Infeksi Omicron 75 Persen Lebih Ringan daripada Delta
Sejumlah data studi di beberapa negara menunjukkan pasien yang terinfeksi virus korona varian Omicron lebih ringan dampaknya ketimbang Delta, tapi tidak ada jaminan akan terhindarkan dari Covid-19 berkepanjangan.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Orang yang terinfeksi varian virus korona Omicron hampir 75 persen lebih kecil kemungkinannya mengalami penyakit serius atau meninggal daripada mereka yang tertular varian Delta. Meski demikian, kemunculan subvarian BA.2 dari Omicron yang lebih menular dan patogenik bisa menjadi masalah baru.
Laporan tentang perbandingan tingkat keparahan infeksi Omicron dan Delta ini disampaikan Badan Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea (Korea Disease Control and Prevention Agency/KDCA), berbasiskan data infeksi dan kematian terkait Covid-19 di negeri itu.
Seperti dikutip Reuters pada Selasa (22/2/2022), dari sekitar 67.200 infeksi yang dikonfirmasi di Korea Selatan sejak Desember 2021, tingkat keparahan dan kematian varian Omicron rata-rata masing-masing 0,38 persen dan 0,18 persen, dibandingkan dengan 1,4 persen dan 0,7 persen untuk kasus Delta.
Dalam laporan ini, KDCA mengklasifikasikan kasus parah sebagai orang yang dirawat di rumah sakit di unit perawatan intensif. Sekitar 56 persen dari 1.073 orang yang meninggal selama lima minggu terakhir tidak divaksinasi atau hanya menerima satu dosis. Penelitian juga menunjukkan, 94 persen kematian adalah orang berusia 60 tahun atau lebih.
Menurut KDCA, Omicron menjadi varian dominan di Korea Selatan pada minggu ketiga Januari dan hingga 90 persen kasus baru adalah Omicron pada minggu pertama Februari. Sebanyak 86 persen lebih dari 52 juta penduduk Korea Selatan telah divaksinasi lengkap dan hampir 60 persen telah menerima suntikan booster atau penguat. Selain itu, Korea Selatan juga telah melakukan berbagai langkah pembatasan dan penelusuran yang agresif.
Meski demikian, varian Omicron telah menyebabkan lonjakan kasus, bahkan kasus baru harian mencapai rekor 100.000 pada minggu lalu. Di tengah lonjakan kasus ini, Pemerintah Korea Selatan mulai melakukan pelonggaran, salah satunya karena tingkat kematian yang lebih rendah dan menjelang pemilihan presiden bulan depan.
Data menunjukkan, kasus Covid-19 di seluruh dunia menunjukkan tren penurunan sejak tiga bulan setelah varian Omicron pertama kali dilaporkan. Menurut pelacakan oleh Worldometers.info, jumlah kasus Covid-19 global dalam tujuh hari terakhir sebanyak 12,3 juta atau menurun 20 persen dan kematian sebanyak 65.924 atau menurun 10 persen dibandingkan dengan tren minggu sebelumnya. Satu minggu lalu, kasus menurun 19 persen dan kematian turun 1 persen.
Di Indonesia, kasus dan kematian karena Covid-19 masih menunjukkan tren peningkatan. Laporan Kementerian Kesehatan pada Selasa, jumlah kasus bertambah 57.491, merupakan tertinggi kedua selama pandemi. Sedangkan korban jiwa bertambah 257 dalam sehari, merupakan yang tertinggi sejak 13 September 2021.
Data kematian menunjukkan adanya pergeseran dari Jakarta ke daerah lain di Pulau Jawa. Jawa Tengah memiliki penambahan korban jiwa paling banyak, yaitu 64 orang, disusul Jawa Timur 43 orang dan Jakarta 33 orang. Di luar Jawa, Bali memiliki penambahan kematian paling banyak, yaitu 23 orang, disusul Riau dan Sumatera Selatan masing-masing 10 orang.
Menurut pelacakan oleh Worldometers.info, jumlah kasus Covid-19 global dalam tujuh hari terakhir sebanyak 12,3 juta atau menurun 20 persen dan kematian sebanyak 65.924 atau menurun 10 persen dibandingkan dengan tren minggu sebelumnya.
Epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, mengatakan, saat ini kasus penularan di Indonesia masih sangat tinggi dan dikhawatirkan menyebar ke luar Jakarta. ”Masih terlalu dini kalau dikatakan gelombang Omicron di Indonesia sudah melewati puncak. Untuk Jakarta mungkin sudah mulai turun, tetapi secara nasional baru mulai. Kalau jumlah kasus seolah menurun, bisa jadi tesnya di Jakarta yang berkurang karena tes di daerah cenderung terbatas,” katanya.
Tingginya angka kematian, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, menurut Dicky, menjadi indikator meluasnya kasus di luar Jakarta. Ini juga menandai kemungkinan banyaknya kasus yang tidak terdeteksi sejak dini sehingga pasien mengalami keparahan hingga meninggal dunia, mengingat tingkat keparahan Omicron yang seharusnya relatif rendah.
Dicky juga mengkhawatirkan saat ini penyebaran subvarian BA.2 dari Omicron mulai terjadi di Indonesia. ”Saya mendapat laporan ada beberapa kasus yang mengalami pemburukan dengan relatif cepat. Kita perlu memperkuat survei genomik untuk mengetahuinya,” katanya.
Perkembangan varian
Menurut Dicky, sekalipun sejumlah data studi di beberapa negara menunjukkan pasien yang terinfeksi Omicron lebih ringan dampaknya dibandingkan dengan Delta, tidak ada jaminan akan terhindarkan dari Covid-19 berkepanjangan. Selain itu, data juga menunjukkan, subvarian BA.2 lebih menular dan patogenik dibandingkan dengan varian awal Omicron, BA.1.
Karakteristik subvarian BA.2 yang 1,4 kali lebih menular dan lebih patogenik dibandingkan dengan varian BA.1 ini dilaporkan Daichi Yamasoba, peneliti virologi, The Institute of Medical Science, The University of Tokyo, dan tim. Hasil kajian ini diunggah dalam edisi pracetak di biorxiv.org pada Selasa (15/2/2022).
Menurut pelacak data Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat (AS), subvarian BA.2 kini telah terdeteksi di lebih dari 30 negara bagian itu dan menyebabkan sekitar 3,9 persen dari infeksi baru. Dengan kemunculan BA.2 ini, dikhawatirkan AS akan kembali mengalami kenaikan kasus.
Sementara itu, di tengah dominasi varian Omicron, sejumlah varian lain SARS-CoV-2 mulai menurun. Bahkan, dalam laporan mingguannya, Euroepan Centre for Desease Preventionn and Control (ECDC) telah menurunkan klasifikasi varian Alfa atau B.1.1.7 sehingga tidak lagi menjadi varian yang dikhawatirkan ataupun menjadi perhatian di Eropa.
Direktur Pascasarjana Universitas YARSI Tjandra Yoga Aditama mengatakan, penurunan status varian Alfa ini terjadi karena sirkulasinya jauh menurun di Eropa. Selain itu, varian ini dinilai tidak punya dampak signifikan lagi terhadap kondisi epidemiologi. ”Bukti ilmiah menunjukkan, varian itu (B.1.1.7) tidak lagi berhubungan dengan aspek klinik tertentu,” katanya.