Peraturan Presiden No 44 Tahun 2020 mewajibkan setiap pekebun sawit untuk memiliki sertifikat pada tahun 2025. Namun, banyak petani sawit yang kesulitan memenuhinya karena masalah legalitas lahan garapan.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Dalam regulasi tersebut, pekebun atau petani mandiri sawit wajib memiliki sertifikasi dalam lima tahun mendatang atau pada 2025. Terdapat instruksi sanksi yang akan diatur kemudian oleh Menteri Pertanian apaila pelaku usaha sawit tak memenuhi sertifikasi.
Perpres yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 13 Maret 2020 ini memiliki tiga tujuan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil atau Kebun Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO). Pertama, mastikan dan meningkatkan pengelolaan serta pengembangan perkebunan kelapa sawit sesuai prinsip dan kriteria ISPO.
Kedua, meningkatkan penerimaan dan daya saing hasil perkebunan kelapa sawit di pasar nasional dan internasional. Ketiga, meningkatkan upaya percepatan penurunan emisi gas rumah kaca.
Peraturan yang diundangkan pada 16 Maret 2020 ini memberi tingkat hukum lebih tinggi dibandingkan pengaturan sertifikasi kebun kelapa sawit sebelumnya dalam peraturan menteri pertanian. Harapannya, regulasi selevel perpres ini bisa memutuskan kebuntuan dan kendala sebelumnya yang melibatkan lintas kementerian atau lembaga.
Namun, untuk memenuhi sertifikasi tersebut, ada satu permasalahan krusial, yaitu kendala yang dihadapi pekebun (pengelola kebun sawit perseorangan). Mereka mengalami hambatan dasar seperti legalitas lahan dan ketercatatan secara administratif melalui surat tanda daftar budidaya (STDB).
Kendala legalitas lahan
Menanggapi kewajiban pekebun untuk mengikuti sertifikasi ISPO pada tahun 2025, Rino Afrino, Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), dihubungi dari Jakarta, Selasa (24/3/2020), mengatakan akan mengawal dan memonitor pelaksanaan regulasi baru ini.
Ia mengingatkan, Apkasindo pernah menyatakan penolakan akan sertifikasi wajib bagi pekebun karena sejumlah kendala yang tak kunjung terpecahkan, yaitu legalitas lahan.
Ia mengakui, pekebun mengalami kendala legalitas lahan karena arealnya masih berstatus kawasan hutan. Upaya pemerintah mengurai tumpang tindih antara lahan dan kawasan hutan melalui Perpres No 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaaan Tanah Dalam Kawasan Hutan tak kunjung membuahkan hasil positif.
”Jadi memang kalau toh ditandatangani Presiden, berarti konsekuensinya permasalahan tersebut harus sudah dituntaskan. Kementerian terkait dengan permasalahan petani harus segera reaktif dan menyusun target nyata,” katanya.
Waktu lima tahun menurut dia berlalu dengan cepat. Pengalaman sebelumnya terkait penanganan kebun sawit mulai dari Inpres No 8/2018 (moratorium sawit), Inpres No 6/2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (2019-2024), dan Perpres No 88/2017 yang muaranya untuk mencapai sertifikasi menyeluruh bagi para pelaku kebun dan industri sawit ini berjalan sangat lamban.
Ia mengatakan, persyaratan sertifikasi ISPO yang paling sulit dicapai petani adalah persyaratan status lahan wajib berupa sertifikat hak milik (SHM) dan memiliki STDB. Untuk memiliki SHM, petani memerlukan kepastian legalitas lahan.
Sayangnya, terdapat jutaan lahan petani sawit di Indonesia yang statusnya masih berupa kawasan hutan. Surat legalitas lahan yang mereka miliki pun umumnya berupa surat keterangan tanah (SKT) yang diterbitkan kepala desa.
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Tim Pelaksana Penguatan Sistem ISPO Diah Y Suradiredja menyebutkan, terdapat 3,4 juta hektar kebun sawit yang berada di kawasan hutan. Luasan ini sekitar 20,7 persen dari total luas kebun sawit Indonesia yang mencapai 16,38 juta hektar.
Ia menyatakan, Perpres No 44/2020 juga telah memformalkan peran pemangku kepentingan, yaitu masyarakat dan pelaku usaha dalam pengelolaan dan penyelenggaraan sertifikasi ISPO. Ini antara lain melalui keterlibatan pemantau independen sebagai salah satu unsur dalam Komite ISPO.
Terkait pelaksanaan ISPO sebelumnya, lanjutnya, diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/2011 yang diperbarui dengan peraturan nomor 11/2015. Isinya, mewajibkan semua perusahaan perkebunan sawit mengantongi sertifikat ISPO sampai dengan batas akhir 31 Desember 2014.
Namun, pada pelaksanaannya, hingga batas akhir tersebut masih terdapat sejumlah pelaku usaha sawit yang belum mengikuti sertifikasi.
Diah menyebutkan, sejak ditetapkan standar sertifikasi itu hingga Maret 2020, terdapat 557 perusahaan perkebunan yang memenuhi sertifikat dengan luas 5,151 juta ha, 50 PT Perkebunan Nusantara seluas 286,590 ha, dan 14 pekebun swadaya seluas 12.270 ha. Jumlah ini relatif masih sangat kecil dibandingkan dengan total jumlah perusahaan sawit sebanyak 1.500 unit.