Keberlanjutan Desa Peduli Gambut Perlu Memuat Resolusi Konflik
Isu konflik lahan agar dipertegas dalam program desa peduli gambut atau desa mandiri peduli gambut. Ini supaya pencegahan kebakaran dan perlindungan gambut bisa optimal dijalankan di masa mendatang.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Program desa peduli gambut atau desa mandiri peduli gambut akan dilanjutkan sebagai upaya restorasi dan pengelolaan gambut yang berkelanjutan dengan melibatkan masyarakat di tingkat tapak. Hal ini perlu diikuti dengan penegasan akan isu resolusi konflik dalam mengatasi kebakaran hutan dan lahan.
Antropolog dari Universitas Indonesia Suraya Afiff menyampaikan, restorasi gambut yang menjadi program pemerintah bukan hanya masalah teknis seperti mengatasi konversi lahan serta kebakaran hutan dan lahan. Akan tetapi, restorasi gambut yang dilakukan memiliki aspek keadilan dan kesejahteraan masyarakat di sekitar lokasi.
“Ini yang menyebabkan BRG (Badan Restorasi Gambut) memiliki program desa peduli gambut. Di satu sisi desa itu punya peran dan yang paling penting desa perlu sejahtera karena kerusakan dan kebakaran adalah penyebab kemiskinan. Oleh sebab itu, program desa peduli gambut adalah program unggulan dan harusnya menjadi bagian sentral dari kerja-kerja BRG,” ujarnya dalam diskusi daring bertajuk “Meneruskan Peta Jalan Restorasi Gambut Paska 2020”, Selasa (8/12/2020).
BRG mencatat, sampai saat ini program desa peduli gambut (DPG) telah dibentuk di 625 desa yang tersebar di tujuh provinsi yang menjadi target restorasi gambut. Program DPG merupakan pendekatan terpadu melalui implementasi pembangunan perdesaan partisipatif, pengelolaan gambut, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitar lahan gambut yang lebih berkelanjutan.
Meski masa kerja BRG akan berakhir akhir tahun ini sesuai Peraturan Presiden Nomor 1 tahun 2016 tentang Pembentukan BRG, pemerintah menyatakan akan meneruskan sejumlah program restorasi gambut. Penguatan upaya restorasi gambut ini dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (2020-2024).
Dalam RPJMN tersebut, agenda restorasi gambut dilanjutkan dengan melakukan program desa mandiri peduli gambut (DMPG) sebanyak 375 desa di tujuh provinsi prioritas restorasi gambut saat ini. Selain itu juga akan dilakukan di 300 desa di 12 provinsi lainnya yang akan dijadikan sebagai areal tambahan prioritas restorasi lima tahun ke depan.
Menurut Suraya, terdapat isu-isu penting yang harus ditegaskan dalam program DMPG. Pertama, program DMPG harus memuat tentang resolusi konflik saat terjadi karhutla. Sebab, penyebab karhutla di antaranya yaitu konflik tenurial atau jaminan hak sehingga perlu dilibatkan juga lembaga atau kementerian lain.
“Jadi koordinasi dalam mitigasi dan kontrol kebakaran dengan kementerian, lembaga, dan swasta tidak dapat dipisahkan dari program desa mandiri peduli gambut. Ini sebenarnya yang menjadi keterbatasan BRG yaitu memengaruhi kebijakan sektor,” ungkapnya.
Target ke depan
Deputi Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air, Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), Nur Hygiawati Rahayu mengatakan, program pembentukan DMPG yang tertuang dalam RPJMN 2020-2024 bertujuan untuk mencegah karhutla.
Dalam RPJMN tersebut juga menetapkan program pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan dan konservasi sebanyak 4.500 desa. Adapun program lainnya yaitu pembentukan kelompok tani hutan mandiri, peningkatan kapasitas penyuluh atau pendamping sebanyak 7.500 orang, dan peningkatan kesadaran masyarakat dalam pengeloaan lingkungan hidup sebanyak 1.080 unit.
Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead menegaskan, guna mencapai hasil yang optimal, kegiatan restorasi gambut harus dilakukan dengan melihat keadaan ekonomi, ekologis, dan sosial masyarakat setempat. Dengan kata lain, program yang dikembangkan harus bisa diterima masyarakat dan relevan dengan keadaan sosial serta ekologis.
Selain itu, restorasi juga harus mempertimbangkan kesatuan hidrologis gambut dalam satu bentang alam. Hal ini membutuhkan upaya pemetaan yang komprehensif dan akurat sehingga saat musim kemarau tiba, baik lahan gambut maupun masyarakat di sekitar lokasi tetap dapat terpenuhi kebutuhan airnya.
“BRG memfasilitasi pemerintah daerah dan Kementerian Pertanian untuk melakukan supervisi teknis kepada perusahaan sawit. Ada setengah juta lebih lahan konsensi sawit yang sudah kami berikan asistensi teknis. Ada yang sudah bagus memperbaiki tata kelola airnya, ada yang sedang, dan ada yang masih kurang,” tuturnya.
Nazir percaya selama 5-15 tahun ke depan, ekosistem gambut dapat dipulihkan dengan melakukan upaya berbasis lanskap dan penguatan di tingkat tapak serta mengikusertakan pakar atau akademisi. Keberhasilan Indonesia nantinya akan menjadi dasar bagi negara-negara lain karena sampai saat ini belum banyak pemetaan maupun pemulihan ekosistem gambut di wilayah tropis.