Revisi Undang-Undang Konservasi di Masa Pandemi Covid-19
Perubahan UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya kembali menjadi Prolegnas Prioritas saat ini. Momen pandemi Covid-19 sangat terkait akan arti penting perlindungan bagi keanekaragaman hayati di Indonesia.
Rapat Kerja DPR, pemerintah, dan DPD, 14 Januari 2021, kembali memberikan harapan angin segar bagi perlindungan keanekaragaman hayati dan ekosistem di Indonesia. Satu dari 33 rancangan undang-undang yang menjadi Program Legislasi Nasional Prioritas 2021 menempatkan perubahan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 sebagai usulan DPR.
Pembahasan untuk merevisi UU tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya ini telah lama dinanti. UU Konservasi itu telah berusia lebih dari 30 tahun. Sebuah undang-undang ”teknis” yang tak lagi mumpuni mengikuti perkembangan zaman di tengah isu kejahatan tumbuhan dan satwa liar yang terus bertransformasi.
Tidak saja dari sisi sanksi denda ataupun ancaman penjara yang relatif masih rendah—karena disusun dalam konteks masa 30 tahun lalu—substansi pengaturannya pun dinilai banyak pihak tak lagi andal. Misalnya, bagaimana perundangan ini bisa mengakomodasi kejahatan tumbuhan dan satwa liar secara genetika. Lalu, bagaimana UU Konservasi bisa berperan melindungi plasma nutfah dari kejahatan biopiracy?
Keanekaragaman hayati menjadi penghalang dan benteng penting bagi manusia untuk mencegah penyakit menular yang bisa berdampak sangat besar ini.
Di sisi lain, Indonesia juga telah meratifikasi Protokol Nagoya melalui UU Nomor 11 tahun 2013, yang perlu dijabarkan dan diatur lebih lanjut agar terharmoni dalam UU Konservasi ini. Perjanjian internasional ini mengatur akses pada sumber daya genetika dan pembagian keuntungan yang adil dari pemanfaatannya atas Konvensi Keragaman Hayati.
Protokol itu memberi ruang pemanfaatan adil dan pemberian informasi awal akan pemanfaatan keanekaragaman hayati bagi masyarakat. Ini agar pembagian keuntungan terhadap pemanfaatan sumber daya genetika dan pengetahuan tradisional, termasuk pemanfaatan produk turunannya, juga dirasakan masyarakat.
Tujuan lain protokol ini adalah mencegah pencurian sumber daya genetika atau biopiracy. Pencurian kini bukanlah sekadar menggotong harimau sumatera atau rangkong gading ke luar negeri yang konvensional itu.
Baca juga: Mengerem Bumi yang Menuju Kehilangan Keanekaragaman Hayati
Pencurian keanekaragaman hayati modern yang relatif lebih mudah dan hasil lebih tinggi itu berupa mengambil mikroorganisme dan keragaman genetika, serta zat aktif dari pemanfaatan tumbuhan dan satwa. Barang-barang ini kemudian diolah menjadi produk pangan, kosmetik, dan farmasi yang bernilai sangat tinggi.
Pandemi Covid-19
Perlindungan sumber daya alam, baik spesies, populasi, maupun ekosistemnya, tak lagi bisa dikesampingkan dalam pembangunan yang berkelanjutan. Pandemi Covid-19 telah membuktikan bahwa ketika alam tercederai, alam pula yang akan bergerak memukul balik tiada ampun. Pembangunan selama bertahun-tahun, baik ekonomi, pendidikan, maupun kesehatan, dibuat luluh lantak dan mundur kembali oleh SARS-CoV-2, penyebab Covid-19.
Kejadian ini bukan hal baru. Setidaknya, pada tahun 2006 atau 14 tahun sebelum pandemi, kajian Jean Charles Maillard dan Jean Paul Gonzales telah memperingatkannya.
Keanekaragaman hayati memiliki pengaruh terhadap keseimbangan alami keanekaragaman hayati global, khususnya dalam mengurangi kemampuan spesies untuk beradaptasi dengan cepat melalui mutasi genetik. ”Dengan kata lain, keanekaragaman hayati menjadi penghalang dan benteng penting bagi manusia untuk mencegah penyakit menular yang bisa berdampak sangat besar ini,” bunyi kajian mereka.
Selanjutnya studi Dirk S Schmeller dan kawan-kawan pada Agustus 2020 di Biodiversity and Conservation menyebutkan, keragaman penyakit menular berkorelasi positif dengan keragaman jenis burung dan mamalia. Di sisi lain, jumlah wabah penyakit zoonosis berkorelasi positif dengan jumlah mamalia dan spesies burung yang terancam serta jumlah yang ditularkan melalui vektor. Wabah penyakit pun berkorelasi negatif dengan tutupan hutan.
