Tak Ada Batas Maksimum Penguasaan Lahan, Ketimpangan Sulit Teratasi
Ketimpangan penguasaan tanah antara masyarakat dan korporasi atau badan hukum perlu dikendalikan. Pemerintah agar membuat dan menerbitkan regulasi yang mengatur teknis batasan maksimum penguasaan tanah.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketimpangan penguasaan hak atas tanah antara masyarakat dan badan hukum masih menjadi permasalahan sehingga terus memunculkan konflik terkait dengan pertanahan. Pemerintah terus didorong untuk segera membuat dan menerbitkan regulasi yang mengatur secara teknis tentang penetapan batas maksimum penguasaan hak atas tanah oleh badan hukum.
Guru Besar Fakultas Hukum UGM Maria SW Sumardjono menjelaskan, penetapan batas maksimum penguasaan hak atas tanah oleh badan hukum perlu dilakukan. Itu karena Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 memberi dasar tujuan pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah ini demi tercapainya tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
”Pembatasan ini merupakan bentuk intervensi. Hal ini tidak salah karena ada hak menguasai negara dalam Pasal 33 Ayat 3. Kewenangan negara ketika terjadi ketimpangan adalah melakukan intervensi untuk memperkecil ketimpangan ini,” ujarnya dalam diskusi daring bertajuk “Memperkarakan Ketimpangan Penguasaan Tanah”, Kamis (7/1/2021).
Menurut Maria, amanat terkait dengan pembatasan pemilikan dan penguasaan hak atas tanah oleh satu keluarga atau badan hukum sebenarnya telah tertuang dalam Pasal 17 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA). Adapun aturan teknis terkait pembatasan untuk satu keluarga terkait dengan tanah pertanian juga telah diatur dalam sejumlah undang-undang.
Meski demikian, aturan teknis itu hanya ditujukan untuk keluarga atau masyarakat. Sementara pembatasan penguasaan tanah, baik untuk hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), maupun hak pakai (HP), oleh badan hukum sampai saat ini belum diatur.
Maria menegaskan, upaya membentuk aturan penetapan batas maksimum penguasaan hak atas tanah oleh badan hukum sebenarnya telah dilakukan pada 2013 lalu. Saat itu, ia dan dua akademisi lain diminta DPR untuk menyusun Rancangan Undang-Undang Pertanahan (RUUP).
Dalam RUUP versi 2013 itu dirumuskan bahwa batas maksimum ditetapkan dengan luas yang dapat menjamin pemerataan penguasaan dan pemilikan tanah. Adapun pembatasan didasarkan pada jumlah penduduk, luas daerah, dan ketersediaan kawasan budidaya di setiap kabupaten/kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Akan tetapi, ketentuan yang dirumuskan Maria tersebut diubah pada pembahasan tahun 2018 dan 2019. Perubahan itu membuat pembatasan dikecualikan dengan pertimbangan skala ekonomi, partisipasi masyarakat, dan kepentingan strategis nasional.
Penguasaan tanah oleh badan hukum hingga melebihi batas maksimum juga tetap dimungkinkan asalkan bersedia membayar pajak progresif. Namun, hingga kini pembahasan RUUP masih ditunda.
Amdal memengaruhi
Praktisi dan peneliti Kebijakan Pertanahan asal Papua, Nicolas Wanenda, menilai, analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) merupakan salah satu hal yang sangat memengaruhi penguasaan tanah yang berlebihan. Sebab, dalam proses penyusunan amdal, pengusaha akan terus mengupayakan semua hal hingga akhirnya dapat memperoleh izin lingkungan ataupun lokasi yang dikeluarkan pemerintah daerah.
”Oleh para pengusaha, izin lingkungan atau lokasi yang dikeluarkan ini dianggap sebagai hak penguasaan. Bahkan, izin lokasi sering dipakai untuk berinvestasi dan dijadikan jaminan oleh para pengusaha. Inilah yang memperkeruh hak penguasaan tanah,” tuturnya.
Selain itu, ia juga memandang bahwa kelebihan penguasaan tanah ini, khususnya yang ada di Papua, kerap ditelantarkan oleh pengusaha. Hal tersebut disebabkan lemahnya pengawasan ataupun penegakan hukum. Oleh karena itu, masalah tanah yang ditelantarkan ini juga perlu diidentifikasi dan dituangkan dalam RUUP.
Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Malamoi Silas Kalami mengatakan, saat ini Pemerintah Kabupaten Sorong, Papua Barat, sudah memiliki peraturan daerah yang memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat adat, tak terkecuali mengenai penguasaan tanah. Namun, penetapan pengakuan hak tanah tersebut belum mencakup hingga marga setiap suku.
”Pengakuan tanah di Sorong banyak sekali permasalahan. Sementara untuk mendapatkan pengakuan ini, setiap marga harus menyepakati terlebih dulu batas tanah, membuat peta, dan menggali sejarahnya. Baru setelah itu dibawa ke sidang adat dan diusulkan ke bupati untuk mendapatkan surat keputusan,” katanya.