(Dari kiri) Shanti Shamdani, Direktur FLIGHT Marison Guciano, moderator Sonya Hellen Sinombor, dan pesohor cum aktivis pelingdung hewan Davina Veroniva, pada diskusi publik tentang hak asasi hewan, di Jakarta (15/10/2018).
JAKARTA, KOMPAS – Masyarakat Indonesia belum memperhatikan isu kesejahteraan hewan. Padahal, hewan juga memiliki hak asasi yang harus dihormati.
Pada Senin 15 Oktober 2018, dunia memperingati hari hak asasi hewan. Ini dimulai pada tahun 1978. Saat itu berkumpul 46 negara dan 330 kelompok pendukung binatang di kantor pusat UNESCO, Paris, Prancis, untuk mendeklarasikan hak dasar hewan.
Pesohor sekaligus aktivis pelindung hewan, Davina Veronica mengatakan, hewan domestik, hewan ternak maupun yang hidup di alam liar, dilindungi maupun tidak dilindungi, harus dihargai hak dasarnya. Davina merinci, terdapat lima hak asasi hewan, yakni bebas rasa haus dan lapar, rasa tidak nyaman, mengekspresikan tingkah laku alami, stres dan takut, serta dilukai dan sakit.
“Tetapi tidak semua orang memahami dan memberikan itu kepada hewan,” kata Davina, Senin (15/10/2018), saat diskusi memperingati hari hak asasi hewan, di Jakarta.
Pada diskusi ini, diputar rekaman yang menggambarkan kekejaman manusia terhadap hewan. Ada anjing yang dirantai lalu dipukuli oleh dua orang pemuda dan ada juga anjing yang badannya berlubang terkena peluru.
Direktur Eksekutif FLIGHT Marison Guciano menyebut, kekejaman juga terjadi terhadap burung. Dalam temuannya, sebanyak 70-80 persen burung yang ditangkap di alam liar, mati sebelum mencapai pasar-pasar burung (tempat burung dijual). Minggu lalu, katanya, FLIGHT yang bekerja sama dengan kepolisan menyita burung yang dibawa dari Palembang ke Cirebon.
“Burung itu dimasukkan ke dalam kotak sempit dan diletakkan dekat dengan mesin mobil. Ketika dicegat di Pelabuhan Bakauheni, Lampung, dari sekitar 300 brung, 50 di antaranya sudah mati,” kata dia.
Dia pun gencar mempromosikan agar pasar-pasar burung yang ada di sejumlah wilayah di Indonesia untuk ditutup. Pasar burung tidak hanya menjadi simpul perdagangan satwa liar, tetapi juga menjadi salah satu tempat terjadinya kekejaman terhadap hewan.
Diperlakukan sebagai properti
Pesohor cum aktivis pelindung hewan Olga Lydia berpendapat, sebagian masyarakat hanya melihat hewan sebagai properti, bukan makhluk hidup yang harus dijaga eksistensinya. “Binatang menjadi sekadar benda yang bisa dimanfaatkan sesuka hati: untuk keperluan komersil maupun untuk bersenang-senang,” kata Olga.
Pelindung hewan lainnya, Shanti Shamdasani menilai, hal ini disebabkan oleh tidak adanya satu payung hukum yang melindungi kesejahteraan hewan. Beberapa aturan tentang perlindungan kesejahteraan hewan terpecah di berbagai kementerian sehingga membuatnya tidak efektif.
“Ada sekitar 56 pasal di undang undang yang bisa dipakai untuk melindungi kesejahteraan hewan. Akan tetapi, undang-undang ini terpencar di berbagai kementerian. Akhirnya tidak ada sebuah payung yang konsen pada kesejahteraan hewan,” kata dia.
Aturan tentang kesejahteraan hewan salah satunya terdapat pada Undang-Undang Nomor 41 tentang Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Larangan penyiksaan atas hewan tercantum dalam Pasal 66 a Ayat (1) yang menyebutkan, setiap orang dilarang menganiaya dan/atau menyalahgunakan hewan yang mengakibatkan cacat dan/atau tidak produktif.
Sementara sanksi pidana atas penyiksaan hewan juga diatur dalam undang-undang tersebut. Pasal 91 b Ayat (1) menyebut, setiap orang yang menganiaya dan/atau menyalahgunakan hewan sehingga mengakibatan cacat dan/atau tidak produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 a Ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling sedikit Rp 1.000.000 dan paling banyak Rp 5.000.000.
Salah seorang peserta diskusi, Akhmat Junaidi, menilai, peraturan di Indonesia sudah cukup untuk melindungi kesejahteraan hewan. Peraturan di Indonesia terkait kesejahteraan hewan sudah setara dengan Jepang dan Australia. Hanya saja, penegakan hukum terhadap kasus tersebut memang masih lemah.
“Penegakan hukum terkait persoalan ini, ujung-ujungnya ada di kabupaten/kota. Inilah yang perlu kita kuatkan dan kita dorong,” kata Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner Kementerian Pertanian tahun 2011-2017 ini.