Lebih mudahnya, semakin suatu negara kaya akan keanekaragaman hayati, maka negara tersebut semakin rentan terkena wabah penyakit menular. Ini karena, menurut sejumlah penelitian, keanekaragaman hayati spesies itu juga diikuti keanekaragaman jenis mikroorganisme (baik virus, bakteri, maupun jamur) yang menghinggapinya.
Laporan Laporan Panel Ilmiah untuk Keanekaragaman Hayati PBB (IPBES) yang dirilis Oktober 2020 menyatakan hubungan yang jelas antara pandemi kesehatan global dan keanekaragaman hayati serta krisis iklim yang dialami umat manusia saat ini. Akar penyebabnya jelas, yaitu aktivitas manusia, seperti perubahan penggunaan lahan, perluasan dan intensifikasi pertanian, perdagangan dan konsumsi satwa liar, serta gangguan ekosistem, telah mendorong kedekatan antara manusia dan satwa liar serta ternak dan manusia.
Baca juga: Perubahan Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Hayati Dibahas Lagi
Virus SARS-CoV-2 telah teruji berasal dari inang satwa liar yang beradaptasi dan menemukan inang baru pada manusia. Satwa liar itu tentu buruan di alam yang dibawa masuk ke lingkungan manusia. Contoh penyakit lain yang disebabkan virus dari fauna dan hampir saja menjadi pandemi lain adalah ebola.
Sejumlah pakar pun meyakini bahwa virus korona baru ini hanya secuil dari sangat banyak virus yang bisa menghinggapi dan membuat penyakit pada manusia. Apabila manusia terus merangsek ke habitat mereka, itu akan mempercepat dan membuka kesempatan bagi virus itu untuk menempel pada manusia.
IPBES pun memperingatkan bahwa pandemi di masa depan bisa lebih sering muncul, menyebar lebih cepat, dan menimbulkan kerugian, serta membunuh lebih banyak orang daripada Covid-19. Kecuali, dunia bersama-sama memutuskan untuk melakukan perubahan transformatif untuk memitigasinya.
Indonesia yang dikenal sebagai gudangnya keanekaragaman hayati tumbuhan dan satwa liar memiliki potensi itu. Riset menunjukkan bahwa semakin banyak jenis tumbuhan dan satwa, jenis virus, dan mikroorganisme lain, akan semakin banyak yang menghinggapi.
Dengan demikian, posisi Indonesia untuk bisa mencegah berulangnya pandemi berikutnya sangatlah strategis. Ketukan palu DPR yang mengesahkan usulan perubahan UU Konservasi dalam program prioritas legislasi nasional 2021 menjadi harapan baru dalam proyeksi yang lebih luas itu.
Pembahasan perubahan UU Konservasi agar tidak hanya berhenti di tengah jalan seperti terjadi pada tahun 2019 saat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menyatakan UU No 5 Tahun 1990 masih relevan dan bisa berbuntut pada banyaknya PP yang akan disusun (Kompas, 5 April 2018).
Baca juga: Menjaga Hutan Lestari Mencegah Penyakit Menular
Padahal, dalam sejumlah kesempatan, diakui para pemakai UU ini seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, UU No 5/1990 tak lagi sakti untuk menjerat pelaku kejahatan hingga jera. Penegakan hukum kerap terbentur akibat uzurnya UU ini. Dimisalkan Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL), transaksi perdagangan ilegal tumbuhan dan satwa liar melalui daring, terutama media sosial (Kompas, 16 Januari 2021).
UU Konservasi yang banyak digunakan untuk menjerat kejahatan satwa liar pun dinilai belum memuat hukuman pidana yang memberikan efek jera bagi pelaku. Dalam UU Konservasi, pelaku kejahatan tumbuhan dan satwa liar hanya dipidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp 100 juta. UU itu juga tidak bisa menjerat korporasi atau lembaga. Ini karena UU tersebut tidak mengatur tindak pidana untuk korporasi.
Dalam berbagai kesempatan, KLHK sejak awal-awal terbentuk dari penggabungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan selalu bersuara bahwa kejahatan TSL merupakan kejahatan serius atau extraordinary crime yang bisa disetarakan dengan kejahatan terorisme, narkotika, dan perdagangan manusia. Kejahatan tumbuhan dan satwa liar ini sama-sama sistematis, terorganisir, dan terstruktur yang membutuhkan pendekatan penegakan hukum yang selayaknya extraordinary.
Penegakan hukum bagi perlindungan keanekaragaman hayati ini membutuhkan dasar perundangan yang kuat. DPR telah memberi harapan akan perundangan ini lagi. Momen pandemi Covid-19, yang sangat erat kaitannya dengan keanekaragaman hayati, seharusnya membuat DPR dan pemerintah tak lagi ragu membahas perubahan UU Konservasi ini.
Tentu pembahasan di masa pandemi ini selain mempertimbangkan faktor penularan, juga memperkuat prosesnya agar transparan, terbuka, dan melibatkan partisipasi publik secara aktif.