 tentang Panas Bumi oleh UU Cipta Kerja. Ketentuan itu menyebut, pemakai tanah wajib mengizinkan pemegang perizinan untuk melaksanakan pengusahaan panas bumi di atas tanah yang bersangkutan.
”Kejadian kelalaian dalam proyek panas bumi hingga berdampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat harus menjadi momentum untuk membatalkan izin industri ini di sejumlah wilayah,” ujarnya.
Salah satu kejadian kelalaian saat eksplorasi proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi hingga memicu semburan gas terjadi di Desa Sibanggor Julu, Kecamatan Puncak Sorik Marapi, Mandailing Natal, Sumatera Utara, Senin (25/1). Kejadian itu diduga menyebabkan lima warga sekitar tewas dan puluhan lainnya dirawat di rumah sakit akibat keracunan karena menghirup semburan gas.
Membuka laporan
Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Era Purnamasari menegaskan, kejadian semburan gas di Mandailing Natal menggenapkan fakta bahwa selama ini ada upaya dari negara dan pihak lainnya untuk menempatkan masyarakat pada posisi bahaya. ”Negara melanggar hak hidup secara masif dengan merampas sumber penghidupan masyarakat,” ujarnya.
Era menyatakan, dalam proses sengketa informasi yang diajukan YLBHI, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) dan pihak perusahaan selalu menyatakan panas bumi merupakan proyek energi terbarukan dan tidak menimbulkan dampak karena yang diambil hanya uapnya. Akan tetapi, realita di lapangan menunjukkan adanya dampak buruk proyek panas bumi.
”Adanya perbedaan antara argumentasi KESDM dan realitas di lapangan membuat laporan evaluasi yang dilakukan KESDM terhadap proyek panas bumi yang bermasalah ini perlu disampaikan ke publik,” katanya.
Meski demikian, kata Era, saat dimintai laporan tersebut, KESDM selalu menjawab evaluasi terkait dampak lingkungan bukan kewenangan KESDM, melainkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Padahal, dalam logika hukum administrasi, pihak yang mengeluarkan izin panas bumi seharusnya memiliki kewenangan dan tanggung jawab melakukan evaluasi.
”Saat ini sudah ada putusan informasi yang menyatakan bahwa laporan hasil evaluasi KESDM sebagai bentuk kewajiban pengawasan izin, terutama di wilayah panas bumi yang menimbulkan dampak lapangan, adalah data terbuka. Kita harus mendesak eksekusi dari putusan ini sehingga kita bisa membaca hasil evaluasinya,” tuturnya.