Rangkaian Banjir dan Longsor Tunjukkan Urgensi Penyelamatan Lingkungan
Rangkaian bencana banjir dan longsor cukup menjadi bukti rusaknya lingkungan akibat kesalahan tata kelola pemanfaatan lahan dan hutan. Evaluasi dan penyelamatan lingkungan menjadi sangat penting untuk dijalankan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rangkaian bencana banjir dan tanah longsor pada awal tahun 2021 menegaskan adanya alih fungsi lahan tak terkontrol yang menyebabkan menurunnya daya dukung dan daya tampung lingkungan. Pemerintah kembali didesak untuk mengagendakan penyelamatan lingkungan hidup secara masif dengan melihat luasan wilayah yang terkena bencana ekologis awal tahun ini.
Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas mengemukakan, bencana yang saat ini tengah terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia, khususnya Kalimantan Selatan, terjadi akibat akumulasi kerusakan hutan dan deforestasi. Perubahan fungsi kawasan hutan ini didorong oleh permintaan kayu global, perluasan industri sawit dan karet, pertumbuhan pertanian skala kecil, serta kebakaran hutan yang terus berulang.
”Dari pertengahan tahun 1970-an hingga 1990-an, setidaknya setengah dari total ekspor kayu keras tropis dunia berasal dari Kalimantan. Begitu juga dengan produksi cadangan batubara terbesar berada di Kalimantan untuk kebutuhan ekspor dan suplai PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) batubara,” ujarnya dalam diskusi daring bertajuk ”Dosa Oligarki Derita Rakyat”, Jumat (29/1/2021).
Kalau negara masih membenarkan apa yang dilakukan saat ini, transformasi ekonomi hijau hanya akan menjadi jargon. (Nur Hidayati)
Berdasarkan analisis Greenpeace, tutupan hutan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito pada 2019 hanya seluas 3,5 juta hektar atau tersisa 49 persen. Sementara total wilayah konsesi untuk pertambangan dan sawit di wilayah DAS Barito telah mencapai 53 persen.
Selain Greenpeace, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) juga menganalisis perubahan penutupan lahan di DAS Barito selama 10 tahun terakhir atau 2010-2020. Hasil analisis menunjukkan bahwa selama periode tersebut terdapat penurunan luas hutan primer, sekunder, sawah, dan semak belukar di Kalsel.
Penurunan luas hutan primer tercatat 13.000 hektar, hutan sekunder 116.000 hektar, sawah 146.000 hektar, dan semak belukar 47.000 hektar. Di samping penurunan luas hutan, terdapat peningkatan area perkebunan seluas 219.000 hektar.
Selain di Kalsel, pada awal Januari 2021 ini, banjir juga melanda Manado di Sulawesi Utara, Aceh, Puncak di Bogor (Jawa Barat), serta sejumlah daerah lain. Belum lagi longsor di Sumedang yang keseluruhan bencana ini merenggut nyawa dan kerugian masyarakat.
Peneliti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Siti Rakhma Mary, mengatakan, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pada 2020 telah memprediksi akan adanya cuaca ekstrem dan puncak musim hujan pada bulan Januari-Februari 2021. Namun, prediksi tersebut tidak diantisipasi dengan baik oleh pemerintah.
Menurut Rakhma, faktor alam tidak dapat dijadikan pembelaan, apalagi faktor tunggal penyebab bencana jika perubahan cuaca sudah dapat diprediksi. Faktor alam juga sulit dijadikan pembelaan jika telah terjadi alih fungsi ekosistem. Narasi faktor alam penyebab bencana mungkin bisa disampaikan jika ekosistem tersebut minim intervensi industri ekstraktif.
Ia pun mendorong agar izin-izin bagi korporasi yang menyebabkan banjir segera ditinjau ulang seiring dengan melakukan penegakan hukum administrasi. Selain itu, pemerintah juga perlu mengagendakan penyelamatan lingkungan hidup secara masif dengan melihat luasan wilayah yang terkena bencana ekologis awal tahun ini.
Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayati menyampaikan, menurut laporan Walhi yang diolah dari berbagai sumber, sekitar 60 persen daratan di Indonesia sudah dialokasikan atau dikuasai untuk izin-izin korporasi. Sementara masyarakat yang sudah turun-temurun tinggal di wilayahnya sering kali diusir karena dianggap tidak memiliki izin.
Melihat kondisi kerusakan lingkungan saat ini, dia memandang sangat memungkinkan untuk membuat pembangunan beralih dari industri ekstraktif ke industri yang lebih ramah lingkungan. Membuka hutan secara besar-besaran dan monokultur juga bukan budaya masyarakat lokal, khususnya di Kalimantan.
”Sebelum beralih ke industri yang lebih ramah lingkungan, harus ada pengakuan dari negara bahwa model pembangunan saat ini salah. Kalau negara masih membenarkan apa yang dilakukan saat ini, transformasi ekonomi hijau hanya akan menjadi jargon,” ujarnya.