JAKARTA, KOMPAS—Penurunan emisi Indonesia di sektor hutan -lahan serta di sektor energi harus segera diturunkan. Agar suhu rata-rata global tidak melebihi 1,5 derajat Celsius dibanding suhu pra-indutri, energi berbasis batu bara harus turun hingga rata-rata 1-7 persen pada tahun 2050.
Indonesia dalam komitmen nasional untuk kontribusi penurunan emisi (Nationally Determined Contribution-NDC) akan menurunkan emisi dari sektor energi sebesar 11 persen dan dari sektor kehutanan (termasuk dari kebakaran gambut) sebesar 17,2 persen.
Saat ini Indonesia gencar membangun pembangkit listrik tenaga uap dengan bahan bakar batubara. Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) penggunaan batubara untuk pembangkit listrik, dari 148 juta ton tahun 2025 akan menjadi 319 juta ton pada 2050.
"Seharusnya penurunan emisi di dua sektor itu, hutan dan lahan serta energi dipercepat, karena tahun 2020 orang akan mengkaji ulang NDC kita," ujar Manajer Kampanye Keadilan Iklim Walhi Yuyun Harmono, Senin (3/12/2018), di Jakarta, dalam lokakarya Kebijakan Penurunan Emisi Berbasis Lahan dan Energi.
PLTU batu bara
Indonesia saat ini masih membangun PLTU dengan bahan bakar batu bara. Di sisi lain Yuyun menilai ada kemungkinan bahwa hutan dipertahankan untuk penyedia bioenergi. "Kita harus skeptik, di mana konsesi diberikan dan siapa saja yang mendapat," ungkap Yuyun.
Selain itu, hutan dibuka untuk membuat infrastruktur, pertambangan batu bara, dan sisanya dibuka untuk membuka akses. Direktur Walhi Sumatera Utara Dana Tarigan mengatakan, pemerintah kini membangun PLTA di Batang Toru, Sumatera Utara. Prinsip-prinsip energi bersih dan berkelanjutan itu harusnya melalui proses yang demokratis, yaitu persetujuan dari masyarakat dan tidak mengubah bentang alam.
"Pembangkit dengan energi baru terbarukan (EBT) bauran biasanya berupa proyek besar, investasi besar yang tidak melibatkan masyarakat kecil," ujarnya. Padahal, listrik di Sumatera Utara sudah melebihi batas (over supply).
Di Kalimantan Timur, misalnya, terjadi penambangan besar-besaran batu bara yang telah memicu konflik antara masyarakat dengan perusahaan. Menurut Direktur Fathur Roziqin, "Pemerintah membiarkan masyarakat sendirian menghadapi perusahaan," katanya.
Yuyun menegaskan, sebuah investasi harus menciptakan keberlanjutan di masyarakat. Syaratnya yaitu proyeknya mendapatkan persetujuan masyarakat, energi untuk masyarakat, Sumber energi ramah lingkungan, dan tidak mengubah bentang alam.