Momentum 2 Tahun Kebijakan Tak Dimanfaatkan Optimal
Selama dua tahun pemberlakuan moratorium sawit belum memberikan dampak signifikan dalam perbaikan tata kelola sawit beserta penyelesaian permasalahan terkait. Perlu upaya serius untuk memanfaatkan waktu setahun tersisa.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama dua tahun pemberlakuan moratorium sawit belum memberikan dampak signifikan dalam perbaikan tata kelola sawit beserta penyelesaian permasalahan terkait. Perlu ketegasan dan upaya serius dari pemerintah di sisa waktu satu tahun ini agar kebijakan diimplementasikan optimal.
Juru kampanye Forest Watch Indonesia (FWI), Agung Ady Setyawan, mengatakan, pelaksanaan moratorium sawit masih banyak berkutat di aspek koordinasi antar-kementerian atau lembaga di tingkat pusat. Ia menekankan pentingnya meningkatkan sosialisasi serta sinkronisasi pemerintah pusat dan daerah yang diiringi keterbukaan data atau informasi.
”Meskipun tampak seperti formalitas semata, setidaknya instruksi presiden (inpres moratorium sawit) ini bisa sedikit menjadi rem ekspansi perkebunan kelapa sawit yang kondisi izinnya saat ini sudah mencapai 19 juta hektar,” katanya.
Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan Muhammad Teguh Surya menilai, kendala utama belum optimalnya moratorium sawit karena kementerian yang menjadi ”dirigen” atas kebijakan ini kurang memberikan petunjuk dengan jelas kepada kementerian atau lembaga-lembaga lainnya. Kontribusi dan keterlibatan pemerintah daerah dalam merespons moratorium juga dinilai rendah karena dorongan pemerintah pusat tidak berjalan maksimal.
Teguh menegaskan, tindakan penting dan mendesak yang menjadi kunci keberhasilan perbaikan tata kelola sawit adalah pelibatan semua pihak secara inklusif, terutama masyarakat sekitar kebun dan kelompok masyarakat sipil. Selain itu, data perizinan juga harus dibuka sehingga semua pihak memiliki satu data rujukan.
”Dengan sisa waktu satu tahun ini perlu implementasi inpres yang lebih kuat dan serius khususnya kepastian tidak membuka hutan alam baik yang sudah diberikan izin maupun yang belum,” tuturnya.
Desakan koalisi
Desakan penguatan implementasi moratorium dan perbaikan tata kelola sawit disampaikan koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Sawit Watch, Kaoem Telapak, Madani Berkelanjutan, FWI, dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL). Ini terkait dua tahun pelaksanaan Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Perkebunan Kelapa Sawit atau lazim disebut Inpres Moratorium Sawit, yang masih berlaku hingga setahun mendatang.
Dalam siaran pers tersebut, koalisi mencatat sejumlah hal yang membuat kebijakan moratorium sawit belum berjalan maksimal. Pertama, koalisi menilai moratorium sawit masih minim sosialisasi yang terlihat dari belum mengetehaui sejumlah pemerintah provinsi, kabupaten, maupun kota tentang kebijakan tersebut.
Kedua, pola kerja pemerintah pusat dan daerah dinilai tidak tersinkronisasi dengan baik. Catatan ketiga ialah belum adanya peta jalan pengimplementasian moratorium sawit. Hal ini ditunjukkan dari tidak adanya dokumen rujukan, seperti petunjuk pelaksana (juklak), petunjuk teknis (juknis), dan alokasi anggaran, sehingga menyulitkan pemerintah daerah dalam mengimplementasikan kebijakan ini.
Catatan lainnya ialah kebijakan moratorium sawit tidak diiringi dengan keterbukaan data dan informasi. Kelompok masyarakat sipil sampai saat ini sulit mengakses laporan perkembangan enam bulanan yang disusun oleh tim kerja nasional untuk dilaporkan ke Presiden.
Tutupan luasan perkebunan sawit di Indonesia yang telah dirilis juga tidak disampaikan secara detail terkait berapa dan dimana lokasi sawit yang berada di dalam kawasan hutan. Padahal, informasi yang tertuang dalam tutupan lahan tersebut akan memudahkan tim kerja dalam melakukan evaluasi.
Sementara catatan terakhir, koalisi memandang pemerintah belum memiliki arah yang jelas soal peningkatan produktivitas sawit. Sebab, pemerintah belum memiliki berapa target atau standar produktivitas sawit yang akan dituju dan bagaimana langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mencapai target tersebut.
Dari sejumlah catatan tersebut, koalisi memberikan rekomendasi agar respon positif pemda disambut baik oleh pemerintah pusat dengan mensinergikan kerja-kerja serta menyiapkan aturan teknis implementasi. Dari data yang dihimpun Sawit Watch, beberapa pemda, seperti Provinsi Aceh, Kabupaten Buol, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Gorontalo dan Aceh Utara, telah merespons dan menurunkan kebijakan moratorium sawit dalam bentuk surat edaran (SE) maupun peraturan bupati (perbup).
Koalisi juga meminta pemerintah menetapkan target dan program peningkatan produktivitas yang lebih jelas dan terukur. Sementara rekomendasi yang dinilai sangat penting dilakukan pemerintah saat ini adalah meningkatkan transparansi dan akses publik mengenai laporan enam bulanan perkembangan kebijakan moratorium sawit serta data penggunaan lahan maupun izin perusahaan perkebunan sawit.
Kebijakan moratorium sawit tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. Dalam inpres tersebut dinyatakan penghentian sementara izin perkebunan sawit selama masa tiga tahun atau hingga 2021.